Semuanya akan baik-baik saja.
Aku terus mengulang kalimat ini dalam hati, seolah sedang merapalkan mantra mematikan paling ampuh. Harusnya, mantra ini sanggup mematikan keresahan yang menyelimuti hatiku berhari-hari. Tapi, sepertinya mantra ini buta arah. Bukannya lebih tenang, aku justru semakin resah.
Resahku bukan mati, tapi terus meningkat. Cemasku bertambah tebal. Rasa takut menghantui, lebih mengerikan daripada bertemu dengan setan dalam wujud paling seram. Pikiranku terus memutar hal-hal buruk, yang mungkin nggak akan pernah terjadi. Tapi, aku tahu akan ada hal buruk yang nanti pasti terjadi. Mungkin, salah satu pikiran burukku terwujud dalam bentuk nyata. Sayangnya, aku nggak tahu yang mana.
Aku mengetik pesan untuk Zahier dengan cepat. Kali ini, isinya cukup singkat setelah banyak pesan panjang kukirimkan. Aku cuma menanyakan kapan dia punya waktu untuk bertemu. Ini memang hari kerja dan Zahier pasti sibuk di kantor. Tapi, nggak biasanya dia mengabaikan pesan-pesanku dalam waktu lama.
Aku mengempaskan tubuh ke kasur. Mataku menatap langit-langit, tapi pikiranku menjelajah jauh. Aku mengenang semua kenangan bersama Zahier. Sejak perkenalan pertama sampai pertemuan terakhir kami dua minggu lalu, aku masih bisa mengingat semuanya. Hubungan ini sudah berjalan selama dua tahun, tapi sekarang mulai teresa renggang.
Aku memiringkan tubuh, lalu melipat kedua kaki. Tanganku memeluk kaki sekaligus menggaruk betisku yang gatal. Aku menghela napas. Gatalnya bukan hilang, tapi berpindah ke bagian yang lain.
Memuakkan!
Rasa gatal dan kulit menjijikkan ini yang membuat Zahier menjauhiku. Nggak ada alasan lain yang masuk akal sampai bisa membuat Zahier sengaja menjaga jarak dariku. Bohong kalau Zahier sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Aku nggak percaya!
Dulu, Zahier masih bisa membalas semua pesanku saat aturan pembatasan ekspor ikan disahkan dan mengacaukan bisnisnya. Dia harus mengatur ulang strategi agar perusahaannya nggak sampai rugi terlalu banyak. Kami masih sempat bertemu di antara keruwetan perusahaannya. Hubungan kami baik-baik saja. Tapi sekarang, Zahier nggak punya waktu sama sekali untukku.
Aku mengusap wajah. Tanganku menyentuh bagian kasar di wajahku yang sudah semakin bertebaran di mana-mana. Pipi, dagu, bahkan belakang telingaku nggak terselamatkan lagi. Aku harus merasakan perih setiap rasa gatal muncul di belakang telinga. Aku nggak tahu kenapa di bagian pangkal daun telinga kiri dan kananku jadi muncul luka mirip bekas sayatan silet, padahal nggak pernah memainkan senjata tajam apa pun.
Kepalaku juga nggak lepas dari gatal. Rambutku sekarang berhias konfeti putih yang terbuat dari kulitku sendiri. Aku nggak butuh hiasan rambut lagi. Tapi, ini sama sekali nggak cantik. Ini memalukan.
Apa kata dokter Maya? Aku nggak boleh stres? Tapi, gimana caranya aku nggak stres saat kondisiku semakin buruk begini? Sekarang, aku nggak berani bertemu orang. Aku takut mereka jijik, lalu menghinaku. Aku takut orang-orang terdekatku menjauh, seperti yang Zahier lakukan.
Aku salah percaya dengan janji Zahier. Katanya, dia nggak akan pergi. Dia akan terus bersamaku. Nyatanya, dia justru membuat jarak semakin lebar dan mengabaikanku.
Di sini, aku sakit. Aku putus asa. Aku nggak tahu harus gimana menjalani hidup dengan penyakit mengerikan ini. Tapi, Zahier justru membiarkanku sendiri.
Apa ini sudah akhir dari hubungan kami?
Ponselku berdering nyaring. Aku meraih ponsel dan berharap Zahier yang akhirnya menghubungiku. Sayangnya, wajah Mak Mum justru membuatku merasakan teror paling mengerikan, jauh lebih mengerikan dari serangan teror bom yang pernah ada.
Aku memejamkan mata dengan harapan bisa meredam dering telepon yang lebih mirip alarm kematian. Aku tahu nggak seharusnya menghindari Mak Mum. Tapi, aku nggak tahu gimana caranya menjelaskan semuanya pada Mak Mum.
Profesionalisme yang selalu Mak Mum minta sudah aku hancurkan. Aku gagal bersikap profesional. Aku mengacaukan karirku, bahkan nama baik Mak Mum yang selama ini terjaga baik.
Ilona Bachtiar memang paling jago menghancurkan apa pun!
Aku duduk dan menatap sekeliling. Kamar ini masih sama seperti pertama kali aku tempati, kecuali kotoran dari kulitku yang seperti nggak ada habisnya berserakan. Tapi, ini jadi satu-satunya tempat paling aman untukku. Aku nggak perlu bertemu orang yang akan melihatku seperti makhluk asing. Aku nggak harus capek menebak pikiran orang tentangku. Di sini, hanya ada aku yang sibuk menggaruk dan membersihkan rontokan kulit mati.
"Dek," panggil Bunda sambil mengetuk pintu kamarku.
"Ya, Bun?" sahutku tanpa mengubah posisiku yang sedang duduk di lantai dengan sebotol minyak zaitun di tangan.
Aku mulai meragukan fungsi minyak zaitun ini. Awalnya, kulitku terasa lembab sehingga rasa gatal dan tampilannya nggak terlalu parah. Tapi, sekarang, kulitku yang mengelupas jadi lebih halus. Kalau kondisinya kering, kulitku mirip bulu kucing putih.
Semakin lama aku menggunakan minyak zaitun, rontokan kulitnya semakin mirip bulu kucing yang rontok. Tapi, aku nggak bisa melepas minyak zaitun karena kulitku harus lembab.
"Mak Mum dateng. Temuin dulu, sekalian ajak makan malem."
Tubuhku menegang. Sudah sewajarnya Mak Mum datang ke rumah karena berhari-hari aku nggak merespons pesan dan panggilannya. Tapi, aku belum siap bertemu Mak Mum sekarang.
"Dek," panggil Bunda lagi. Kali ini, Bunda membuka pintu kamar yang memang jarang aku kunci. Kepalanya melongok dari pintu setengah terbuka. "Masih pakai pelembab? Perlu Bunda bantu?"
Aku menggeleng. Nggak enak menerima tawaran Bunda karena aku selalu merasa bersalah. Bunda nggak pernah berhenti menangis setiap mengoles minyak dan krim obat di punggungku. Bunda yang selama ini bersikap keras dan cenderung kasar ternyata bisa merasa bersalah padaku. Tangisan Bunda membuatku merasa lebih sesak.
"Kalau gitu, jangan lama-lama, ya. Bunda ke bawah nemenin Mak Mum." Senyum Bunda terlihat sebelum meninggalkanku sendirian.
Aku nggak melanjutkan kegiatanku walau kulit kering di paha dan punggungku belum kusentuh. Aku sudah kehilangan keinginan untuk melanjutkan. Pikiranku merangkai kata untuk semua alasan yang perlu aku sampaikan pada Mak Mum. Tapi, kata-kata di kepalaku justru saling bertabrakan dan nggak membentuk kalimat apa pun.
Aku nggak siap. Tapi, aku nggak bisa kabur lagi. Aku tetap harus bertanggung jawab atas kesalahanku.
Kakiku berat banget menuruni tangga. Suara Mak Mum dan Bunda sampai telingaku. Walau mereka sedang mengobrol ringan, aku mendengarnya seperti genderang perang. Tempo genderang perang semakin kencang, seirama dengan detak jantungku yang berantakan.
"Sini, Dek." Melambaikan tangan dengan senyuman karena belum menyadari kekacauan yang sudah kulakukan. Setelah tahu, Bunda nggak mungkin bisa tersenyum lagi. Pasti, Bunda akan mengomel dan memakiku lagi, seperti biasanya.
Mak Mum menatapku dalam diam. Bibirnya melengkung, tapi nggak terlihat seindah bulan sabit. Senyumnya justru menunjukkan sinyal bahaya yang jelas. Bahaya yang akan menyerangku habis-habisan.
"Apa kabar, Ilona Bachtiar?" Mak Mum tetap tersenyum yang membuatnya terlihat mirip Cruella de Vil di film 101 Dalmatians. Tapi, Mak Mum nggak membenci anjing. Dia pasti membenciku.
Aku duduk menunduk di hadapannya. Suasana hangat di antara Mak Mum dan Bunda lenyap, berganti tegang yang panas. Aku meremas ujung jaket, tapi sama sekali nggak menimbulkan efek apa pun di hatiku.
"Kenapa ini? Ada masalah apa, kok, tegang banget?" Akhirnya, Bunda menyadari kehadiran Mak Mum malam ini bukan untuk beramah-tamah.
Mak Mum nggak langsung menjawab. Aku juga nggak berani menjelaskan apa pun pada Bunda.
"Dek." Bunda tentu nggak sabar menunggu seseorang menjelaskan.
Mak Mum mengabaikan kehadiran Bunda dan terang-terangan menunjukkan maksud kedatangannya. "Kenapa lo menghilang, Ilona?" Nada suara Mak Mum tegas, tapi tetap terdengar sopan. Mungkin kehadiran Bunda menahan emosi Mak Mum sedikit lebih lama.
Aku tetap menunduk. Aku tahu kesalahanku nggak termaafkan. Tapi, aku juga nggak sanggup meminta maaf.
"Ilona di rumah terus, kok. Dia nggak pergi ke mana-mana. Katanya, kerjaannya juga lagi kosong." Bunda membuka kebohonganku tanpa benar-benar paham kalau aku sudah berbohong.
"Terus, kenapa lo nggak balas chat dan angkat telepon gue, Ilona?" Mak Mum seolah mengabaikan Bunda. Tapi, setiap pertanyaannya selalu berhubungan dengan yang Bunda ucapkan.
"Kenapa ini, Dek?" Bunda menuntut aku segera berbicara. Suaranya yang bergetar jelas menunjukkan kesabarannya sudah menipis.
Aku menatap Mak Mum dan Bunda bergantian. Mak Mum terlihat tenang, tapi sorot matanya jelas menunjukkan marah yang tertahan. Sementara itu, Bunda khawatir dan bingung sekaligus. Semua menunggu aku menjelaskan karena memang akulah yang menyebabkan kekacauan ini.
"Lo tahu Bang Felix ngamuk ke gue? Lo tahu Pak Rahardian yang jarang marah sampai bisa maki-maki gue?" Mak Mum memejamkan mata, lalu mengembuskan napas berat. Tapi, rasa marahnya justru semakin jelas. "Ilona, gue nggak ngerti lo kenapa. Gue nggak bisa bohong ke semua orang kalau lo cuma lagi nggak enak badan. Gue nggak bisa minta maaf buat semua kesalahan yang lo buat, sedangkan gue nggak tahu apa-apa. Lo mikir nggak, sih?"
Aku kembali menunduk. Tanpa Mak Mum sebutkan, aku paham banget tindakanku sudah membuat marah banyak orang. Tapi, aku bisa apa?
Aku yakin Mak Mum, atau siapa pun yang ada di posisiku, akan melakukan hal yang sama. Nggak ada yang berani keluar rumah dengan kondisi kulit hancur sepertiku. Nggak akan ada yang sanggup bertemu orang kalau ada penyakit yang nggak bisa sembuh bersarang di tubuh. Nggak mungkin ada yang percaya diri muncul di tempat umum dalam wujud paling jelek.
Aku malu. Aku takut. Aku rendah diri. Aku marah pada diri sendiri, pada penyakit yang nggak ada obatnya ini, pada semua yang membuatku jadi begini.
Akhirnya, aku memutuskan mengurung diri. Aku mengabaikan kewajibanku. Nggak kulakukan pekerjaan yang seharusnya kuselesaikan. Kutinggalkan tanpa alasan syuting hari pertama, kedua, dan seterusnya film Diari Gadis Buta.
Aku kabur. Aku menghilang. Aku melakukan kesalahan yang pasti nggak termaafkan. Aku sukses membuat masalah besar baru untuk diriku sendiri.
Semua salahku, selalu salahku.
"Ini kenapa? Ilona melakukan apa? Kenapa sepertinya ada masalah besar banget?" Bunda bertanya beruntun dengan cepat, seolah takut kehilangan kesempatan mengungkapkan penasarannya.
"Ilona mangkir dari kerjaan. Saya masih memaafkan waktu dia nggak datang saat reading hari terakhir. Tapi, ternyata dia juga nggak muncul waktu syuting. Produksi jadi berantakan. Produser dan sutradara marah. Mereka meminta Ilona tanggung jawab atas semua kerugian." Penjelasan Mak Mum menambah sesak dadaku, padahal aku tahu banget risiko keputusan yang kuambil.
"Mereka memutuskan kontrak. Ilona dituntut harus membayar denda seratus juta."
Jumlah angka yang sejak awal terasa terlalu besar itu sekarang semakin jelas ukurannya. Aku nggak tahu seberapa banyak tumpukan seratus ribuan yang harus berjajar sampai berjumlah seratus juta. Tapi, aku pasti bisa sengsara seumur hidup karena uang itu.
Gimana aku harus membayar denda kalau nggak punya uang sebanyak itu? Gimana aku bisa cari uang, sementara kondisi fisikku hancur begini? Aku harus jual apa? Kecantikan? Tubuhku?
Ah! Semuanya sudah hancur gara-gara psoriasis sialan!