Kelas masih setengah ramai ketika Lara masuk dengan langkah pelan. Suara sandal karetnya menapak lantai keramik yang dingin, beradu dengan suara tawa teman-teman lain yang tengah asyik mengobrol.
Sinar matahari menerobos lewat kisi jendela, menari di meja-meja yang tertata rapi. Di sudut kanan kelas, Sera duduk dengan gugup. Tangannya mencengkram ujung rok seragamnya, dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Ia takut. Takut ditolak lagi. Takut Lara melewatinya tanpa sepatah kata seperti biasanya.
Namun, yang tak terduga terjadi.
Lara malah melangkah lebih dulu, mendekat tanpa ragu. Wajahnya lesu, matanya tak berani menatap langsung. Tapi ada keberanian di sana—kecil, tapi nyata.
"Sera..." panggilnya pelan, hampir seperti bisikan. "Aku minta maaf. Aku udah mikir banyak, dan... mungkin kamu bener. Aku nyakitin kamu waktu itu. Padahal aku juga sebenernya mau ikut, tapi aku udah janji sama orang lain. Aku gak minta kamu buat percaya sama aku. Tapi Sera, aku bener-bener minta maaf."
Sera nyaris tak percaya. Matanya langsung berkaca-kaca. Tanpa berkata apa pun, ia langsung bangkit dan memeluk Lara erat. Rasa sesak di dadanya perlahan mencair.
"Lara! Aku juga minta maaf! Waktu aku ngomong kayak gitu, aku juga nyesel banget. Aku mikir terus, harusnya aku bisa lebih ngerti kamu. Soalnya tiap kita main juga biasanya selalu janjian dari jauh-jauh hari kan. Dan akhir-akhir ini emang aku terlalu maksa kamu."
Lara mengangguk, air matanya mengalir diam-diam. "Jangan marah lagi ya, Sera? Aku kangen banget main sama kamu."
Sera mengangguk cepat. "Aku juga. Dan... aku juga minta maaf. Soal tuduhan bullying waktu itu... aku harusnya lebih tegas ngebela kamu."
Lara menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok. Itu udah lewat. Udah jadi angin lalu, ngapain dipikirin."
Mereka tertawa kecil, lalu duduk berdampingan lagi. Seolah tak ada apa pun yang pernah memisahkan mereka.
"Eh, kamu tahu nggak, Lar... Gara-gara kepikiran kita nggak main bareng, berat badan aku turun, tahu!"
"Ya ampun, serius? Keren banget dong, haha!"
Sera tertawa, lalu memindahkan tasnya agar Lara bisa duduk di sampingnya seperti dulu. Di meja seberang, Zea, Kesya, dan Citra hanya melirik sekilas tanpa ekspresi.
"Ya udahlah ya. Misi kita buat manas-manasin mereka. berhasil. Biar si Sera balik sama sahabat aslinya," celetuk Zea.
"Iyalah. Yuk, cus kantin!" sahut Kesya.
*****
Waktu istirahat, Lara yang biasanya makan bekal sendirian di taman belakang, kini kembali menyusuri lorong sekolah bersama Sera. Mereka melewati jejeran loker yang mulai berkarat di bagian bawah, melewati papan pengumuman yang penuh dengan kertas warna-warni dan pengumuman lomba. Suara langkah kaki dan aroma khas kantin mulai terasa ketika mereka menuruni tangga menuju lantai satu.
Mereka tertawa kecil, saling melempar gurauan yang hanya bisa dimengerti oleh dua orang yang benar-benar saling mengenal. Seolah tawa-tawa yang dulu pernah hilang, kini ditemukan kembali.
Mereka memilih duduk di bangku panjang dekat warung bakso Malang yang selalu jadi favorit.
"Oh iya, Lar... kemarin aku nemuin buku kamu jatuh. Aku mau panggil kamu, tapi kamu udah ngilang. Terus aku lihat Ibu kamu lewat, jadi aku kasihin ke beliau."
Lara terdiam sesaat. "Oh... jadi gitu kenapa bukuku ada sama Ibu. Aku panik banget pas liat itu tiba-tiba ada di kamar."
Sera mengangguk. "Tapi Lar, menurut kamu... kamu berhasil nggak jadi 'jahat'?"
Lara menoleh dengan alis mengernyit. "Jahat? Aku?"
"Iya. Kamu pernah bilang kan, pengen jadi jahat dikit. Tapi menurutku... kamu nggak jadi jahat. Kamu malah jadi versi terbaik dari diri kamu yang dulu."
"Kok kamu bisa mikir gitu?"
"Soalnya Lara yang dulu tuh... sedih terus. Kaya senyumnya tuh dipaksa. Selalu iya-in semua orang, padahal kamu sendiri capek. Tapi sekarang, kamu lebih berani nolak, lebih mikir buat diri sendiri, dan... kamu lebih sering senyum yang tulus. Itu Lara yang lebih keren. Upgrade banget."
Lara tersenyum, kali ini benar-benar tulus.
"Dan... aku lega banget waktu liat kamu selfie di café itu. Rasanya kayak kamu akhirnya berdamai sama diri kamu. Jadi... besok-besok, kita harus sering foto bareng ya!"
"Siap!" sahut Lara semangat. Hatinya lebih ringan dari sebelumnya. Seolah satu masalah besar akhirnya terangkat.
"Makasih ya Sera, karena udah pindah ke sekolah ini."
"Aku juga makasih. Awalnya aku takut banget pindah sekolah bakal lebih parah. Tapi ternyata... lebih asik. Gurunya care, temennya seru."
Obrolan mereka terus berlanjut. Tak lama, semangkuk bakso datang, mengepul hangat dengan aroma gurih yang menggiurkan. Mereka makan sambil tertawa kecil, sesekali saling suap bakso, seperti dulu lagi.
*****
Sore itu, langit perlahan berubah warna saat Lara masuk ke mobil hitam yang menjemputnya. Ibunya, Lusi, duduk di balik kemudi. Luna, adiknya, akhir-akhir ini jarang ikut karena kegiatan SMP-nya padat. Hubungan Lara dan Ibunya pun masih terasa canggung. Apalagi setelah kemarin Lusi kembali berteriak soal foto yang ditemukan Lara.
Mobil melaju melewati jalan besar yang padat. Lara menatap keluar jendela, menyandarkan kepala sambil menghela napas panjang.
"Ibu..." gumam Lara lirih, nyaris tak terdengar, hanya sehembus napas kecil yang keluar dari bibirnya.
BRAK!!!
Suara dentuman keras memecah udara, seperti ledakan yang datang tiba-tiba di tengah keheningan.
Sebuah truk besar bermuatan logam dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan sempit di persimpangan perumahan itu tak cukup untuk mengakomodasi manuver si sopir yang panik. Truk oleng ke kanan, berusaha menghindari sebuah sepeda motor yang tiba-tiba menyebrang tanpa melihat. Sopir truk memutar setir tajam, namun muatan berat di belakang membuat kendali kendaraan hilang sepenuhnya. Ban berdecit panjang, menciptakan suara gesekan yang menyakitkan telinga—suara kematian yang mendekat.
Mobil hitam yang ditumpangi Lara dan Ibunya, Lusi, tepat berada di jalur itu. Mereka tak punya waktu untuk menghindar. Semua terjadi terlalu cepat.
Tubrukan brutal itu hanya memakan sepersekian detik.
Bodi depan mobil mereka ringsek nyaris tak berbentuk. Besi melengkung dan menancap seperti cakar monster yang marah. Kaca depan hancur berhamburan, serpihannya seperti kristal berdarah yang terbang ke segala arah. Airbag sempat mengembang, tapi dampaknya terlalu besar.
Lara yang duduk di kursi penumpang depan terpental meski sabuk pengaman menahannya. Tubuh mungilnya menghantam dashboard dengan kekuatan besar. Suara retakan tulang dan desahan tertahan menyusul. Kepala Lara membentur keras bagian dalam mobil, mengakibatkan luka menganga di pelipisnya. Darah langsung mengalir, mengotori wajahnya yang pucat.
Matanya terbuka setengah, namun pandangannya kosong dan kabur. Bibirnya bergetar, seolah ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya setitik napas.
Lusi, di balik kemudi, tersentak keras. Airbag mendorongnya mundur, tapi tidak cukup menahan dampak. Bahunya terhantam setir, dan lengan kanannya memar parah. Kepala bagian kanan terbentur kaca samping hingga sobek dan berdarah. Namun ia masih sadar. Matanya terbelalak, langsung menoleh ke arah Lara.
"Lara?! Lara!!" jeritnya panik. Suaranya parau, nyaris tak dikenali, dipenuhi histeria dan rasa takut.
Lusi mencoba melepas sabuk pengaman, tapi tubuhnya terjepit kemudi yang penyok. Ia meronta, menendang bagian bawah dashboard agar bisa bebas. Tangannya gemetar hebat, tapi ia berhasil memaksa diri untuk keluar dan meraih anaknya yang tampak tak bergerak.
Beberapa warga sekitar yang mendengar suara keras itu langsung berlarian ke lokasi. Dua orang berusaha membuka pintu mobil dari luar. Beberapa lainnya menelpon ambulans dan pihak kepolisian. Asap tipis mulai keluar dari mesin mobil, menciptakan ketegangan baru.
"Cepat! Ada yang masih hidup di dalam! Anaknya berdarah!" teriak seorang bapak paruh baya sambil menendang pintu penumpang yang penyok.
Tak lama, sirene ambulans meraung keras dari kejauhan, semakin dekat. Petugas SAR dan paramedis berlarian turun membawa tandu, tabung oksigen, dan peralatan medis darurat.
"Korban satu, anak perempuan! Trauma kepala berat! Pendarahan aktif di pelipis dan dada! Siapkan donor darah!" suara paramedis bergema di antara kerumunan.
Dengan alat pemotong hidrolik, mereka membuka paksa pintu penumpang. Lara dievakuasi dengan sangat hati-hati. Tubuhnya nyaris tak bergerak, kecuali napas yang sangat lemah dan tidak teratur. Bajunya koyak, dipenuhi noda darah segar. Serpihan kaca menempel di rambut dan kulit wajahnya.
Paramedis segera memasang selang oksigen di hidungnya, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut darurat. Selang infus ditancapkan, dan monitor dipasang untuk mengukur detak jantung yang lemah.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, di dalam ambulans, detak jantung Lara tiba-tiba berhenti selama 12 detik. Salah satu petugas langsung melakukan CPR, memompa dadanya dengan ritme cepat. Paramedis lain menstabilkan tekanan darah, sementara yang ketiga menyiapkan defibrillator.
"Clear!"
Gelombang listrik mengalir ke tubuh Lara. Tubuhnya sedikit terangkat. Monitor berbunyi lagi, detak jantung kembali—namun sangat lemah.
Lusi duduk di sisi lain, dengan luka di bahunya diperban sementara. Wajahnya pucat, dan air matanya tak berhenti mengalir. Ia menggenggam kain baju putrinya yang sudah berlumuran darah.
“Kalau Ibu tahu ini bakal terjadi... Ibu nggak akan pernah marah soal tulisan itu… Ibu minta maaf. Ibu mau kamu buka mata dan panggil aku Ibu lagi…”
Sesampainya di rumah sakit, Lara langsung dilarikan ke ruang ICU. Dokter bedah saraf, ortopedi, dan spesialis jantung sudah menunggu. Pemeriksaan cepat menunjukkan, trauma otak sedang hingga berat, patah dua tulang rusuk, dan kehilangan darah lebih dari 30% volume tubuh normal.
Dokter menyatakan bahwa Lara harus segera dioperasi untuk menghentikan pendarahan di kepala. Jika tidak, tekanan di dalam tengkoraknya bisa menyebabkan kerusakan otak permanen.
Sementara itu, Lusi masih menunggu di ruang tunggu ICU. Bajunya sudah diganti dengan kemeja pasien ringan, namun tangan dan bahunya diperban. Ia tak henti-hentinya menatap lantai, memegang sisa-sisa sobekan pakaian Lara.
Di luar rumah sakit, petugas lalu lintas mulai mengatur jalur dan mengevakuasi truk yang menabrak. Sopir truk diamankan dan tengah diperiksa. Ternyata, truk mengalami rem blong dan kelebihan muatan, membuat laju kendaraan tak terkendali. Polisi mencatat data kendaraan, menyita surat-surat, dan mewawancarai saksi mata.
Di ruang ICU, Lara masih tak sadarkan diri. Monitor terus berbunyi—detak jantung, tekanan darah, kadar oksigen. Kepalanya diperban rapat, wajahnya pucat, namun tubuhnya masih berjuang.
Di luar ruangan, waktu terasa lambat. Lusi duduk membisu, dengan mata sembab menatap pintu yang tak kunjung terbuka.
Ia menggenggam erat baju sobek Lara di pangkuannya.
"Kamu pasti kuat, Nak... Kamu pasti kuat..." bisiknya dengan air mata jatuh, satu demi satu, seolah mengiringi setiap doa yang dilantunkan dari lubuk hati terdalam.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏