Lagi-lagi, demi profesionalisme, aku bertahan di sini. Duduku gelisah sejak kembali dari mobil, seakan aku duduk di kursi yang terbakar. Panas matahari yang menembus jendela di belakangku, semakin membuatku nggak nyaman. Udara ruangan ini panas, lebih mirip di padang pasir yang nggak pernah ada hujan, padahal pendingin ruangan bekerja dengan baik.
Berkali-kali, aku memandang Allena. Mata kami sesekali bertemu, tapi aku langsung berpaling. Aku nggak tahu apa yang dia bicarakan dengan Zizi, yang duduk di sampingnya. Tapi, aku merasa kalau pembicaraan itu pasti tentang aku, tentang kulitku yang kering, tentang psoriasis yang membuatku jadi buruk rupa.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tante Naura yang menyadari kegelisahanku.
Aku benar-benar gagal menyembunyikan kecemasan. Semakin lama duduk di sini, aku bertambah gelisah. Harusnya, menyembunyikan perasaan kacauku itu mudah, tapi sekarang jauh lebih sudah dari menuntaskan kemiskinan di Indonesia.
Aku mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, Tante," jawabku lirih.
"Kalau gitu, bisa lebih tenang? Gerakan kamu ganggu konsentrasi saya," tegur Tante Naura.
Aku kaget saat mendengar nada bicara Tante Naura yang tegas. Ini seperti bukan Tante Naura yang biasa muncul di layar kaca. Tapi, aku sadar diri kalau sejak tadi memang banyak bergerak. Sikapku sudah keterlaluan banget sampai berhasil membuat seorang ibu peri seperti Naura Hasan bersikap ketus.
Aku meminta maaf dan berusaha menenangkan diri. Sayang, konsentrasiku gagal tercipta, apalagi aku nggak mampu menahan gatal, yang terus muncul layaknya debt collector berpenampilan preman menagih cicilan gagal bayar.
Giliranku untuk membaca dialog tiba. Degup jantungku sudah kacau sejak aku kembali duduk di sini. Mataku jelalatan dan nggak betah berada di satu titik. "A-aku benci kalian! Eh, ...." Amarah yang seharusnya keluar justru menjadi ketakutan yang memalukan.
Harusnya, Arum nggak gugup begini.
Bang Felix menggebrak meja. "Lo ngapain?" bentaknya. "Kalau nggak serius, nggak usah dateng sekalian. Lo kira gue duduk di sini cuma buat liatin lo ah eh ah eh doang? Tangan lo juga ngapain gerak terus dari tadi? Ganggu!"
Aku tahu sudah melakukan kesalahan. Tapi, kata-kata Bang Felix terlalu tajam sampai membuatku nggak mampu membela diri. Keheningan yang tercipta juga menambah kengerian. Pasti, bukan cuma Bang Felix yang kecewa sekarang, semua orang di ruangan ini punya kekesalan yang sama terhadapku. Semua gara-gara aku.
"Udahlah! Gue males lanjutin. Bubar!" Bang Felix mendorong kursi ke belakang hingga nyaris jatuh, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Semua mata memandangku. Semuanya sama-sama menunjukkan kekesalan. Komentar-komentar jahat berhamburan, seperti konfeti. Tapi, ini bukan pesta perayaan melainkan arena pertarungan paling mematikan.
Mataku panas. Ada gemuruh di dalam dadaku. Tapi, aku nggak boleh menangis di sini. Nggak boleh ada yang tahu aku ingin menghilang dari sini sekarang.
"Lo sakit?" tanya Mas Aidan di antara komentar pedas yang tertuju padaku. Sejak tadi, dia diam dan nggak memberikan perhatian apa-apa. Tapi, sekarang Mas Aidan justru jadi orang paling peduli. Ekspresinya datar, tapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Aku menggeleng. "Nggak, kok," jawabku berbohong. Aku masih nggak mau menceritakan penyakitku pada siapa pun. Mereka pasti cuma akan menghinaku.
Mas Aidan berdiri sambil membereskan barang-barang di meja. "Kalau nggak sakit, lain kali bisa bersikap lebih profesional. Artis besar nggak akan pernah ngerugiin orang lain." Dia pergi begitu saja tanpa menunggu responsku.
Mas Aidan benar. Harusnya, aku bersikap profesional dengan nggak merugikan orang lain. Aku harus bisa lebih serius dan mengabaikan kulit mengerikanku. Tapi, nyatanya susah banget konsentrasi di antara serangan gatal serta pikiran buruk tentang penilaian orang.
Aku menunggu ruangan sepi untuk keluar. Rasa bersalah membuatku takut untuk beranjak. Aku juga nggak mau jadi pusat perhatian, lalu semakin banyak yang menyadari kulitku yang hancur.
Helda mendatangiku dengan wajah datarnya. "Kita langsung ke agensi atau gimana, Mbak? Mak Mum ngajakin ketemu buat bahas proyek baru. Katanya, ada sampo yang mau jadiin Mbak Ilo BA."
Aku sama sekali nggak berminat untuk melanjutkan pekerjaan. Tubuhku masih bugar walau kulit kering dan rasa gatal nggak pernah hilang. Sayangnya, perasaanku sudah berantakan banget sekarang. Sepertinya, semakin berbahaya kalau aku harus bertemu dengan orang lagi.
"Anterin gue pulang aja. Nanti, gue yang bilang sama Mak Mum," jawabku sambil berjalan keluar ruangan bersama Helda yang terus mengikuti pergerakanku.
Sebelum pergi, aku mampir ke toilet. Sengaja, aku memilih toilet yang sepi agar lebih tenang. Aku masuk ke salah satu bilik bukan untuk buang air. Buru-buru, aku menggulung lengan dan menaikkan bagian bawah pakaianku. Bulatan-bulatan putih kering yang mengerikan terpampang. Beberapa bagian yang meradang terlihat merah, seperti bekas terkena panas.
Rontokan kulit menempel di pakaianku. Sekarang, pakaianku lebih mirip kain yang baru digunakan untuk membersikan sisa rontokan makanan ringan. Aku bukan orang yang fanatik dengan kebersihan. Tapi, sekarang memuakkan banget melihat kotoran ini selalu mengikutiku.
Aku mengoleskan minyak zaitun ke seluruh kulit yang mengering. Sengaja, aku memberikan banyak minyak agar lembabnya lebih awet. Hari ini panas banget. Kulitku jadi cepat kering, terutama di bagian yang ada psoriasis.
Aku masih nggak percaya diri dengan kondisiku. Di depan cermin, aku memastikan kembali semua kulit mengerikan ini tersembunyi dengan baik. Aku juga merapikan poni agar nggak ada yang menyadari ada kulit kering di dahiku.
Begitu keluar kamar mandi, Helda yang sudah menunggu menyodorkan segelas kopi gula aren padaku. "Biar lebih semangat," katanya.
Aku tersenyum dan merasa beruntung karena Helda tetap memberikan dukungan. Dia memang nggak banyak bicara, tapi aku bisa mengandalkannya.
Aku mengirim pesan ke Zahier begitu duduk di bangku belakang mobil. Aku butuh bertemu Zahier. Bukan cuma karena kangen, aku perlu dukungan dari orang paling pengertian dalam hidupku. Sudah terbayang di kepalaku, Zahier pasti mengomel begitu tahu kondisiku. Tapi, Zahier pasti memberikan dukungan, seperti yang selama ini dia lakukan.
Sampai di rumah, Helda langsung pamit karena aku sedang nggak mau berurusan dengan pekerjaan apa pun. Urusan syuting untuk produk endorsemen hari ini pun aku minta untuk jadwalkan ulang. Nggak mungkin aku mengambil adegan menggunakan perawatan kulit wajah, padahal kondisiku sedang mengerikan begini.
Rumahku kosong. Ayah dan Bunda pergi ke acara nikahan anak teman Ayah di Bandung. Pasti, mereka pulang malam atau malah besok sekalian.
Mas Dio nggak mungkin pulang dalam waktu dekat. Sejak empat tahun lalu, kakaku satu-satunya itu harus pindah ke Kalimantan karena bekerja di tambang batu bara. Sepertinya, Ayah dan Bunda juga belum memberitahukan penyakitku pada Mas Dio.
Aku dan Mas Dio memang bukan kakak-adik yang akrab banget. Kami jarang berinteraksi karena Mas Dio terlalu pendiam. Kalau boleh jujur, aku juga nggak suka sama Mas Dio yang terlihat serba bisa itu. Dia yang membuat Bunda selalu menganggapku nggak bisa apa-apa. Semua serba Mas Dio. Buat Bunda, aku harus setara dengan Mas Dio.
Sekarang, jangankan setara dengan Mas Dio, berdiri di kakiku sendiri dengan kemampuan yang cuma aku punya saja nggak akan pernah bisa kulakukan. Untuk kesekian kalinya, aku gagal. Aku nggak sanggup menyamai Mas Dio. Aku nggak akan pernah menjadi anak yang bisa membanggakan orang tua.
Pikiranku penuh. Aku nggak tahu harus melakukan apa untuk membuat kulitku membaik, sedangkan dokter sudah memvonis penyakitku nggak akan sembuh. Jadi, percuma saja aku melakukan pengobatan karena hasilnya juga akan sia-sia.
Tapi, aku juga nggak mungkin membiarkan psoriasis ini menghancurkan karirku. Ini satu-satunya hal yang bisa membuatku hebat di mata Bunda dan Ayah.
Saat aku masih kesal karena nggak menemukan cara terbaik untuk semua masalah ini, Zahier menelepon. Aku langsung menjawabnya karena berharap banget kehadirannya bisa menenangkanku.
"Rumah kamu kosong? Aku di depan, tapi kayak nggak ada orang."
"Aku turun sekarang," sahutku, lalu buru-buru keluar kamar. Tapi, baru menginjak satu anak tangga, aku menghentikan langkah.
Aku memandang ponsel. Panggilan Zahier masih terhubung. Wajah gantengnya yang muncul di layar ponselku membuatku resah.
Aku kembali masuk kamar. Nggak mungkin aku bertemu Zahier dengan kaus tanpa dan celana di atas lutut. Nggak mungkin aku mempertontonkan kulitku yang mengerikan di hadapan pacarku.
Aku mengganti pakaianku. Tangan dan kakiku harus tertutup. Kupastikan poniku juga masih sanggup menutupi psoriasis di dahi.
Jantungku berdegup kencang. Tapi, rasanya bukan seperti saat aku jatuh cinta pertama kali dengan Zahier. Gugup ini berbeda karena aku takut membuat Zahier jijik dengan kondisiku sekarang.
"Kenapa lama banget?" tanya Zahier lembut. Dia sudah duduk di kursi yang ada di teras. Dia memandangku dari atas ke bawah dengan kerutan dalam di dahi. "Kamu mau ke mana, Sayang?"
Buru-buru aku menggeleng. Ternyata, memang berlebihan menggunakan kardigan dan celana jins tanpa perlu pergi ke mana pun. "Masuk, yuk?" Aku masuk ke rumah lebih dulu, lalu duduk di sofa ruang tamu.
Zahier mengikuti di belakangku. "Kamu kenapa?" Dia pasti menyadari ada yang salah denganku, selalu begitu.
Aku memandang wajahnya yang jelas-jelas menunjukkan kekhawatiran. "Aku bikin reading hari ini berantakan." Ragu-ragu, aku menceritakan kejadian hari ini. Tapi, aku melewatkan bagian psoriasis yang menjadi penyebab aku membuat Bang Felix dan yang lain marah.
"It's ok." Bibir Zahier melengkung, mirip bulan sabit yang indah banget. "Semua orang pasti bikin kesalahan. Kamu pasti bisa lebih baik besok."
Seharusnya, kata-kata Zahier bisa menangkan. Tapi, aku nggak yakin besok bisa baik-baik saja kalau psoriasis ini masih betah tinggal di kulitku.
Aku menunduk dalam. Jari-jariku saling menekan. Ada banyak yang ingin aku ceritakan. Tapi, aku nggak yakin bercerita.
"Kamu ada masalah?" Suara berat Zahier terdengar menuntut, tapi tetap tenang.
Aku merasa tersudut. Di depanku duduk pacar yang sudah bersamaku bukan cuma sehari-dua hari saja. Tapi, aku merasa seperti sedang duduk di hadapan polisi yang sedang menginterogasi penjahat.
"Bunda lagi?" tebak Zahier. "Kamu nggak perlu terlalu mikirin omongan Bunda. Kamu fokus sama usahamu aja dan lakukan yang terbaik. Kalau nggak bisa bikin Bunda bangga, kamu harus buat diri sendiri bahagia."
Aku menggeleng lagi. Bunda memang menjadi salah satu sumber kecemasanku. Tapi, bukan ini yang membuatku ragu untuk bercerita.
"Terus, kenapa? Kamu ada masalah apa, Sayang?"
Aku mendongak dan memandang mata Zahier. Di bawah alis tebal, mata itu tajam, tapi sekaligus menyorotkan kelembutan. Setiap memandangnya, aku seperti tersedot ke dalam dunia lain. Di dunia lain ini, seolah nggak ada yang namanya masalah. Dadaku terasa lebih ringan.
"Aku ... sakit." Aku akhirnya berani jujur walau nggak yakin Zahier bisa menerima kabar ini.
"Sakit? Kamu sakit apa? Kita ke dokter sekarang, ya." Zahier berdiri, bersiap membawaku pergi.
Aku mengibaskan tangan. "Nggak usah! Aku udah ke dokter, kok."
Untungnya, Zahier mau sedikit lebih tenang. Dia kembali duduk. "Terus, kamu sakit apa? Kenapa nggak bilang aku?" Pertanyaanya semakin menuntut.
Aku kembali menunduk. Keraguan hadir semakin tebal. Aku nggak yakin ini pilihan terbaik. Tapi, aku nggak mungkin menyembunyikan penyakitku dari Zahier.
"Ilona," panggil Zahier, tanda bahwa dia sedang serius.
Aku membuang napas berat. Kugulung lengan kiri kardigan. Bulatan-bulatan besar kemerahan menghiasi tanganku. Penampakannya nggak terlalu menjijikkan karena aku sudah mengolesi minyak. Tapi, tetap saja hiasan ini membuat tanganku mengerikan.
Mata Zahier membelalak. Mulutnya terbuka lebar, tapi nggak ada kata-kata yang keluar.
Aku sudah membayangkan reaksi Zahier ini. Tapi, melihatnya langsung tetap membuat dadaku nyeri. Aku tahu psoriasis ini menghancurkan kulitku. Tapi, tetap saja aku sakit hati saat ada yang terang-terangan menatapku heran.
"Itu kenapa?" Zahier menunjuk tanganku. Pangkal hidungnya berkerut. Zahier berusaha keras menunjukkan ekspresi biasa saja, tapi gagal total. Dia jelas jijik melihat kulitku.
"Psoriasis. Autoimun." Suaraku bergetar. Aku nggak tahu gimana cara menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami.
"Tenang, Sayang!" perintah Zahier yang sepertinya untuk dirinya sendiri. "Semuanya akan baik-baik aja. Kamu bisa sembuh. Kamu bisa cantik lagi."
"Kata dokter, ini nggak ada obatnya. Gimana aku bisa sembuh kalau nggak ada obatnya?" Air mataku menetes. Aku buru-buru menghapusnya, lalu mendongak untuk menahan air mata jatuh lebih hebat lagi. Kuatur napas agar dadaku lebih lega. Tapi, rasanya susah banget. Air mataku justru keluar lebih banyak.
Saat kembali menatap lurus, Zahier diam di tempatnya. Tangan kanannya di bawah hidup, menutupi mulutnya. Kepalanya menggeleng pelan. Tatapannya nggak bisa kuartikan sama sekali.
Aku menurunkan lengan kardigan. "Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" Akhirnya, aku berani menanyakan sesuatu yang sejak tadi membuatku takut.
Zahier memandangku, tapi matanya terus berpindah fokus. Kedua tangannya berada di paha, menopang tubuh besarnya yang sedikit membungkuk. "Aku nggak mungkin ninggalin kamu. Aku bakal terus sama kamu."
Dadaku terasa lebih lega. Pernyataan Zahier menjadi penguatku. Semuanya akan baik-baik saja. Nggak apa-apa kalau psoriasis ini tetap ada, selama Zahier juga nggak pernah pergi.