Langkah kaki Lara terdengar pelan di lantai semen sekolah yang mulai sepi. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, tapi ia tak terburu-buru. Seperti biasa, ia menunduk, merapikan tali ransel yang sering melorot dari bahu kanannya.
Biasanya, Lara akan keluar gerbang, membuka aplikasi ojek online, lalu menunggu di tempat teduh tak jauh dari kantin. Tapi hari ini ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.
Sebuah mobil hitam terparkir tak jauh dari pintu gerbang. Ia mengenali plat nomornya. Itu mobil milik Ibunya.
Tanpa sadar, Lara berdiri diam di pinggir jalan, memandangi mobil itu. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada konfirmasi apapun bahwa hari ini seseorang akan menjemputnya. Ia bahkan sempat mengecek ponselnya dua kali untuk memastikan.
Pintu belakang mobil terbuka. Lara mendekat pelan.
Luna duduk di kursi belakang, punggungnya bersandar santai, tangan sibuk menggulir layar ponsel. Earphone tersambung di telinga, dan wajahnya tak menoleh sedikit pun. Di kursi pengemudi, Lusi—ibunya—menatap lurus ke jalan. Matanya kosong. Tangannya tetap di atas setir, seperti tak sadar anaknya berdiri di sebelah mobilnya.
Tidak ada senyum. Tidak ada panggilan nama.
Lara menarik napas kecil, membuka pintu, dan duduk di sebelah Luna. Pelan, hati-hati, bahkan saat menutup pintu pun ia menekan kaca agar tak terdengar bunyi keras. Ia menunduk, membiarkan rambut menutupi sebagian wajahnya. Aroma mobil itu familiar—lavender dan sisa parfum Ibunya yang elegan dan dingin, seperti orangnya.
Seluruh perjalanan berlangsung dalam diam.
Luna tetap tenggelam dalam layar ponsel, bibirnya sesekali membentuk gumaman tak jelas mengikuti lagu yang hanya ia dengar sendiri. Lusi menyetir tanpa bicara, pandangannya tak bergeser. Ia bahkan tak melirik ke spion tengah.
Lara ingin bicara. Ingin bertanya. Tapi kalimatnya selalu terhenti di tenggorokan.
‘Kenapa hari ini Ibu jemput?’
Terlalu kecil untuk diucapkan. Terlalu takut untuk berharap.
Ia berusaha berpikir logis. Mungkin mereka ada urusan. Mungkin ada keperluan mendadak dan ia hanya sekadar ikut. Lagi-lagi, ia hanya menumpang.
Dan seandainya hari itu tak dijemput, ia pasti tetap akan pulang sendiri. Tak akan ada yang benar-benar sadar, atau peduli.
Mobil berbelok, masuk ke kawasan perbelanjaan di Jakarta Selatan yang biasa dikunjungi keluarga mereka. Gedungnya besar, lampu-lampunya terang, dan pintu kacanya otomatis terbuka saat didekati.
Lara tak bertanya lagi. Ia hanya mengikuti, berjalan beberapa langkah di belakang. Sudah terbiasa jadi bayangan. Sudah biasa tak ada yang menoleh ke belakang untuk memastikan ia ada.
Mereka masuk ke sebuah butik pakaian wanita.
Luna langsung bergegas ke rak bagian depan, memilih beberapa pakaian, mencocokkan warna, menaruhnya di lengan. Ia bergerak cepat, tahu apa yang ia mau. Lara tetap di belakang, berdiri kikuk di pojok ruangan, antara rak tas dan etalase sepatu. Tangannya memegang tali ransel. Pandangannya mencari-cari tempat aman untuk berdiri tanpa menghalangi siapa-siapa.
Ia tidak tahu harus apa. Tidak tahu apakah ia diundang untuk memilih juga. Atau sekadar diajak agar tidak ditinggal sendirian.
Lusi berdiri di sampingnya. Untuk pertama kalinya sejak tadi, wanita itu memperhatikannya. Tangannya mengangkat sebuah atasan—blus merah muda berbahan halus, dengan detail renda di bagian lengan dan leher. Bukan tipe pakaian yang biasa dipilih Lara.
"Yang ini... cocok nggak?" suara itu pelan.
Lara menoleh.
Ibunya... memilihkan baju untuknya?
Jantung Lara mencelos. Ia mundur satu langkah, nyaris tersandung rak di belakangnya.
"Gak perlu, Bu," ucapnya cepat, suaranya nyaris bergetar.
Lusi menghela napas. Tak berkata apa-apa. Ia hanya mengembalikan blouse itu ke rak.
Jantung Lara berdetak panik. Ada rasa asing yang mencuat, semacam kehati-hatian yang membungkus dirinya rapat.
Ia menghindari tatapan Ibunya. Padahal, dalam hatinya, Lara ingin sekali menerima. Tapi... ia terlalu takut. Masih ingat betul ucapan Lusi beberapa malam lalu—tentang bagaimana ia harusnya lahir dari rahim itu. Tentang ketidaksempurnaan dirinya. Tentang kemungkinan bahwa ia… bukan siapa-siapa.
Kalimat itu masih berputar-putar, tak mau pergi.
Bagaimana jika benar? Bagaimana jika Lara bukan bagian dari mereka? Bagaimana jika selama ini, Lara hanya orang asing yang menumpang di keluarga orang lain?
Mereka kembali ke mobil tanpa sepatah kata. Luna masih sibuk dengan ponselnya. Lara bersandar ke jendela, memandangi jalanan Jakarta yang mulai ramai. Ia mencoba menenangkan napasnya, tapi pikirannya tak berhenti.
*****
Sampai di rumah, Lara langsung masuk ke dapur, menaruh tasnya begitu saja di sofa ruang tamu. Ia menyalakan keran, mulai mencuci piring-piring kotor yang tersisa di wastafel. Air mengalir deras. Sabun berbusa. Tangannya bergerak cepat, seolah ingin menenggelamkan kekacauan di kepalanya dalam busa dan air hangat.
Tapi suara lembut menghentikannya.
"Biar Ibu yang cuci."
Lara terkejut. Ia menoleh. Lusi berdiri di ambang dapur, tak lagi membawa aura dingin yang biasa. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada kelembutan yang asing di sana.
"Jangan, Lara aja. Ibu pasti capek," jawab Lara cepat, tak berani menatap lama.
Lusi diam sejenak. Ia menarik napas dalam, menahan sesuatu yang ingin tumpah.
"Lara... Ibu mencoba baik sama kamu," ucapnya akhirnya, pelan tapi jelas.
Lara berhenti menyabuni piring. Tangannya gemetar sedikit.
"Lara tahu, Bu... tapi maaf, menurut Lara itu nggak seperti Ibu."
Ia tak bermaksud jahat. Tapi jujur, ia merasa aneh. Sikap baru ini... terlalu tiba-tiba. Terlalu asing. Hatinya sudah keburu terpatri pada pola lama—jarak yang panjang, kata-kata pendek, perhatian yang hanya ditumpahkan ke Luna.
Lusi hanya mematung. Tidak membalas.
Lara menyelesaikan cuciannya, membilas tangan, lalu bergegas naik ke kamarnya. Ditinggalkannya Lusi yang berdiri sendiri di dapur, menatap punggung putrinya menghilang di tangga.
Rumah itu terlalu sunyi untuk ukuran sebuah keluarga. Bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar bicara. Udara di dalam seperti disaring—hampa, tak bernapas.
Di kamar yang remang, Lara duduk memeluk lutut di atas ranjang. Bantal di belakangnya jatuh ke lantai, tapi ia membiarkannya. Di hadapannya, buku harian terbuka setengah, halaman putihnya seakan menunggu pengakuan yang terlalu lama ditahan.
Tangan Lara sempat ragu menggenggam pulpen, sebelum akhirnya menulis. Tangannya gemetar, dan matanya sudah buram oleh air yang terus menggenang.
Kalau semua ini sandiwara, kenapa aku tetap ingin percaya?
Kalau aku memang bukan siapa-siapa mereka, kenapa hati ini tetap berharap?
Kenapa… meski tahu bisa hancur, aku masih berusaha jadi cukup?
Satu bulir air mata jatuh di kertas, menyerap tinta yang baru saja ditulisnya. Lara buru-buru menghapusnya dengan lengan baju—refleks. Ia terlalu terbiasa menyembunyikan sedihnya, terlalu takut jika itu bisa mengganggu orang lain.
Ia bangkit perlahan dari ranjang, berjalan ke meja dan merapikan buku-buku yang sebenarnya sudah rapi. Ia membersihkan meja belajarnya, merapikan tumpukan kertas yang bahkan tak berantakan. Seolah dengan bersihnya meja, pikirannya pun bisa ikut rapi.
“Semuanya harus kelihatan baik-baik aja… semuanya harus... tenang,” bisiknya nyaris tanpa suara.
Ia melirik jam dinding, hampir pukul delapan malam. Seharusnya ia sudah mandi sejak tadi. Tapi hatinya penuh. Terlalu penuh untuk sekadar berpura-pura kuat.
Lara mengambil buku hariannya, menutupnya pelan, dan memeluknya erat—seolah itu satu-satunya yang bisa mengerti.
Lalu, ia kembali ke tempat tidur. Berselimut. Meringkuk diam, berharap malam bisa melewati rumah ini tanpa banyak tanya.
*****
Sementara itu, di ruang tamu yang remang, Lusi duduk di sofa dengan tubuh condong ke depan, seperti tak punya tenaga untuk menyandarkan diri. Di tangannya, sebuah bingkai foto lama—foto bayi merah mungil dalam inkubator, kabel menempel di tubuhnya yang kecil.
Ia menatap foto itu lama, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca seperti ingin menyentuh masa lalu. Matanya berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis.
“Maafin Ibu, Lara…” bisiknya nyaris tak terdengar, seakan bicara pada bayangan di sudut ruang. “Ibu... terlalu lama hidup dalam kenangan. Sampai lupa kamu juga butuh dilihat.”
Tangannya meremas pelan sebuah foto dalam bingkai. Foto lama, usang, dengan tempelan nama kecil yang nyaris pudar. Matanya menatapnya sebentar, lalu kembali menerawang.
“Kamu tumbuh terlalu cepat, ya... terlalu cepat mengerti hal-hal yang harusnya nggak perlu kamu pikirin,” lanjutnya pelan. “Padahal... kamu belum tentu tahu semuanya.”
Ia menunduk, menarik napas panjang. “Tapi sekarang Ibu akan lihat kamu sebagai Lara. Bukan karena apa-apa. Tapi karena kamu memang... kamu.”
Di sisi lain rumah, terdengar suara tawa kecil dari kamar Luna yang sedang menelepon seseorang. Dari dapur, bunyi sendok yang belum sempat dicuci bersahut pelan dengan detak jam. Rumah itu masih hidup, tapi tak benar-benar bersama.
Lusi menarik napas panjang, menengadah ke langit-langit sejenak, lalu memeluk bingkai foto itu ke dadanya. Tubuhnya sedikit gemetar.
Rumah ini bukan tak utuh. Tapi retaknya sudah ada sejak lama. Dan malam ini, semua celahnya seakan terbuka lebar.
Tak ada yang bicara. Tak ada yang menjelaskan. Yang ada hanya jarak, yang makin nyata meski berada dalam satu atap.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏