"Ya, Allah, Dek." Bunda histeris, tapi buru-buru menutup mulut. Matanya membelalak memandangku. Kepalanya menggeleng, seolah sedang meyakinkan diri semua ini cuma kesalahan pendengaran.
"Mak," panggilku lirih. Tenggorokanku rasanya kering banget, padahal aku nggak sedang berpuasa dan belum keluar rumah sama sekali seharian ini.
"Mending lo jelasin ke gue kenapa sampai kayak gini! Ini bukan Ilona yang gue kenal. Ilona Bachtiar itu pekerja keras dan nggak mungkin sampai ingkar janji gini. Ilona nggak akan bikin kesalahan yang merugikan banyak orang." Mak Mum berkata tegas. Kemarahan masih terdengar jelas di setiap kata yang keluar dari bibir merahnya. Matanya nyalang tertuju padaku, tapi samar terlihat letih.
Ucapan Mak Mum menancap dalam di hatiku. Bukan karena kata-katanya yang tegas dan tajam, Mak Mum berhasil melukaiku. Jarang ada yang melihat sisi baikku dan Mak Mum bisa. Tapi, aku menghancurkan semua penilaian baiknya terhadapku. Bukan Mak Mum yang jahat, aku yang membuat semuanya kacau. Aku yang salah.
"Mak," panggil Bunda dengan suara serak. "Ilo belum cerita apa-apa?" Bunda bertanya dengan perlahan, entah sedang menenangkan Mak Mum atau takut ada kesalahpahaman lebih lanjut.
"Kalau saya tahu apa yang terjadi sama Ilona, nggak mungkin saya sefrustrasi ini, Bun. Ilona nggak mau ngasih tau apa-apa sama sekali. Saya harus gimana buat bantu dia?" Nada keras Mak Mum merendah, membuatnya terdengar seperti orang yang kehilangan harapan. "Saya nggak bisa bilang apa-apa waktu mereka marah karena saya sendiri bingung."
Aku semakin merasa bersalah. Mak Mum marah bukan karena aku berbuat kesalahan, tapi justru bingung gimana cara membelaku. Aku sudah membuatnya rugi, tapi Mak Mum tetap baik padaku.
Bunda memandangku sebentar. Aku tahu Bunda sedang meminta persetujuan. Sejujurnya, aku nggak mau Bunda menceritakan penyakitku. Aku nggak mau ada orang lain yang tahu. Tapi, aku nggak punya alasan yang kuat untuk menahan Bunda bercerita.
"Ilona sakit, Mak." Bunda mengusap tangan, wajah, dan pahanya dengan kasar. "Kulitnya hancur semua." Matanya sendu bercampur dengan nada suara yang bergetar, terlihat menyedihkan.
Saat Mak Mum memandangku, aku menunduk. Bunda cuma sedang menceritakan penyakitku. Tapi, aku merasa Bunda sedang menelanjangiku.
"Jadi, kulit mukanya itu masalahnya?" tanya Mak Mum, seolah baru menyadari kondisi wajahku yang sebenarnya. "Saya punya kenalan dokter kulit yang bagus. Kita ke sana. Saya yang bayar treatment Ilona." Mak Mum memberikan saran.
"Nggak bisa. Itu bukan sakit kulit biasa. Kulit Ilona bukan sekadar masalah kecantikan saja. Itu autoimun, belum ada obatnya. Ilona nggak akan bisa sembuh sampai kapan pun." Suara Bunda semakin bergetar dan matanya basah.
Mak Mum sibuk menenangkan Bunda yang menangis. Mereka saling berpelukan. Sungguh pemandangan yang menyedihkan, sementara pembuat kesedihan nggak bisa melakukan apa pun.
"Maaf," kataku pelan.
"Kenapa lo nggak cerita ke gue, Ilo?" Suara Mak Mum sudah lebih tenang.
Aku menggeleng dan tetap menunduk. "Gue takut," jawabku.
"Takut apa?"
"Takut lo jijik sama gue. Gue takut lo buang gue karena nggak bisa dipakai lagi. Gue udah nggak cantik lagi, Mak." Aku terisak. Air mataku berjatuhan deras. "Gue bukan Ilona yang cantik, tapi monster buruk rupa. Gue jelek banget sekarang, Mak."
"Mana ada?" bentak Mak Mum. "Lo tetep Ilona yang cantik. Lo cantik sampai kapan pun."
Aku memandang wajah Mak Mum sambil tersenyum. "Lihat!" Aku menyingkirkan poni yang menutupi psoriasis lebar di dahiku. Lalu, aku berdiri. Dengan cepat, aku melepas jaket.
Mak Mum terkejut dengan penampakan kulitku. Dia menutup mulut dan nggak mampu mengatakan apa-apa.
"Lihat, kan? Bagian mana yang cantik sekarang dari ini semua? Nggak ada, Mak. Nggak ada!" Aku menjulurkan tangan, lalu menyentuh psoriasis yang mulai mengering. "Ini semua ada di badan gue, di muka gue, Mak. Lo nggak usah muji gue! Gue tahu lo jijik lihat ini."
Air mataku terus mengalir deras. Aku menepuk-nepuk dadaku. "Gue aja jijik sama diri sendiri. Gimana orang lain? Gimana caranya gue ketemu orang tanpa bikin mereka jijik sama gue? Nggak ada, Mak! Gue harus sembunyi biar nggak jadi polusi pemandangan."
"Dek, udah!" Bunda menghampiriku, lalu merapikan jaketku. "Udah, ya!" pintanya dengan suara lembut dan air mata yang sama derasnya denganku.
Bunda meminta Mak Mum pulang dan berjanji akan membayar denda. Tapi, kepergian Mak Mum sama sekali nggak membuatku tenang. Isi pikiranku semakin kusut. Aku meringkuk di dalam kamar dengan lampu mati. Kegelapan biasanya menangkanku, tapi aku merasa ada yang mengawasi.
"Bayar!" Deretan angka seratus juta seperti berteriak di telingaku berulang kali.
Aku menyalakan lamu, lalu duduk di kasur dengan buku dan pulpen. Kubuka akun bank di ponsel untuk mengecek saldo terakhirku. Jumlahnya terlalu mengenaskan dibandingkan angka seratus juta yang harus kubayar. Selama ini, aku boros banget dan nggak bisa menabung. Butuh lebih dari 76 juta untuk mencapai kata cukup melunasi denda.
Harusnya, aku bisa mengurangi selisih besar ini dengan bekerja. Tapi, aku nggak mungkin bekerja dengan kondisi begini. Lagi pula, siapa yang mau memakaiku saat wujudku semengerikan ini?
Nggak ada!
Aku mengusap wajah, lalu memijat tengkuk yang terasa kencang. Beban seratus juta ini menekanku dari segala arah. Kepalaku pusing, tapi aku nggak bisa berhenti memikirkannya.
Aku meraih botol minum di meja. Sayangnya, isinya ternyata sudah nggak bersisa. Rasanya malas harus turun untuk mengisi botol. Tapi, aku butuh minum agar sedikit lebih tenang.
Samar-samar, aku mendengar suara Ayah dan Bunda yang sedang mengobrol di ruang makan. Aku berhenti di tangga dan menajamkan pendengaran.
"Ayah bisa pinjem uang ke temen-temen. Tapi, jumlahnya masih jauh dari seratus juta, Bun. Temen Ayah nggak ada yang orang kaya."
Kakiku lemas saat memahami obrolan tengah malam antara orang tuaku. Aku terduduk di anak tangga ketiga dari atas. Tanganku menggenggam botol minum. Mataku memandang lurus ke depan, ke ruang tamu yang gelap.
"Iya, Yah. Kalau Bunda pinjem duit arisan pun, paling dapetnya dua juta. Nggak bisa nutup sama sekali." Bunda terdengar sama nggak ada harapannya seperti Ayah.
Sesak di dadaku semakin menghimpit. Kepalaku juga bertambah berat. Ini salahku, tapi Ayah dan Bunda harus ikut pusing memikirkannya.
Rumah ini jadi lebih hening, tapi aku tahu Ayah dan Bunda belum beranjak dari ruang makan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tapi pasti aku menguasai kegelisahan keduanya.
"Kita jual aja mobilnya gimana? Pajero masih laku di atas seratus juta, kok." Ayah memberikan saran dengan suara yang nggak yakin. "Kita juga nggak butuh-butuh banget mobil itu, kan? Kalau harus pergi bareng, kita pakai taksi aja."
"Jangan! Itu punya Dio. Dia beli pakai tabungannya setelah dua tahun kerja. Kita nggak boleh sembarangan jual." Bunda menolak dengan tegas.
"Terus, kita dapet uang dari mana, Bun? Adek juga butuh berobat. Salepnya memang ditanggung BPJS. Tapi, kondisinya semakin parah gitu. Ayah nggak tega lihatnya."
"Besok, Bunda beli obat herbal ke Ci Amey. Orang-orang sini cocok pakai obat dari Ci Amey. Sakit apa pun bisa sembuh. Bu Soleh yang sakit kaki gajah aja sembuh habis minum obat Ci Amey. Siapa tahu Adek juga bisa sembuh. Kita nggak boleh nyerah cari pengobatan buat Adek."
Ini sudah jam satu lebih. Lampu ruangan lain mati, sedangkan cahaya di ruang makan menjadi saksi pembahasan tanpa hasil orang tuaku. Ayah dan Bunda sampai nggak tidur cuma gara-gara anak yang nggak pernah membuat mereka bangga ini.
Jangankan membuat mereka bangga, aku cuma menambah beban hidup Ayah dan Bunda. Mereka nggak cuma pusing karena harus mencari uang seratus juta, tapi masih memikirkan cara menyembuhkanku.
Aku mengurungkan niat untuk mengambil minum. Aku nggak punya keberanian bertemu orang tuaku sendiri.
Di dalam kamar, aku memikirkan cara untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Tapi, selain kerja, yang jelas nggak mampu kulakukan sekarang, aku cuma bisa memikirkan untuk berutang.
Zahier menjadi nama pertama yang terpikir olehku. Dulu, dia pasti akan membantuku sebelum aku memintanya. Tanpa aku minta pun, dia akan datang dengan cepat. Zahier nggak akan membiarkanku sedih dan kesusahan. Tapi, kondisinya sekarang lain. Jangankan mendapatkan bantuan pinjaman dari Zahier, mendapat balasan untuk semua pesanku saja aku nggak berhasil. Dia nggak cuma malas bertemu denganku, membaca namaku di ponselnya pun pasti memuakkan baginya.
Sakit banget rasanya menyadari perubahan drastis ini terjadi di antara aku dan Zahier. Tapi, aku bisa apa? Aku nggak mungkin memaksa Zahier terus ada untukku walau dia pernah menjanjikan itu. Aku nggak mungki memohon dia tetap tinggal, sedangkan aku sendiri nggak sanggup menjalaninya.
Aku harus mencoret nama Zahier dan nggak boleh menggantungkan apa pun lagi padanya. Hubungan kami sedang nggak baik-baik saja walau nggak ada pertengkaran apa pun. Mungkin, sebentar lagi dia akan mengubah status pacaran kami menjadi nggak pernah kenal sama sekali.
Hellen manjadi nama yang selanjutnya kupikir bisa membantuku. Kami bersahabat baik. Aku pernah membantunya. Saat ibunya harus operasi usus buntu, aku datang dengan cepat dan membantu biaya operasinya. Aku nggak pernah mengungkit kejadian tahun lalu ini. Tapi, aku boleh berharap Hellen membalas kebaikanku, kan? Walau nggak mungkin punya uang seratus juta, aku bisa meminjam beberapa puluh juta untuk meringankan.
Hellen pasti membantuku. Aku akan menghubunginya nanti saat matahari sudah muncul.
Aku meraih ponsel untuk mengecek nama-nama yang mungkin bisa membantuku. Walau mengenal banyak nama hebat di dunia hiburan, aku nggak pernah benar-benar punya hubungan yang akrab dengan mereka.
Aku sengaja membatasi diri karena menurut Zahier dunia kerjaku terlalu jahat. "Banyak orang menghalalkan cara untuk saling menjatuhkan. Kamu nggak tahu siapa yang benar-benar baik sama kamu. Jadi, lebih baik kamu yang membatasi diri dari sakit hati lebih dulu."
Zahier selalu mencemaskanku. Tapi, gimana sekarang aku menjalani hari tanpa Zahier yang melindungi?
Aku mengabaikan pikiran tentang Zahier. Sementara, aku harus melupakannya. Ada urusan yang lebih penting, yang harus segera aku selesaikan. Aku kembali fokus ke ponsel.
Aneh! Kenapa pemberitahuan instagram dan media sosial lainnya banyak banget? Sudah lama aku nggak memosting apa pun. Dari mana ribuan komentar dan ratusan pesan ini datang?
Mataku terbuka lebar membaca postingan di salah satu akun gosip. Berita tentangku yang menyalahi kontrak dan mangkir dari syuting berhasil membuat banyak orang marah. Lagi-lagi, aku menemukan angka seratus juta di berita itu. Ketidakprofesionalanku dipertanyakan. Alasanku nggak hadir sudah nggak penting lagi karena mereka langsung percaya kalau aku memang pantas banget mendapatkan hujatan.
Tanganku gemetar saat membaca komentar-komentar jahat di postingan itu. Nama-nama hewan dan kata-kata kasar berhamburan. Semua orang memakiku, seakan-akan aku pendosa paling hebat.
Mereka semua membenciku. Dalam waktu singkat, orang yang benci aku bertambah semakin banyak. Tapi, aku mungkin membela diri karena aku pun membenci diriku sendiri.