Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Sera mengayuh sepeda ontelnya dengan ritme yang sengaja diperlambat. Jalanan komplek yang ia lewati mulai disinari matahari siang yang terik, menusuk kulit tanpa ampun. Nafasnya sudah sesak, tapi dia tetap menahan diri agar tidak berhenti.

Jarak dari rumahnya ke rumah Lara memang cukup jauh, tapi Sera ingin sekali berjalan sendiri. Ini bukan soal gengsi. Ini tentang menahan rasa rapuh yang sering menggerogoti tiap kali ia bergantung pada orang lain.

Sepeda ontelnya berdecit pelan saat melewati halaman depan rumah Citra. Motor Citra terparkir rapi di pinggir jalan. Dari balik jendela, Sera melihat Citra keluar dengan langkah cepat, wajahnya tampak lelah dan sedikit jutek.

“Lo naik sepeda? Di panas gini? Gila aja,” suara Citra keluar datar, tanpa sengaja terdengar agak dingin. Ia mengenakan jaket motor yang tampak kusut, seperti enggan mengurus dirinya sendiri hari ini.

Sera menghela napas dalam, mengusahakan senyum kecil. “Iya... Buat olahraga juga sih. Tapi... ya, lumayan jauh juga.”

Citra melangkah lebih dekat, mata tajamnya menatap lurus ke wajah Sera. “Ya udah, sini naik motor gue. Ngapain ribet kayak gitu.”

Sera menggigit bibir bawah, mencoba menolak. “Gak usah, Cit. Aku pengen jalan sendiri aja.”

Nada Citra berubah, lebih tegas dan hampir memaksa. “Gue gak nanya. Sini.”

Sera terdiam, merasa tekanan itu bukan cuma soal motor atau sepeda. Ada semacam beban yang tiba-tiba membuat dia tak kuasa menolak. Perlahan, ia mengangguk pelan. “Ya udah... Tapi pelan aja, ya?”

Citra mendengus, membuka helmnya dan dengan kasar membantunya naik ke boncengan motor. Sepeda ontel ditinggalkan di tepi jalan, dan angin yang berhembus saat motor melaju pelan ke rumah Lara seperti mengusap lembut wajah Sera, menyelipkan kelegaan yang tak ia sadari ia butuhkan.

Sesampainya di depan rumah dua lantai yang rapi dengan pagar putih dan taman kecil yang tertata rapi, Sera turun dari motor diikuti oleh Citra. Di sana, Zea dan Kesya sudah menunggu, duduk santai sambil menatap rumah dengan rasa ingin tahu dan sedikit kekaguman.

“Gue gak nyangka rumah Lara sebagus ini,” gumam Zea pelan, matanya menelusuri setiap sudut dari kejauhan.

Lara keluar dari pintu dengan pakaian sederhana, kaos polos dan celana santai. Senyumnya tipis, tak benar-benar mencapai matanya. “Ayo masuk,” ucapnya lembut, suaranya hampir seperti bisikan.

Mereka melangkah ke ruang tengah yang tertata apik. Di sana ada meja belajar penuh buku, pensil warna, dan beberapa mainan kecil.

“Ini tempat aku biasa ngajarin Satya belajar,” kata Lara sambil menunduk memunguti buku-buku yang berserakan, lalu menatanya rapi ke rak.

“Bentar ya, aku buatin minum dulu. Kalian mau apa?” teriaknya dari arah dapur.

Zea langsung membuka mulut, “Jus mel—”

“AIR PUTIH AJA LAR!!” seru Sera cepat, hampir panik.

Lara mengintip dari balik dinding dapur, mengangkat sebelah alis. “Serius?”

Sera mengangguk cepat, matanya melempar tatapan peringatan ke arah Zea.

Zea membalas dengan melotot. “Gue kan pengen jus,” bisiknya jengkel.

“Ssst! Malu! Kita lagi bertamu!” sahut Sera, nyaris mencubit Zea.

Zea mendengus, memutar bola matanya sambil menyilangkan tangan.

Tak lama kemudian, Lara datang membawa nampan berisi gelas-gelas air putih dan piring kecil berisi biskuit kelapa.

“Maaf ya, cuma ini,” katanya dengan nada sopan.

Mereka mulai membuka laptop dan buku catatan. Lara segera membagi tugas, suaranya lembut tapi tegas.

“Sera, kamu cari rumusan masalahnya ya. Zea, kamu bantu Citra cari Bab 1. Nanti aku sama Kesya bagian analisis dan kesimpulan.”

Kesya langsung mengernyit, malas. “Dih, banyak dong. Lu aja ah, Ser. Males.”

Lara menoleh, nada bicaranya masih tenang tapi lebih dingin. “Gak bisa gitu, Kes. Ini kerja kelompok, semua harus ngerjain. Masa kerja-nya satu, tapi berkelompok?”

Kesya mencibir. “Dih, sok ngatur banget.”

Lara hanya menghela napas, memilih diam.

Beberapa menit kemudian, suasana mencair sedikit.

“Btw, rumah lo bagus ya, Lar. Gede lagi,” ujar Zea sambil melirik sekeliling ruang tamu.

“Enggak kok,” jawab Lara merendah.

“Tapi gede begini, gak ada pembantu?” tanya Zea polos.

“Kan ada aku.”

Zea menoleh, terkejut. “Terus… lo jadi pembantunya gitu?”

Kalimat itu jatuh seperti pisau. Lara terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku kan anak pertama. Udah tugasnya.”

Ruangan langsung hening. Sera menunduk. Citra menatap ke arah meja. Kesya diam. Tak ada yang menyangka jawaban seserius itu.

Sera buru-buru mencoba mencairkan suasana. “Eh, kamu juga punya foto keluarga ya, Lar. Gemes deh liatnya.”

Lara menoleh, tersenyum kecil. “Oh iya?”

Kesya ikut menimpali. “Tapi kok posisi lo gitu amat, Lar? Di pojokan gitu?”

Citra mencubit tangan Kesya cepat. “Diem, lo.”

Sebelum Lara sempat menjawab, pintu rumah terbuka. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan tas belanjaan, diikuti gadis SMP dengan rambut tergerai rapi.

“Eh, ada temennya Lara ya,” ujar Lusi, ibunya, dengan suara yang terdengar ramah tapi ada sesuatu yang mengganjal di baliknya.

“Iya tante, kita lagi kerja kelompok,” jawab Citra cepat.

“Ah iya, kenalin, ini Luna. Adiknya Lara.”

“Halo, Luna. Cantik ya,” puji Citra tulus.

Lusi tersenyum, wajahnya langsung cerah. “Iya kan? Luna emang cantik banget. Padahal masih SMP, tapi udah pintar ngerawat tubuh sama wajah. Beda banget sama Lara.”

Seketika ruangan kembali sunyi. Semua mata menoleh ke arah Lara yang menunduk dalam.

Sera cepat-cepat berkata, “Lara juga cantik kok, Tante. Mirip Tante malah.”

Lusi menoleh tajam. “Eh, ini kamu ya yang dulu sama Lara? Gak ada! Mana ada mirip saya. Yang mirip saya itu Luna.”

Tangannya menyentuh bahu Luna dengan lembut, penuh bangga. Lara tetap menunduk. Matanya memerah, namun tak setetes pun air mata jatuh. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu.

Zea yang menyadari suasana, cepat-cepat membuka suara, “Eh Lar, Bab 1-nya gimana ya? Jelasin lagi dong.”

Yang lain langsung ikut membantu mencairkan suasana. Lusi pergi ke dapur, sempat menoleh dan berkata datar, “Yang rajin ya, Lara, ngarain temen-temennya.”

Suasana kembali tenang secara paksa. Tapi tidak dengan perasaan mereka. Ada sesak yang tertinggal, menggantung di udara.

****

Setelah berpamitan di depan rumah Lara, Citra menyalakan motornya pelan, membawa Sera di boncengan. Angin sore mulai berhembus dingin, menusuk kulit yang masih hangat oleh sisa terik matahari siang. Jalanan komplek lengang, hanya suara motor yang mengisi hening.

Zea yang sudah duluan pergi dengan motornya sendiri, melaju di belakang mereka, tampak santai tapi pikirannya jelas masih berat. Sera menunduk, diam di belakang Citra. Wajahnya letih, tapi tak ada kata yang keluar.

Sesampainya di rumah Citra, mereka langsung masuk ke kamar. Citra menyuruh Sera ikut, walau Sera tahu seharusnya dia bisa pulang sendiri. Tapi entah kenapa, ia memilih ikut, seperti ada yang tak mau ia lepaskan begitu saja.

Citra menggelar karpet di lantai, membuka jendela lebar-lebar agar udara sore yang dingin masuk. Zea langsung menjatuhkan diri ke kasur, menghela napas panjang. Sera duduk bersandar di dinding, masih menahan beban yang terasa berat di dada.

Beberapa detik terdiam. Baru kemudian Zea bersuara, suaranya rendah dan pelan, tapi berat.

“Gue gak nyangka… Lara diperlakuin kayak gitu di rumahnya.” Dia menunduk, memandangi kuku jari tangannya yang dicat setengah mengelupas. “Pantes aja dia suka gak enakan, gak pernah nolak... Jadi gak enak nih gue suka nyuruh-nyuruh dia.”

Kesya ikut mengangguk pelan, suaranya seperti gumaman. “Gue juga, Ze. Gue malah… masih punya utang dua ratus ribu sama dia.”

Citra menggeleng pelan, wajahnya menegang. “Makanya cepet balikin, Kes. Siapa tau dia juga gak dikasih uang jajan sama Ibunya yang... kayak gitu.”

Sera duduk bersila, menatap ke lantai kosong. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.

“Ih… kasihan banget ya Lara… Udah kayak Cinderella. Tinggal sama Ibu tiri yang keliatan gak disayang.”

Air mata jatuh perlahan di pipinya. Tangannya menyeka cepat, tapi isaknya tetap terdengar kecil.

Zea, yang duduk paling dekat, menoleh dan langsung tertawa pelan sambil menyikut Sera.

“Cengeng banget lo.”

Sera cemberut, tapi tak membalas. Ia masih sibuk menenangkan dadanya sendiri.

Citra mendesah berat. “Tapi serius deh… Gue juga sering liat Lara lari ke sekolah pagi-pagi. Tasnya gede, buru-buru, kayak ngejar waktu terus. Pulangnya juga… suka jalan kaki sendirian.”

Kesya langsung menoleh. “Serius lo? Kenapa gak pernah nawarin tumpangan?”

Citra mengangguk, matanya menerawang. “Udah. Gue udah nawarin beberapa kali. Tapi dia nolak terus. Katanya gak enak, gak mau ngerepotin. Kayaknya… Lara cuma berani nolak hal-hal kecil gitu doang.”

Zea mendengus. “Ternyata nyebelin banget ya di posisinya dia.”

Sera bersandar ke dinding, menatap langit dari jendela yang terbuka. “Dia terlalu kuat. Atau mungkin… dia udah gak punya pilihan selain jadi kuat.”

Hening lagi. Tapi kali ini, lebih berat.

Citra memeluk lututnya. “Kes… besok lo balikin duitnya ya. Serius.”

Kesya menoleh. “Iya, iya, gue balikin.”

Zea langsung menimpali dengan nada menggoda, “Kalau gak, gue gebuk lo! Sekalian itung-itung nembus rasa bersalah guelah.”

Kesya mendelik. “Dih, tumben banget lo peduli.”

Zea tertawa kecil, tapi wajahnya tetap serius. “Bukan peduli. Tapi gak enak aja, selama ini gue nyusahin dia terus.”

Semua terdiam. Sera menatap langit, Kesya memainkan ujung jaketnya, dan Citra menutup mata sejenak.

Semuanya larut dalam rasa bersalahnya masing-masing.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 2
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Gerhana di Atas Istana
22358      5497     2     
Romance
Surya memaksa untuk menumpahkan secara semenamena ragam sajak di atas kertas yang akan dikumpulkannya sebagai janji untuk bulan yang ingin ditepatinya kado untuk siapa pun yang bertambah umur pada tahun ini
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
465      317     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
A Tale of a Girl and Three Monkeys
339      201     6     
Humor
Tiga kakak laki-laki. Satu dapur. Nol ketenangan. Agni adalah remaja mandiri penuh semangat, tapi hidupnya tak pernah tenang karena tiga makhluk paling menguji kesabaran yang ia panggil kakak: Si Anak Emas----pusat gravitasi rumah yang menyedot semua perhatian Mama, Si Anak Babi----rakus, tak tahu batas, dan ahli menghilangkan makanan, dan Si Kingkong----kakak tiran yang mengira hidup Agni ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2041      785     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
97      86     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Rewrite
9588      2763     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
pat malone
4760      1371     1     
Romance
there is many people around me but why i feel pat malone ?
VampArtis United
1236      750     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...