Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Lara berlari tergesa dengan pipi yang masih merah muda tertampar angin sore. Jemarinya menggenggam setang sepeda kecilnya erat-erat, dan kakinya mengayuh seolah ia sedang melawan dunia. Sepeda itu bergoyang-goyang, dikayuhnya dengan gaya sembarangan khas anak kecil yang belum benar-benar mahir, tapi terlalu bersemangat untuk peduli.

Tawa Lara pecah di udara. Tawa yang jujur, polos, dan hidup—tawa seorang anak yang belum tahu rasanya kehilangan.

Namun roda depannya tiba-tiba tersandung batu kecil. Sepeda itu oleng. Dan sekejap kemudian, tubuh mungil Lara menghantam tanah. Suara kulit bertemu aspal, diiringi jeda hening, lalu…

“Aaaakkkhh!!”

Tangisnya melengking, menusuk udara. Lututnya berdarah. Telapak tangannya memerah. Ia menangis tak tahu harus bagaimana, dengan suara tercekat dan tubuh menggigil karena kaget.

Leo dan Lusi langsung berlari keluar dari dalam rumah. Ayah dan Ibu yang dulu tak pernah absen memeluk, menggenggam, dan melindungi.

“Lara!” seru Leo panik, lututnya menghantam tanah saat ia tiba di sisi putrinya. “Lara sayang, sakit ya? Tenang, Ayah di sini…”

Lusi sudah menahan tangis. Ia membuka kotak P3K dengan tangan bergetar. Dengan penuh hati-hati, ia membasuh luka itu dengan kapas basah, lalu meniupnya pelan. Seolah luka itu bisa hilang hanya dengan hembusan cinta.

“Pelan-pelan ya, Nak… Ibu obatin dulu,” ucapnya dengan suara selembut kabut pagi.

Tangis Lara mulai mengecil. Sedikit-sedikit, tergantikan oleh senyuman kecil yang malu-malu. Ketika perban putih itu terpasang sempurna, Leo pun mengangkat tubuh mungil itu dan mendudukannya kembali ke atas sepeda.

“Ayok, Ayah bantu… Pegang stangnya,” kata Leo, sambil berdiri di belakangnya dan perlahan mendorong sepeda ke depan.

Di sisi lain, Lusi berjalan sambil menatap mereka— Leo dan Lara yang tertawa bersama, dikelilingi cahaya senja yang hangat.

Lara dulu punya keluarga sehangat itu. Secemara itu. Sekasih itu.

Tapi perlahan, bayangan itu mulai buram.

Lara berhenti mengayuh. Ayah dan ibunya yang tadi berada di sampingnya menghilang. Sekelilingnya memudar menjadi gelap, seperti cat air yang dihapus hujan. Suara tawa tadi lenyap, digantikan keheningan menusuk. Dunia di sekitar Lara retak, runtuh pelan-pelan dan... hampa.

Tiba-tiba, cahaya putih bak lampu yang menyorot muncul di hadapannya. Di dalam cahaya itu, Lara melihat sosok ayah dan ibu. Namun, mereka membelakanginya. Sang Ibu menggendong seorang anak kecil, dan sang Ayah menggandeng tangan anak lain.

Mereka berjalan menjauh.

Langkah-langkah yang semula akrab, kini terdengar asing. Dingin. Perlahan, bayangan mereka mulai memudar ditelan cahaya, tapi tidak dengan rasa sakit yang mereka tinggalkan.

“Ayah!! Ibu!! Tunggu!” jerit Lara, napasnya putus-putus.

“Lara ikut! Lara mau ikut!”

“Ibu, tolong… Jangan tinggalin Lara…”

Suara Lara menggema di ruang hampa. Tapi suaranya tak pernah sampai. Tak ada yang menoleh. Tak ada yang mendengar. Hanya punggung-punggung yang menjauh, makin jauh, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya.

Seolah dunia sendiri memilih membungkam jeritannya.

Ia jatuh berlutut. Suaranya patah-patah.

“A… yah…”

“I… bu…”

“Jangan tinggalin Lara…”

Suara terakhirnya seperti ranting patah—tipis, lirih, dan penuh putus asa. Tangannya terulur ke depan, mencoba meraih sesuatu yang tak ada. Dada sesak. Tubuh gemetar. Segalanya runtuh dalam sunyi.

Lalu—

Sebuah cahaya menyilaukan. Cahaya putih terang seperti lampu ruang medis menembus kelopak matanya. Suara samar terdengar di kejauhan, seperti seseorang yang memanggilnya dari balik air.

“Lara! Lara!”

Seseorang mengguncangnya pelan. Sebuah tangan menyentuh pipinya.

Dan ia membuka mata.

Langit-langit putih, bau antiseptik, dan kasur tipis yang dingin menyambutnya. Napasnya masih tersengal. Tubuhnya berat, seolah baru kembali dari tempat yang tak ingin ia jamahi lagi.

Di sampingnya, Sera duduk dengan wajah pucat dan mata sembab. Wajah yang begitu cemas, seolah dunia bisa runtuh kapan saja.

“Ser… a?” gumam Lara. Bibirnya kering. “Kok kamu… nangis?”

Sera menggigit bibir, menahan isak. Ia menggeleng pelan, tapi air matanya mengalir lagi. “Kamu pingsan, Lar… Pas pelajaran olahraga tadi. Kamu lagi lari, terus jatuh, nggak bangun-bangun… Aku takut banget.”

Lara diam. Pandangannya kosong ke langit-langit. Lalu, seperti tersentuh sesuatu yang tak terlihat, ia menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya mulai bergetar.

Tangis itu pelan. Tapi tajam. Bukan tangis karena sakit atau ketakutan sesaat. Ini tangis yang keluar dari perasaan yang lama membusuk di dalam, yang selama ini tak punya tempat untuk meledak.

Sera terdiam. Lalu, perlahan, ia meraih Lara dan mengusap punggungnya dengan hati-hati.

“Lara…” bisiknya. “Ada apa? Kamu bisa cerita semuanya sama aku, ya…”

Lara tidak menjawab. Ia hanya terus menangis—dalam, berat, penuh luka. Tangisnya seperti suara dari dalam sumur yang dalam, yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah sekian lama ditutup batu.

Sera tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya tetap di situ. Tetap mengusap. Tetap diam, karena ia tahu kadang, yang paling dibutuhkan seseorang bukanlah jawaban, tapi kehadiran yang tidak pergi.

Setelah beberapa lama, ketika isaknya mulai melemah, suara Lara terdengar. Lirih, nyaris tak terdengar.

“Aku capek…”

Sera mendekat sedikit, tapi tidak memaksa. Lara menarik napas dalam, lalu menghembuskannya lambat-lambat, seperti mencoba mengosongkan dada yang terlalu penuh.

“Aku tuh, Ser…” suaranya pecah. “…pengen jadi jahat aja.”

Sera mengernyit pelan. “Jahat?”

Lara mengangguk. Masih menunduk, air mata masih membasahi wajahnya.

“Aku pengen banget… nyakitin balik orang-orang yang bikin aku ngerasa kayak gini. Tapi aku nggak tahu gimana caranya. Bahkan bayangin aja… aku takut.”

Ia tertawa kecil, getir, tapi tidak ada yang lucu dari suaranya.

"Menurut kamu, aku bisa nggak, Sera? Jadi jahat? Jadi orang yang nggak terus-menerus diem, nurut, ngalah terus, senyum terus padahal lagi pengin meledak…”

Sera terdiam. Tapi matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia meraih tangan Lara, menggenggamnya kuat.

“Kalau itu artinya kamu mulai belajar nentuin batas, mulai nolak buat nyakitin diri sendiri demi nyenengin orang lain…” katanya lirih. “Kalau itu yang kamu maksud jahat… mungkin justru itu pertama kalinya kamu benar-benar sayang sama diri kamu sendiri.”

Lara menatap Sera—mata yang merah, basah, dan penuh retakan.

Lalu, untuk pertama kalinya hari itu, ia mengangguk.

Bukan karena semua baik-baik saja.

Tapi karena akhirnya ada satu tempat kecil di dunia yang bersedia mendengarkannya.

****

Lara melangkah cepat, langkah-langkah kecilnya terdengar pelan di antara suara sepatu lain yang berjejal di lorong sekolah. Sambil membetulkan letak tas yang sempat ditarik Sera, ia berseru setengah kesal, “Sera! Istirahat dulu, napa! Hari ini kita pulang lebih cepet. Tunggu bentar, aku pesen ojol, ya? Jangan jalan kaki pulangnya!”

Sambil terus berjalan, Lara menoleh ke belakang, wajahnya setengah bercanda. “Jalan kaki itu sehat, kata Ibu aku…”

Namun langkahnya melambat. Tubuhnya yang tadi tampak ringan berubah lesu. Seolah-olah ada beban tak kasatmata yang menempel di bahunya—lebih berat dari buku pelajaran atau tugas menumpuk. Lebih berat dari apapun yang bisa dimasukkan ke dalam tas.

Tanpa aba-aba, Sera melesat maju, berdiri tegak di depan Lara dengan tangan terbentang lebar seperti palang pintu. “Gak! Kamu belum sembuh, Lara! Kalau kamu kenapa-kenapa di jalan gimana, hah?”

Lara mengangkat alis, nyaris datar. Nada bicaranya malas, seperti kelelahan menjelaskan sesuatu yang orang lain tak akan benar-benar mengerti. “Aku cuma pingsan, Ser. Bukan mati. Badan aku... cuma bosen aja.”

“DIEM GAK! Jangan ngomong gitu!” Suara Sera meninggi, goyah tapi tegas. “Aku gak rela, tau! Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu, aku bakal nempel terus sama kamu kayak lem!”

Lara tertawa kecil. Suaranya pelan, tapi matanya kosong. Ia tahu Sera marah karena peduli. Tapi ia juga tahu—yang lelah bukan cuma tubuhnya. Ada yang lain di dalam sana, bagian dari dirinya yang terus tumbang meski orang lain bilang ia baik-baik saja.

Perdebatan mereka akhirnya usai tanpa pemenang. Tapi Lara mengalah. Bukan karena kalah argumen—melainkan karena hatinya lelah.

Begitu mereka sampai di gerbang sekolah, ojol yang dipesan Sera sudah menunggu. Seorang bapak tua, duduk tenang di atas motor butut yang berkarat di bagian kenalpot, meneduh di bawah pohon. Napas Lara mengendap. Ada rasa tak enak yang menyeruak di dadanya.

“Ya udah, aku naik,” katanya lirih. “Bapak ojol itu udah nunggu dari tadi, kasihan.”

Tanpa banyak protes, Lara naik ke motor. Tak apa, batinnya. Biarlah uangnya terkurang sedikit, asal hatinya tak tambah sesak karena merasa bersalah.

Sera mengayuh sepedanya pulang. Tapi sebelum menghilang di tikungan, ia sempat berteriak sambil menunjuk tajam, “Besok jangan bandel lagi! Kalo kamu pingsan satu kali lagi, aku nginep di rumah kamu, titik!”

Lara membalas dengan anggukan dan senyum tipis—senyum yang tak sampai ke mata.

Di atas motor yang batuk-batuk tiap kali melewati polisi tidur, Lara menunduk. Angin sore tak cukup dingin untuk menenangkan pikirannya yang ribut. Ia terus berpikir—tentang ketakutan-ketakutan yang ia sembunyikan rapat, tentang harapan-harapan kecil yang perlahan memudar, tentang dirinya sendiri yang ingin melawan tapi belum tahu bagaimana caranya.

Ia tahu ia belum cukup berani.

Tapi satu hal yang pasti, Lara akan terus mencoba.

Demi dirinya sendiri.

*****

Begitu sampai di depan rumah, Lara turun dari motor ojol dengan pelan. Ia mengangguk sopan pada si bapak sembari memberikan uang bernilai dua puluh ribu, lalu berjalan menuju pagar sembari membenahi rambut yang berantakan ditiup angin. Langkahnya berat, tapi ia berusaha tetap terlihat baik-baik saja.

Baru saja membuka pintu, suara berat Leo langsung terdengar dari ruang tengah, tanpa melihat siapa yang datang.

“Langsung mandi. Jangan tidur dulu. Badan kamu itu terlalu manja! Makanya tiap pagi olahraga ringan! Kayak Luna.”

Lara mengangguk lemas. Tapi sebelum sempat menjawab, suara tajam lain memotong dari arah dapur.

“Kalau kamu pingsan lagi di sekolah, Ibu gak mau dipanggil tiba-tiba buat jemput kamu. Malu!”

Lara mematung sejenak. Pandangannya turun ke ubin, tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tak ingin menjawab. Percuma. Lara hanya melepas sepatunya, lalu melangkah cepat ke kamar.

Pintu tertutup. Dunia di luar pun terkunci.

Lara berdiri beberapa detik di balik pintu, menarik napas panjang. Tak ada pelukan. Tak ada tanya "kamu kenapa?" Hanya perintah dan omelan, seperti biasa.

Ia membuka jendela kamar. Angin sore menyapu masuk, menyentuh wajahnya seperti teman lama yang mengerti. Ia duduk di depan meja, menarik buku cokelat tua yang selalu ia sembunyikan di balik tumpukan novel.

Buku itu penuh puisi-puisi kecil. Beberapa tak selesai. Beberapa cuma satu baris. Tapi sore ini, ia ingin menulis lagi. Ia mengambil pulpen, membuka halaman kosong, lalu menulis pelan.

 

Aku ingin jadi langit,

karena langit tidak pernah dituntut.

Ia biru atau gelap,

tetap dibiarkan ada.

 

Aku ingin jadi hujan,

datang tanpa perlu alasan.

Tak harus sopan,

tapi tetap dinanti.

Aku ingin jadi luka,

yang diterima tanpa harus ditertawakan.

 

Lara berhenti menulis. Tangannya gemetar sedikit, tapi bibirnya tersenyum tipis. Ia tahu, puisinya tak akan menyembuhkan apa pun. Tapi setidaknya, ia tidak lagi merasa sendirian dalam diam.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 4
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
Hello, Me (30)
24242      2268     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Happy Death Day
750      462     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Rver
7629      2234     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Sweet Equivalent [18+]
5440      1398     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Ruang Suara
379      276     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
NIKAH MUDA
2928      1083     3     
Romance
Oh tidak, kenapa harus dijodohin sih bun?,aku ini masih 18 tahun loh kakak aja yang udah 27 tapi belum nikah-nikah gak ibun jodohin sekalian, emang siapa sih yang mau jadi suami aku itu? apa dia om-om tua gendut dan botak, pokoknya aku gak mau!!,BIG NO!!. VALERRIE ANDARA ADIWIJAYA KUSUMA Segitu gak lakunya ya gue, sampe-sampe mama mau jodohin sama anak SMA, what apa kata orang nanti, pasti g...
Unframed
1949      1101     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Taruhan
99      94     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Menanti Kepulangan
95      88     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Kebahagiaan...
600      422     4     
Inspirational
Apa arti sesungguhnya dari bahagia? Dapat menghabiskan banyak waktu menyenangakan bersama orang yang kita sayangi dan bisa terus bersama adalah salah satu dari kebahagiaan yang tidak ternilai....