Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilona : My Spotted Skin
MENU
About Us  

Aku duduk di ranjang sambil mengamati bintik-bintik merah yang semakin bertambah banyak di tubuhku. Bentuknya aneh. Ternyata, ini beda banget dari bekas gigitan nyamuk.

Aku mengusap bintik yang muncul di lutut. Permukannya timbul dan terasa kasar. Beberapa bintik punya ukuran yang terlalu besar untuk sekadar bekas gigitan nyamuk. Ada juga bintik yang warnanya jadi putih. Kulitku juga jadi kering banget. Aku sudah menggunakan losion, tapi lemabnya cuma bertagan sebentar. Rasa gatalnya jauh lebih hebat dari sisa-sisa gigitan nyamuk, semut, atau alergi lainnya.

Aku mengembuskan napas berat. Aku alergi apa sampai muncul seperti ini? Yang aku ingat, sepanjang hidupku selama hampir 20 tahun ini, nggak ada alergi yang menyerangku. Aku bebas makan apa saja. Tubuhku juga nggak pernah rewel saat harus berada di kondisi udara sepanas atau sedingin apa pun.

Lalu, kenapa sekarang ada tanda alergi yang mendadak muncul begini?

"Dek," panggil Bunda sambil mengetuk pintu. "Makan, yuk! Ayah bawain mi ayam, nih."

"Iya, Bun," sahutku sambil menuju lemari pakaian. Aku harus mengganti tank top dan celana pendekku dengan yang lebih tertutup. Aku sedang nggak ingin mendengarkan ceramah Bunda tentang pentingnya seorang wanita untuk menjaga penampilan.

Piyama dengan celana dan lengan panjang berwarna hijau berhasil menutupi bintik-bintik menyebalkan itu. Tapi, rasa gatalnya belum bisa aku redam. Aku menuju ruang makan dengan malas. Makan malam bersama orang tua nggak pernah menyenangkan selama hidupku, apalagi sejak Mas Dio menikah.

Ruang makan kami sempit. Ya, rumah kami juga nggak terlalu besar. Ayah susah payah melunasi rumah ini dengan gajinya sebagai satpam bank. Setelah usiaku sepuluh tahun, Ayah baru mengubah rumah menjadi dua lantai. Menurut Ayah, aku dan Mas Dio sudah butuh kamar sendiri. Jadilah aku yang tadinya harus berbagi kamar di ruangan sempit bersama Mas Dio, punya kamar pribadi di lantai dua.

Hidupku nggak pernah mengalami kesulitan berarti, tapi nggak juga mewah. Ayah selalu berusaha mewujudkan semua keinginanku. Tapi, bagi Bunda, sikap Ayah itu berlebihan.

"Ayah nggak perlu nurutin semua maunya Adek gitu! Nanti jadi manja dia." Ini alasan tegas Bunda yang selalu meluncur cepat saat Ayah mulai mengabulkan banyak keinginanku.

Ayah dan Bunda sering banget berdebat tentang banyak hal. Mereka punya banyak perbedaan. Aku sendiri heran gimana mereka bisa jatuh cinta dan memutuskan menikah dengan perbedaan yang begitu banyak. Sekarang saja, mereka sedang berdebat tentang mi ayam.

"Bunda nggak perlu kasih saus banyak-banyak begitu. Rasanya bisa mengubah mi ayamnya. Lagian, itu saus belum tentu bersih. Bunda pernah lihat investigasi pembuatan saus seperti itu di tv, kan? Itu dari tomat busuk, belum lagi terkontaminasi hewan menjijikkan seperti tikus dan kecoak." Ayah jarang berbicara. Tapi, setiap berdebat dengan Bunda, suaranya terdengar lebih banyak.

Bunda memasukkan plastik saus yang sudah kosong ke kresek. Semua plastik yang sudah nggak terpakai bekas mi ayam dan pernak-perniknya, masuk ke kresek yang sama. "Lebai," sahut Bunda tanpa memandang Ayah. Bunda lebih memilih mengaduk mi ayam. "Kalau memang saus ini kotor dan bercampur bahan-bahan berbahaya, dari dulu Bunda udah sakit. Umur Bunda udah 49 tahun, lho. Tapi, Bunda nggak pernah sakit yang gimana-gimana."

Aku sudah biasa mendengarkan perdebatan seperti ini sejak kecil. Ayah yang perhatian akan selalu kalah dengan Bunda yang keras kepala. Sekarang, Ayah diam dan memutuskan menghabiskan makanannya sendiri. Mi ayam milik Ayah pucat, berbeda dengan punya Bunda yang merah merona.

Aku juga suka mi ayam dengan banyak saus. Rasanya memang berbeda saat saus dan sambal bercampur dengan bumbu asli mi ayam. Tapi, aku suka. Jadi, aku pun tetap menambahkan saus ke mi ayamku meski nggak sebanyak Bunda.

"Gimana film baru kamu, Dek?" tanya Bunda. "Mak Mum sempat cerita kamu lagi ambil proyek film gede. Itu beneran?"

Pertanyaan seperti ini jarang aku dapatkan. Bunda nggak pernah peduli apa yang sedang aku lakukan. Selama nama baik keluarga ini terjaga, Bunda nggak akan marah.

Aku mengangguk. "Aku jadi pemeran utamanya," sahutku ragu-ragu. Ada lubang menganga lebar di hatiku. Sepertinya, lubang ini jadi semakin dalam sekarang.

Mungkin, aku salah atau terlalu berlebihan. Tapi, aku menangkap nada meremehkan dari pertanyaan Bunda. Obrolan ini pasti bukan berujung pada pujian atau kebanggaan orang tuaku.

"Oh, jadi pemeran utama." Bunda nggak memandangku sama sekali, sepertinya mi ayam di hadapannya jauh lebih menarik dari anak gadisnya sendiri. "Harusnya, kamu udah jadi pemeran utama dari dulu, kan? Kenapa baru sekarang, sih, Dek?" Sesuai dugaanku, Bunda nggak akan memuji atau memberikan apresiasi positif untukku.

Lubang di hatiku mengeluarkan gas beracun. Dengan cepat, racunnya menyebar dan menghancurkan apa pun yang terlewati. Kepalaku menunduk. Aku belum sempat memakan mi ayam, tapi sudah nggak berminat lagi. Sendok dan garpu masih ada dalam genggamanku. Tapi, aku sama sekali nggak akan menggunakannya sekarang.

"Ilona sudah berjuang keras, Bun." Ayah memberikan pandangan yang berbeda dengan Bunda.

"Berjuang keras gimana?" Nada suara Bunda meninggi. "Kalau beneran usaha, dari dulu dia udah sukses. Namanya pasti masuk nominasi artis terbaik. Dia juara apalah apalah itu. Nyatanya apa? Temen-temen Bunda aja banyak yang nggak tahu Ilona Bachtiar itu main film apa."

Ada yang hancur lebur di dalam dadaku. Sepertinya, luka ini juga infeksi sampai berhasil membuat hatiku sakit banget.

Suara denting sendok dan garpu beradu dengan mangkuk nggak membuatku menengadah. Pandanganku kosong. Pikiranku ruwet banget. Yang aku tahu, aku memang selalu gagal membuat orang tuaku bangga.

Aku meletakkan alat makanku. Saat mengangkat kepala, aku memasang senyum terbaik. Aku jago memainkan peran. Cuma pura-pura baik-baik saja, gampang banget kulakukan.

"Aku selesai," kataku sambil berdiri. "Aku masih harus baca novel yang dijadikan film. Aku perlu memahami semua tentang tokoh utama yang aku perankan." Nada suaraku ringan, seolah nggak terjadi apa-apa. Kenyatannya, perih di dalam dadaku luar biasa.

"Kamu belum makan minya sama sekali, Dek." Ayah terdengar khawatir.

Aku meringis untuk membuktikan nggak ada masalah dalam diriku. "Masih kenyang, Yah. Sutradara film ini agak galak. Aku nggak mau bikin dia marah," sahutku dengan alasan yang sebenarnya memang jadi keresahanku juga.

"Nah! Bener itu. Kamu harus belajar dan asah kemampuan lebih banyak lagi. Coba lihat Mas Dio yang kalau ngapa-ngapain cepet kelihatan hasilnya itu." Bunda terus membandingkan aku dengan Mas Dio, seakan-akan aku memang nggak pernah berusaha sama sekali. "Biarin aja, Yah. Nanti, kalau laper juga ambil makan sendiri."

"Tapi, itu minya ngembang kalau nggak segera dimakan, Bun." Ayah tetap menunjukkan kekhawatiran.

"Biarin biarin. Adek udah gede. Masa cuma urusan makan doang harus diingetin juga? Kapan dia mandiri?" Tentu saja Bunda punya ribuan alasan untuk mendebat Ayah.

Aku nggak mau mendengar apa pun lagi dari Bunda. Sengaja, aku berdendang untuk mengalihkan omelan Bunda yang pasti menyakitkan itu. Langkahku lebar menuju lantai dua. Aku ingin membanting pintu, tapi nggak punya nyali. Jadi, aku tetap menutup pintu secara perlahan.

Kakiku lemas begitu pintu kamar menutup. Aku terduduk lemah di balik pintu. Kedua kakiku menjulur. Aroma teh hijau yang biasanya berhasil menenangkanku, sekarang nggak berguna. Aku menutup mata dan bersandar pada pintu. Air mataku jatuh. Mulutku terkunci rapat banget agar suara tangisku nggak keluar.

Nggak perlu ada yang tahu aku menangis. Tangisanku cuma akan membuktikan bahwa aku lemah. Aku nggak berguna. Aku banyak kurangnya.

Memang apa yang aku harapkan, sih? Bunda selalu seperti itu. Apa pun yang aku lakukan nggak akan pernah memuaskan Bunda. Semua yang menjadi pencapaianku selalu remeh bagi Bunda.

Ayah memang sesekali membelaku. Tapi, hasilnya apa? Bunda tetap pada pendiriannya. Pasti, Ayah juga sebenarnya yakin kalau aku ini anak yang memalukan keluarga. Aku ini anak gagal karena nggak pernah membuat orang tua bangga. Buktinya, Ayah pun nggak pernah terang-terangan memuji dan memamerkan pencapaianku pada siapa pun.

Aku memang nggak kayak Mas Dio. Sebagai anak pertama, Mas Dio punya segudang prestasi hebat. Mas Dio dianugerahi otak pintar sehingga selalu berada di peringkat atas di sekolah. Ya, minimal, nama Ardio Bachtiar akan selalu terpampang di tiga besar siswa paling pintar. Itu belum termasuk prestasi Mas Dio yang berhasil menjuarai banyak perlombaan. Sebaliknya, aku nggak berbakat di pelajaran apa pun. Nilaiku pas-pasan banget.

Harapanku cuma dari bidang seni peran ini aku bisa membuat orang tuaku bangga. Tapi, nyatanya, Bunda tetap nggak pernah puas dengan pencapaianku. Ada saja bagian yang membuatku terlihat jelek dan kurang di mata Bunda.

Semalaman aku menangis. Lampu kamarku sudah mati seluruhnya. Aku berada di kegelapan sambil berbaring di kasur. Kepalaku sakit. Mataku pegal banget. Tapi, aku kesulitan tidur.

Entah jam berapa aku tertidur. Sepertinya, matahari sudah mulai mengintip saat terakhir kali aku memandang ke luar jendela. Sakit di kepalaku masih terasa, bahkan bertambah parah. Aku kesulitan membuka mata karena bengkak dan panas.

Aku berjalan lunglai menuju kamar mandi. Mataku memejam, tapi aku sudah nggak mampu menahan kencing. Jariku nggak berhenti menggaruk lengan yang gatel banget. Sampai aku selesai kencing, gatalnya sama sekali nggak hilang.

Rasa gatalnya pindah. Sekarang, aku menggaruk paha. Tapi, betis dan lututku juga gatal banget. Baru aku sadari kalau kulitku nggak baik-baik saja.

Bintik merahnya nggak nampak lagi. Bulatan lebih lebar muncul di bekas bintik-bintik itu. Sepertinya, beberapa bintik menyatu dan kompak melakukan serangan secara bersamaan. Di bulatan itu, kulitku mengelupas dengan warna putih kering. Beberapa bagian memerah, seperti kehilangan lapisan kulit terluar. Ada lecet akibat garukan terlalu kencang yang justru memperparah rasa gatalnya.

Apa-apaan ini? Kenapa kondisiku jadi separah ini? Kenapa kulitku semakin hancur?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The One
320      213     1     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.
Si 'Pemain' Basket
5122      1362     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
DariLyanka
3051      1048     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Silver Dream
9085      2156     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
Can You Be My D?
97      87     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Dunia Sasha
6624      2213     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
Altitude : 2.958 AMSL
723      494     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Cinta (tak) Harus Memiliki
5654      1432     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
My Andrean
11173      1966     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
If Only
369      244     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".