Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Langit sore tampak mendung, seperti ikut merasakan apa yang ada di kepala Lara. Ia duduk di halte sendirian, menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan yang pulang kerja. Tangannya menggenggam plastik berisi dua roti dan sebotol air mineral—makan malam hari ini, mungkin.

Suara motor berlalu-lalang terdengar berisik, tapi kepala Lara penuh dengan suara yang lebih ribut, omelan Ibunya, tatapan dingin Ayahnya, janji palsu Kesya, dan perintah seenaknya dari Zea.

Lara menarik napas panjang, lalu membuka ponsel. Seperti biasa tak ada pesan masuk.

Ia menunduk. Saat itu, seekor kucing kecil tiba-tiba duduk di samping kakinya. Badannya kotor, matanya sayu. Tapi entah kenapa membuat Lara tersenyum kecil.

“Hai,” bisiknya lirih. “Kita sama, ya? Sama-sama gak tahu harus pulang ke mana dengan tenang.”

Kucing itu hanya mengeong pelan, lalu mengejar bayangannya sendiri. Lara mengamati, lalu membuka plastik rotinya. Ia patahkan sedikit ujungnya, meletakkannya di dekat si kucing.

“Nih. Kita makan bareng.”

Angin sore mulai dingin. Jaket tipis yang ia pakai tak banyak membantu. Tapi lebih dingin lagi pikiran-pikiran di kepalanya. Ia menggigit rotinya perlahan. Hambar. Seperti harinya. Seperti hidupnya.

“Aku harusnya ngomong,” gumamnya. “Harusnya... aku bilang enggak.”

Tapi suaranya tenggelam sendiri, tak yakin. Bibirnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena ragu.

Kalau aku nolak, mereka marah. Kalau aku bilang enggak, aku jadi anak durhaka. Kalau aku berhenti bantuin, siapa yang bakal nolongin Satya?

Lara menunduk makin dalam. Ia menggenggam ujung roti yang tersisa, menatap kucing kecil itu lagi.

“Apa aku egois kalau mulai mikirin diri sendiri?”

Tak ada jawaban. Hanya mesin motor yang meraung keras melewati jalanan depan.

Ponselnya bergetar tiba-tiba. Ternyata pesan dari Zea.

PR Fisika. Gue lupa. Kirim fotonya ya sekarang, penting.

Tanpa embel-embel 'tolong', tanpa 'makasih'.

Lara menatap layar itu lama sekali. Lalu menguncinya pelan.

Ia belum siap membalas. Tapi untuk pertama kalinya... ia tak langsung menuruti.

*****

Begitu sampai di rumah, Lara disambut keheningan yang asing tapi anehnya terasa nyaman. Tak ada suara. Tak ada keributan. Hanya detak jam dinding dan suara angin sore yang menyelinap lewat celah jendela. Ia sempat meraih ponsel, hendak menanyakan keberadaan Ibunya. Tapi Lara urungkan.

"Kapan lagi aku bisa nikmatin waktu sendirian kan?" gumamnya pelan, meletakkan tas di sofa dengan helaan napas panjang.

Ia berjalan ke dapur. Ada sisa piring makan yang belum tersentuh. Dengan sabar, Lara mencucinya satu per satu. Setelah itu, ia mengambil sapu dan mulai membersihkan ruang tengah sambil bersenandung lagu dari masa kecilnya. Hal Sederhana itu cukup untuk membuatnya tersenyum.

Sore yang tadinya muram, perlahan berubah menjadi hangat. Seolah rumah ini mengizinkannya merasakan damai—meski hanya sebentar.

Lara duduk di depan televisi, memeluk boneka beruang tuanya. Bulunya sudah mulai pudar, tapi pelukannya tetap setia. Ia menertawakan acara favoritnya, menenggelamkan diri dalam tawa yang hanya ia dengar sendiri. Dan untuk sejenak, ia tidak merasa sendirian.

Tapi ketika Jarum jam menyentuh angka sembilan malam. Tawa itu perlahan memudar. Matanya kembali ke layar ponsel. Ada dorongan untuk menelpon Ibunya, tapi sebelum sempat ia menekan nomor...

Terdengar suara pintu dibuka.

Tawa dan langkah masuk bersama angin malam yang menghambus menusuk kulit Lara. Suara-suara riang yang mengisi rumah dengan kehidupan, tapi tidak membawa kehangatan untuknya.

“Steaknya tadi enak banget, Ayah! Nanti beli lagi ya!” seru Luna, penuh semangat.

“Haha, iya. Kalau bareng Luna sama Satya, makannya jadi lebih enak,” sambung Lusi, suaranya lembut dan manis, tapi terasa jauh.

“Sayang ya Kak Lara gak ikut. Lain kali ajak, dong, Yah!” ucap Satya, polos, seperti biasa.

Lara berdiri perlahan. Tubuhnya kaku. Matanya menatap wajah-wajah itu—ayah, ibu, adik-adiknya. Mereka terlihat bahagia. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti sedang menyaksikan keluarga orang lain.

“Kalian... makan steak ya?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar.

“Iya dong! Enak banget! Gue sampai beli dua, lho,” jawab Luna, santai, seperti tak ada yang salah.

Lara menahan napas. Hatinya mengerut. Tapi saat Satya memeluk pinggangnya, membuat Lara merasa dunia masih memberi sedikit ruang untuk bernapas.

“Kak Lara jangan sedih, ya. Kata Ibu Kakak udah gede, jadi gak mau diajak. Gak bener ya?”

Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca yang pelan-pelan melukainya. Lara mencoba tersenyum, tapi air matanya lebih dulu sampai.

“Kalian bahkan gak nanya... Gimana bisa tahu apa yang aku mau?”

Semua terdiam.

“Lara, kamu itu Kakak. Masa hal kecil gini gak bisa ngalah? Uang kita terbatas, Nak... Ibu pikir kamu paham,” ujar Lusi akhirnya, pelan, tapi tetap menekan.

“Terbatas... tapi Luna beli dua?" Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang mulai serak. "Lara... beneran anak kalian kan?"

Ucapan itu meluncur begitu saja. Tanpa filter. Dan saat Leo menatapnya, Lara tahu ia sudah salah.

“Jaga bicaramu, Lara! Kamu tetap anak kami, tapi kamu yang paling besar. Harus ngerti! Kalau kamu begini, adik-adik kamu nanti ikut-ikutan!”

Lara menarik napas dalam. Dadanya terasa sangat sesak. Ia ingin membalas, menjelaskan, tapi yang keluar hanya sebuah pertanyaan. “Tapi... aku juga masih anak kalian kan?”

Suara Leo menggelegar, “Lara! Sejak kapan kamu mulai membantah? Mau jadi anak durhaka?!”

Seketika, Lara terdiam. Bentakan itu terasa berat menghantam dunianya yang semakin runtuh Tapi akhirnya ia mengangguk.

Karena Lara tak punya pilihan lain.

“Maaf…”

Lara berjalan pergi, langkahnya cepat menuju kamar. Pintu ditutup tanpa bunyi. Tapi di dalam, semuanya pecah. Air mata. Isak. Luka yang tak bisa ia tunjukkan siapa pun.

Di sudut kamar, di meja kecilnya, ia membuka buku catatan. Tempat paling jujur yang pernah ia punya.

Ia menulis sesuatu, menuangkan segala perasaannya pada sebuah pena dan kertas, tapi yang ia tulis bukanlah tugas Zea, bukan juga kata-kata biasa.

Tapi puisi.

Tempat satu-satunya di mana hatinya bisa bicara... dan didengar, meski hanya oleh dirinya sendiri.

*****

Keesokan paginya, Lara bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sembab, tapi ia tetap memaksa tersenyum saat membantu menyiapkan sarapan. Ibunya tak banyak bicara. Ayahnya hanya mengangguk singkat. Luna dan Satya sibuk sendiri.

Lara akhirnya duduk di meja makan yang kini kosong. Ia menggenggam sendok, lalu meletakkannya perlahan. Pikirannya kembali dipenuhi suara-suara—tapi kali ini bukan hanya suara keluarganya.

Tapi suara dari dalam dirinya sendiri.

"Aku harusnya bilang enggak."

"Aku capek."

"Aku juga mau dimengerti."

Ia menatap bayangannya sendiri di pantulan teko aluminium. “Kalau aku terus nyenengin orang, tapi gak ada yang peduli sama aku, buat apa?” gumamnya pelan.

“Kamu bilang apa, Lara?” tanya Lusi yang baru datang dari dapur sambil membawa piring berisi makanan.

Lara menunduk sedikit, suaranya pelan, hampir ragu. “Ibu… nanti pulangnya bisa jemput Lara, gak? Lara capek jalan terus…”

Lusi hanya terkekeh ringan. “Jalan kaki kan sehat, Lara. Lagian nanti Ibu mau jemput Luna, terus dia minta ke salon sama shopping. Kamu mau ikut? Tapi bantu bawain barang belanjaan ya.”

Lara terdiam. Ia tahu maksudnya bukan benar-benar ikut. Ia pasti hanya akan menjadi tangan tambahan yang membawa semua tas belanjaan, berjalan di belakang mereka seperti asisten tak terlihat.

“Enggak deh, Bu… Gak apa-apa, Lara jalan kaki aja,”

“Ya udah, paling cuma 30 menit juga, kan.”

Tak lama kemudian, Ayah datang bersama Satya. Mereka duduk dan mulai menyantap makan malam.

Lara mencoba sekali lagi. “Yah…”

Belum sempat ia lanjutkan, suara Leo memotong cepat. “Ayah pulang malam, Lara. Jalan kaki aja, gak usah manja. Kamu tuh anak sulung. Bisa mandiri sedikit gak?”

Lara menggigit bibir bawahnya. Rasanya ingin bicara lebih, tapi ia hanya menelan kata-kata itu bersama senyum getir yang dipaksakan.

“Iya, Ayah.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 3
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Imajinasi si Anak Tengah
3085      1658     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Tanda Tangan Takdir
288      225     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
3832      1288     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Cinderella And The Bad Prince
1931      1238     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Dalam Satu Ruang
189      131     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Baniis
677      423     1     
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya. (Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
514      354     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Interaksi
530      396     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Aku Ibu Bipolar
55      48     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Kelana
1026      676     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...