Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilona : My Spotted Skin
MENU
About Us  

Aku nggak mungkin lupa kewajiban kerjaku hari ini. Sejak kemarin, Mak Mum dan Helda kompak menerorku dengan jadwal kegiatan hari ini. Di pagi hari pun, Helda menelepon dan memastikan aku siap untuk pekerjaan yang menumpuk ini.

Nggak ada yang salah dengan Helda dan Mak Mum. Mereka cuma sedang melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Yang bermasalah itu aku.

Aku masih berdiri di depan cermin. Kondisi wajahku semakin mengerikan dengan psoriasis yang bertambah luas di atas alis. Sekarang, ada bintik putih kering kecil di sudut mata kiriku. Kulit kering yang mengelupas membuatku seperti punya kotoran mata. Aku lebih mirip baru bangun setelah tidur panjang dan belum sempat cuci muka, padahal sudah mandi.

Berkali-kali, aku mengambil kulit kering di sudut mata, tapi rasanya sia-sia. Nggak lama, kulit di tempat yang sama akan mengering kembali.

Ini belum termasuk gangguan gatal yang terus bermunculan di titik  berbeda. Gatalnya terus bergerak, berpindah, bahkan muncul serentak seperti serangan tikus di sawah. Sekarang, aku punya hobi baru yang pasti jarang orang lain lakukan, menggaruk. Aku akan terus menggaruk sampai kulitku bertaburan dan terluka.

Sampai detik ini, aku belum berhasil menghilangkan gatal. Pelembab cuma meredakan sesaat karena saat kulitku kering lagi, gatalnya akan muncul dalam level lebih parah. Berkali-kali ini terulang sampai aku muak banget. Aku resmi menjadi wanita gatal dalam artian sesungguhnya.

Kamarku seperti kedatangan tornado. Hampir seluruh isi lemariku sudah keluar dan berceceran di kamar. Tapi, aku nggak menemukan pakaian yang layak untuk hari ini.

Sebenarnya, Bang Felix atau siapa pun yang terlibat di proses produksi film ini nggak pernah mempermasalahkan tentang pakaian para pemain. Tapi, aku nggak yakin dengan kondisi kulitku ini, akan ada yang nggak peduli pada pakaianku. Aku nggak mau kulitku jadi masalah dan membuat orang lain merasa jijik.

Ah! Jangankan orang lain, aku saja merasa jijik dan risih melihat penampakan kulit kering ini.

"Ya, ampun, Dek!" Bunda berhenti di depan pintu. Matanya membelalak dengan mulut terbuka lebar. "Kamu ngapain?"

Aku memandang Bunda sambil cemberut. "Aku nggak punya baju," sahutku sambil menggaruk pergelangan tangan.

Bunda berjalan cepat menghampiriku. Tangan kanannya mengibas. "Jangan garuk-garuk!" perintahnya tegas. "Dokter bilang itu cuma bikin makin parah. Mana minyak zaitunnya?" Bunda memandang sekeliling, lalu menggeleng. Walau kesal, kali ini Bunda berhasil menahan diri untuk nggak mengomel lebih banyak lagi. Bunda mengambil pakaian-pakaianku.

"Bunda," panggilku lirih, lalu duduk di kursi satu-satunya yang ada dalam kamarku.

Bunda memandangku dengan tangan penuh tumpukan baju. "Kamu pergi jam berapa?" tanya Bunda.

Aku menunduk dan memainkan jari. Aku takut, tapi nggak tahu harus melakukan apa lagi.

"Kenapa?" tanya Bunda lagi sambil menghampiri.

Aku nggak berani memandang Bunda. Sepertinya, aku akan melakukan dosa besar yang nggak akan termaafkan. Kali ini, dengan sadar aku membuat Bunda kecewa.

"Aku boleh nggak pergi?" Suaraku terlalu pelan. Ada yang mengganjal tenggorokanku sampai susah banget berbicara.

Bunda mengusap lenganku. "Kalau bisa, Bunda juga akan minta Adek di rumah aja. Kita nggak tahu respons orang gimana. Tapi, Bunda nggak mau Adek diejek orang gara-gara sekarang kayak gini."

Aku nggak suka mendengar penjelasan Bunda. Sakit banget mengetahui kalau Bunda pun malu dengan kondisiku. Tapi, aku sadar diri bahwa penampilanku sekarang memang menjijikkan. Nggak ada lagi Ilona yang cantik. Sekarang, Ilona cuma makhluk mengerikan. Nggak akan ada pujian untukku lagi karena memang nggak ada yang pantas dipuji dariku lagi.

"Tapi, Dek." Bunda melanjutkan penjelasannya. Suaranya tetap tenang, berbeda dengan Bunda yang biasanya aku kenal. "Di mana pun kita kerja dan apa pun profesi kita, jangan pernah lupakan profesionalisme. Kamu punya tanggung jawab yang harus diselesaikan. Jadi, selesaikan!"

Lagi-lagi, aku harus berhadapan dengan yang namanya profesionalisme. Ternyata kata ini bisa memuakkan.

Aku memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang Bunda. Senyumnya terlalu dipaksakan, apalagi genangan air matanya menjelaskan semua. Aku menggeleng. Tapi, jauh di dalam hatiku aku paham bahwa yang Bunda ucapkan memang benar.

"Tapi, gimana aku nutupin ini semua, Bun?" tanyaku akhirnya. Solusi agar aku tetap profesional cuma aku harus menyembunyikan kulitku. Nggak boleh ada yang tahu perubahan di kulitku.

Bunda berpaling dan memandang tumpukan pakaianku yang masih berserakan. Lalu, Bunda berjalan ke kasur dan meraih dress cokelat. Rok dan lengannya yang panjang pasti sanggup menyembunyikan kulitku yang kering. Bahannya juga ringan dan lembut tentu meminimalisir gesekan yang bikin gatal. Potongannya sederhana, tapi cantik dengan motif polkadot kecil berwarna putih.

Bunda memintaku duduk menghadap cermin di meja rias. "Tunggu sebentar!" pinta Bunda, lalu berjalan cepat keluar kamar. Nggak lama, Bunda kembali dengan gunting.

"Buat apa, Bun?" tanyaku curiga. Perasaanku nggak enak. Tapi, aku nggak melawan saat Bunda memintaku diam.

Aku memperhatikan semua yang Bunda lakukan tanpa protes. Walau nggak yakin, aku nggak tahu ada jalan keluar lain yang lebih menjanjikan. Jadi, aku menerima poniku berubah jadi pendek. Sekarang, di dahiku berbaris rambut hingga alisku pun terlindungi. Untungnya, Bunda cukup terampil memainkan gunting sehingga bentuk poniku rapi.

"Cantik!" puji Bunda sambil mengusap-usap pundakku.

Aku nggak membantah. Wajahku terlihat lebih segar, apalagi psoriasis di wajahku tertutup sempurna. Bunda sudah mengolesi minyak zaitun ke kulit yang meradang dan kering. Semua jadi terlihat normal. Nggak akan ada yang tahu kalau aku penyakitan.

"Helda udah di bawah. Sana berangkat!" Bunda mengusap lenganku, tepat di bagian yang gatal. "Minyak zaitunnya jangan lupa dibawa."

Aku mengangguk, lalu memastikan sekali lagi penampilanku di cermin. Semua aman. Aku sedikit percaya diri untuk melewati hari ini.

Helda menemaniku menuju gedung Rainema. Sepanjang perjalanan, aku memanfaatkan waktu dengan membaca ulang naskah. Kali ini, aku cukup mudah memahami setiap dialogku. Aku bisa merasakan emosi dalam setiap adegannya, terutama saat Arum kehilangan penglihatan dan wajahnya rusak.

Aku yakin hari ini akan berjalan lancar. Bang Felix juga nggak akan menegurku lagi.

"Mbak, itu ... di matanya." Helda berkata ragu-ragu sambil menunjuk mataku. Kami baru saja sampai dan bersiap turun. Tapi, Helda menahanku.

"Apa?" tanyaku bingung. Aku mengusap sudut mata dan merasakan kulitku mengering lagi. Buru-buru, aku mengolesi minyak zaitun, lalu menutupnya dengan kacamata hitam lagi.

Tadi, aku sengaja melepas kacamata agar lebih bebas membaca naskah. Tapi, sepertinya aku nggak bisa melepaskan kacamata sembarangan sekarang. Gugup perlahan merambat dan menghimpit dadaku lagi. Kepercayaan diri yang tadi sempat tumbuh, sekarang lenyap dalam waktu singkat.

Kakiku seperti terikat pada batu besar yang berat banget. Tapi, aku nggak bisa berhenti di sini. Sudah ada tim yang menunggu untuk kembali melakukan reading naskah. Tentu saja, sebagai pemeran utama, aku nggak mungkin kabur tanpa alasan yang jelas.

Lorong-lorong di gedung ini terasa mencekam. Orang-orang yang berlalu-lalang memandangku dengan berbagai ekspresi. Tapi, aku yakin mereka sudah menemukan celah untuk menghinaku. Aku terus menunduk untuk menyembunyikan wajah. Tapi, aku nggak benar-benar yakin bisa bersembunyi dengan baik.

Di dalam lift, suasananya terasa jauh lebih menyebalkan. Tempat ini sempit dan penuh sesak. Suara tawa beberapa orang masuk telingaku. Tawa mereka terdengar seperti sedang menertawaiku karena menganggap aku sebagai makhluk aneh yang konyol banget.

Pandanganku tertuju pada kaki Helda yang terus berada di sampingku. Aku cuma percaya Helda nggak akan membawaku ke tempat berbahaya.

"Mbak Ilo butuh apa? Saya tunggu di luar, ya." Helda memberikan sebotol teh susu untukku.

Aku menggeleng. "Jangan jauh-jauh!" Entah kenapa aku takut berpisah dengan Helda, padahal ini bukan pertama kalinya dia menjadi asistenku. Selama satu tahun ini, Helda bekerja dengan baik. Selain Helda, aku nggak percaya dengan siapa pun di tempat ini.

Aku melangkah masuk. Ruangan ini masih sama dengan yang sebelumnya. Jendela-jendela besar terbuka lebar, menampilkan gedung-gedung tetangga yang menjulang. Cahaya matahari menembus masuk sehingga tanpa penerangan pun ruangan ini terang.

Obrolan di sana-sini bercampur tawa membuatku nggak nyaman. Aku terus melangkah sambil menunduk, bahkan sengaja mengabaikan sapaan. Rasanya canggung banget, padahal wajah-wajah di dalam ruangan sudah nggak asing lagi bagiku. Aku nggak benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi, aku merasa mereka sedang membicarakan dan menertawakanku.

Kali ini, aku duduk membelakangi jendela. Di sisi kananku, Tante Naura mengobrol dengan Tante Inka. Sementara sisi kiriku ada Mas Aidan yang serius membaca naskah. Aku memilih tempat ini karena memang kosong dan orang-orang di kanan-kiriku nggak terlalu suka ikut campur urusan nggak penting.

"Mas," sapaku saat Mas Aidan memandangku.

Mas Aidan mengangguk, lalu berpaling. Aku tahu kalau Mas Aidan itu pendiam dan cuek banget. Kami pernah bertemu beberapa kali dalam proyek film dan sinetron. Tapi, sekarang aku merasa Mas Aidan sengaja menghindar karena ada sesuatu yang membuatnya nggak nyaman di wajahku.

Aku mengikuti Mas Aidan membaca naskah. Kami nggak ada adegan bersama. Biasanya, aku senang mengobrol. Tapi, dalam kondisi ini, aku nggak berminat menjalin pertemanan lagi. Aku takut mereka jijik saat melihat penampilanku sekarang.

Bang Felix datang tepat waktu. Kami memulai dengan harapan Bang Felix agar hari ini bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya. "Tolong aksesoris yang menutup wajah bisa dilepas dulu. Kita mulai memainkan ekspresi hari ini. Saya mau kalian mencoba untuk totalitas." Bang Felix memandang para pemain yang memakai kacamata dan topi, termasuk aku.

Aku memandang sekeliling. Aku harap ada yang protes atau memberontak. Tapi, semua menuruti Bang Felix. Terpaksa, aku juga mengikuti perintah Bang Felix. Untuk saat ini, nggak ada respons aneh yang kuterima. Aku nggak bisa melihat wajahku, tapi sepertinya psoriasisku masih aman tersembunyi.

Selama satu jam, semua berjalan lancar. Walau gugup banget, aksiku hari ini nggak terlalu buruk. "Lepasin aja! Jangan nanggung kalau luapin perasan. Jangan bawa masalah lo ke tempat kerja!" Bang Felix nggak mengomel, tapi tetap memintaku untuk lebih maksimal.

Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega. Sepertinya, semua akan baik-baik saja walau psoriasis menyerang kulitku. Cuma kulitku yang hancur, hidupku tetap berjalan normal.

"Ilona, dahi kamu kenapa?" tanya Tante Naura saat jeda istirahat. Dahinya berkerut dalam. Matanya menyipit seakan-akan menemukan benda asing yang nggak masuk akal.

Buru-buru, aku merapikan poni. "Eh. Ini nggak apa-apa. Saya ke toilet dulu." Aku meraih tas. Secepat mungkin, aku melesat keluar ruangan. Aku perlu ke toilet untuk menyembunyikan psoriasis sialan ini lagi.

Apesnya, toilet di lantai ini penuh. Aku harus menunggu untuk masuk ke bilik karena nggak mungkin mengolesi minyak zaitun di hadapan banyak orang begini. Tanganku terus mengusap kulit di balik kain. Kecemasanku sepertinya punya hubungan erat dengan rasa gatal. Semakin cemas, gatal di kulitku terasa lebih menyiksa.

Pintu toilet terbuka. Allena masuk sambil membawa kotak mekap. Dia melambaikan tangan padaku.

Aku berharap dia nggak menghampiri. Tapi, Allena justru bersemangat mendekatiku.

"Lo kenapa gelisah banget?" tanya Allena yang baru saja masuk. Dia berdiri di sampingku sambil memandang sekeliling. "Penuh banget ini toilet. Nggak ada yang lain apa?"

"Nggak apa-apa," jawabku cepat. Masih ada satu orang lagi di dalam bilik toilet. Tapi, aku nggak sabar untuk menunggu. Aku mengetuk pintu dan memintanya cepat.

"Eh! Dahi lo kenapa?" Allena menyadari ada yang salah di dahiku. Suara cempreng Allene berhasil membuat toilet yang berisik jadi hening. "Ih! Kenapa kering gitu? Itu mengelupas juga kulitnya? Lo kenapa?" Ekspresinya lebih menunjukkan jijik daripada peduli.

Aku menekan poni agar lebih rapat menutupi dahiku. Orang-orang menjadikanku pusat perhatian karena suara kencang Allena. Aku nggak yakin mereka sudah melihat kulitku yang mengerikan. Tapi, aku yakin mereka sekarang menganggapku sebagai gadis paling menjijikkan.

Aku keluar secepat mungkin. Tempat ini terlalu berbahaya. Aku nggak bisa berlama-lama lagi di sini. Aku mau pergi sejauh mungkin dan bersembunyi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mana of love
234      166     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
HEARTBURN
390      286     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
SarangHaerang
2218      900     9     
Romance
(Sudah Terbit, sebentar lagi ada di toko buku dekat rumahmu) Kecelakaan yang menimpa saudara kembarnya membuat Hae-rang harus menyamar menjadi cewek. Awalnya dia hanya ingin memastikan Sa-rang menerima beasiswanya, akan tetapi buku harian milik Sa-rang serta teror bunga yang terjadi memberikan petunjuk lain kalau apa yang menimpa adiknya bukan kecelakaan. Kecurigaan mengarah pada Da-ra. Berb...
Ketika Takdir (Tak) Memilih Kita
581      327     8     
Short Story
“Lebih baik menjalani sisa hidup kita dengan berada disamping orang yang kita cintai, daripada meninggalkannya dengan alasan tidak mau melihat orang yang kita cintai terluka. Sebenarnya cara itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita cintai. Salah paham dengan orang yang mencintainya….”
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
760      518     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Enemy's Slave
1530      710     7     
Romance
Kesha Ayu Shakira dan Leon Bima Iskandar. Keduanya saling bermusuhan. Bahkan generasi sebelumnya--alias mama dari Kesha dan mama dari Leo--keduanya juga sudah menjadi musuh bebuyutan. Berujung saat mama masing-masing saling menyumpah ketika kehamilan masing-masing; bahwa anak mereka akan saling jatuh cinta dan saling menjatuhkan. Apakah sumpah-serapah itu akan menjadi kenyataan?
My Universe 1
4211      1355     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Warisan Kekasih
1019      680     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
Loading 98%
648      396     4     
Romance
Here We Go Again
649      364     2     
Short Story
Even though it hurt, she would always be my favorite pain.