Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Lara duduk di ruang tengah, lututnya berselonjor di lantai dingin, menemani Satya yang serius mengerjakan PR. Adik bungsunya itu baru kelas lima SD, dan di antara tumpukan kertas dan pensil warna, ia terlihat seperti anak kecil pada umumnya yang belum tahu kerasnya hidup.

“Pintarnya anak Ayah. Rajin banget, ya, belajarnya,” ujar Ayahnya, Leo, yang tiba-tiba datang menepuk lembut kepala Satya dengan senyum bangga.

“Iya dong! Nanti kalau Satya juara satu lagi, beliin sepeda baru lagi ya, Yah?” pinta Satya dengan polos.

“Tentu dong, anak Ayah,” balas Leo sambil terkekeh kecil.

Lara menahan napas. Ia juga ingin bicara, ingin sekali menyampaikan kebutuhannya. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokan. Lara tetap berusaha memberanikan diri.

“Yah… boleh gak, kalau Lara minta—”

“Gak boleh!” suara Leo tiba-tiba meninggi, tajam dan tegas. “Ayah udah bilang, hemat uang jajan! Kemarin Luna baru minta dibeliin handphone keluaran terbaru. Masa kamu juga mau minta? Kamu tuh anak pertama Lara, masa gitu aja iri sama adikmu!”

Lara menunduk dalam. Ia tak sanggup menjelaskan bahwa yang ingin ia minta hanyalah sebuah kalkulator baru—kalkulator lamanya sudah mati total. Ia butuh untuk praktik besok. Uang jajannya habis untuk beli buku tugas, dan sisanya? Dipinjam temannya, dan belum tentu akan kembali.

“Lara emang susah banget dibilangin!” suara Ibunya, Lusi, mengirisnya seperti pisau. “Kamu anak pertama, Lara. Harusnya bisa jadi contoh. Uang aja gak bisa ngatur, gimana mau atur masa depan kamu? Gimana mau jadi panutan adik-adik kamu? Kamu lupa apa kata Ibu? Anak pertama itu harus bisa segalanya, kamu tuh ya, harus banget dibilangin setiap hari!”

Lara menggigit bibir bawahnya dengan keras. Air mata menggenang tapi tak tumpah. Ia tahu... semua yang mereka katakan mungkin ada benarnya. Mungkin ini memang salahnya.

“Iya, Bu. Maaf... Lara emang salah, harusnya Lara bisa lebih hemat lagi.”

Leo menghela napas kasar, memalingkan wajah seolah tak sanggup lagi menatap anak sulungnya. Dan tak lama kemudian, Luna pulang. Seragam SMP-nya yang telah di modifikasi jadi ketat, dan di poninya menempel rol rambut warna pink.

“Luna! Dari mana aja kamu?! Udah jam delapan malam loh!” bentak Leo.

“Biasa abis jalan sama pacar,” jawabnya datar, sambil melempar tas ke sofa.

Lusi memijit pelipisnya. “Luna… kamu itu anak perempuan. Jangan pulang malam gini, bahaya!”

Luna hanya mengangkat bahu. “Mending ginilah daripada jadi jomblo ngenes kayak Kak Lara.”

Kata-kata itu menampar Lara lebih keras dari tangan mana pun. Ia berdiri, darah mendidih di kepalanya.

“Bisa gak sih kamu jadi adik yang sopan sedikit?! Aku ini kakak kamu, Luna!”

“Dih, lo betak gue? Serius?” Air mata mulai menggantung di mata Luna, tapi nadanya tetap menantang.

Satu tamparan mendarat di pipi Lara. Lusi berdiri, napasnya memburu. “Berani-beraninya kamu sakitin anak saya, Lara!”

Lara terdiam. Pipinya terasa terbakar. Tak ada lagi ruang untuk menjelaskan, apalagi membela diri. Ia hanya bisa lari—meninggalkan ruang penuh luka itu dan mengurung dirinya di kamar, tempat satu-satunya di mana ia bisa menangis tanpa disalahkan.

"Jika Luna anak Ibu, dan Satya anak Ayah, lalu aku? Siapa yang peduli sama Lara? Ya tuhan, Lara lelah."

"Lara juga... ingin disayang. Lara juga gak mau jadi Kakak..."

Malam itu pun menelannya, bersama isak yang bahkan tak berani bersuara.

*****

Luna berlari menuruni tangga sambil merapikan dasinya yang miring. Wajahnya cemberut saat menatap Lara yang masih santai di ruang tengah.

"Kak Lara! Lo kok gak bangunin gue?" bentaknya kesal.

Lara yang sedang menyisir rambut Satya dengan pelan hanya menoleh sebentar.

"Emang kamu gak pasang alarm, Luna?" tanyanya santai.

"Ih gak guna! Malah nyalahin gue!" Luna mendengus, lalu buru-buru menghampiri Ibunya yang sedang sibuk di dapur.

"Ibu liat gak, Kak Lara gak bangunin Luna! Luna jadi telat! Belum lagi ini poni Luna belum rapi!"

Lusi menoleh, sorot matanya langsung mengarah tajam pada Lara.

"Bisa-bisanya kamu gak bangunin adik kamu? Kakak macam apa kamu, Lara?!"

"Ibu, Lara kan urusin Satya!" balas Lara, mulai gelisah.

"Oh, mulai berani melawan saya kamu!" nada suara Lusi naik.

Lara terdiam sejenak, lalu mencoba menjelaskan. "Bukan gitu maksud Lara, Bu—"

"Udah cukup! Luna ayok kita berangkat, Ibu juga lagi buru-buru nih."

"Ibu bentar, Lara belum siap-siap!" suara Lara makin pelan, sedikit panik.

"Kenapa gak dari tadi? Ikut mobil Ayah aja sana!" tegas ibunya.

"Tapi kan—"

Tatapan tajam Lusi membuat Lara langsung bungkam dan menunduk.

"Iya, Bu. Lara ngerti..." ucapnya, sambil tersenyum getir.

Tak lama, Leo—Ayah mereka—masuk ke ruang tengah sambil melihat jam tangannya berulang kali.

"Satya udah siap? Ayok kita berangkat sekarang."

"Ayah, Lara ikut ya," ucap Lara buru-buru.

"Emang Ibu kamu ke mana?"

"Ibu udah berangkat. Lara udah hampir siap kok, Yah..."

"Haduuh!! Nyusahin banget sih jadi anak! Ayah juga udah telat, ada meeting. Kalau ke sekolah kamu dulu, harus muter. Kenapa gak siap-siap dari tadi!"

"Iya, Ayah... Maaf..."

"Udah kamu naik ojol aja. Ayah buru-buru. Sekali lagi, itu salah kamu!"

"Tapi, Yah. Lara kan gak ada uang..."

Namun Ayahnya sudah keluar lebih dulu, meninggalkan Lara yang berdiri terpaku. Tak ada pilihan lain, ia pun berlari menuju sekolah sambil menahan air mata.

Langkahnya cepat, napasnya tersengal, keringat membasahi pelipisnya. Sepatunya sempat tersandung batu kecil, membuat lututnya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Perih. Dingin. Malu. Semuanya bercampur aduk.

Sesampainya di sekolah, benar saja. Gerbang sudah tertutup rapat. Suara lantang dari mikrofon menggema—upacara bendera telah dimulai.

"Lara, kamu telat lagi?!" bentak guru piket yang menjaga gerbang. "Berdiri di lapangan! Satu kaki! Angkat kedua tangan! Jangan turunin sampai saya bilang!"

Lara mengangguk tanpa suara. Ia berdiri di pinggir lapangan, satu kaki terangkat, kedua tangan di atas kepala. Matahari mulai menyengat. Peluh menetes dari dagunya. Tangannya mulai gemetar. Kakinya juga mulai kram.

Tapi Lara harus tahan.

Karena yang lebih sakit dari fisik... adalah perasaan dihukum untuk hal yang bahkan bukan sepenuhnya salahnya.

Teriakan guru lain, bisik-bisik siswa yang melihat dari jauh, semua menusuk telinganya.

Aku capek.

Rasanya ingin berteriak. Ingin kabur. Ingin marah. Tapi suara itu cuman terdengar bagi dirinya sendiri.

Lara menggigit bibir bawahnya. Mukanya merah karena panas dan malu. Air matanya nyaris jatuh tapi buru-buru ia tahan. Ia tak mau terlihat lemah.

Setelah upacara selesai, ia masuk kelas sambil tertatih. Kaki kanannya kesemutan, sakit. Tapi ia tetap berjalan—seperti biasa, pura-pura kuat.

Begitu duduk, napasnya masih berat. Pandangannya mencari seseorang. Kesya.

"Kes, anu, perihal uang yang kamu pinjem, udah bisa di balikkin belum ya? Aku udah gak punya uang lagi," tanyanya pelan.

Kesya menoleh setengah malas. "Hah, emang gue pinjem uang ya?"

Lara mengangguk. "Iya, 200 ribu. Dua minggu lalu."

Kesya diam sebentar, lalu nyengir. "Oh yang itu. Aduh. Gimana ya, gue belum ada, Lar. Nanti deh gak papa?"

"Tapi—"

Tatapan sinis dari Kesya membuat Lara langsung ciut. "Iya gak papa," ucapnya pelan.

Belum sempat menenangkan diri, Zea datang menghampirinya.

"Eh Lar, gue minta tolong boleh?"

Lara ragu, tapi mengangguk lagi.

"Bantuin kerjain PR Matematika gue ya, gue lupa semalem, hehe."

"Bantu ngajarin maksudnya?"

"Bantu ngerjain," jawab Zea, menekankan.

Lara mengangguk, lelah. Semuanya terasa beban. Semuanya terlalu menyuruh. Semuanya juga menekannya. Tanpa memikirkan Lara.

Lara mulai lelah, Lara mulai muak, benar-benar muak. Sekali lagi, ia menahan amarah dan tangisnya lagi.

Suatu hari nanti, aku gak mau terus kayak gini. Suatu hari nanti, aku pasti bisa berontak.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 3
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Manusia Air Mata
1167      710     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Sosok Ayah
915      509     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
465      317     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Cinderella And The Bad Prince
1468      996     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Glitch Mind
47      44     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Interaksi
450      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
The Best Gift
42      40     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Main Character
1416      863     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Monokrom
113      93     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Langit-Langit Patah
28      24     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...