Hari ini termasuk hari paling penting untukku. Rasa gugup dari audisi masih tersisa, padahal aku sudah mendapatkan hasil terbaik. Aku akan resmi menjadi Arum setelah menandatangani kontrak. Ini memang bukan kontrak kerja pertamaku. Tapi, rasanya selalu mendebarkan tiap aku menggoreskan pena di kertas berharga ini.
Aku dan Mak Mum memasuki gedung Rainema. Kedatangan kami hari ini punya tujuan berbeda. Kali ini, kami menuju lantai dua untuk membahas kontrak kerja dengan tim legal Rainema.
Lantai dua punya suasana berbeda dengan lantai yang sebelumnya kami datangi. Ruangannya lebih banyak. Aku juga lebih sering bertemu karyawan dengan seragam Rainema di sini. Di lantai ini, suasana kerja lebih terasa. Hampir seluruh ruangan berisi orang-orang yang fokus pada layar komputer dan diskusi serius.
Aku dan Mak Mum mengikuti dua orang staf Legal menuju ruangan paling ujung. Ruangan ini nggak terlalu besar. Meja panjang yang dikelilingi sepuluh kursi menguasai ruangan. Aku dan Mak Mum duduk berhadapan dengan dua wanita itu. Aku nggak yakin berapa usia mereka, tapi sepertinya nggak jauh berbeda dengan Mak Mum.
Setelah basa-basi memperkenalkan diri, wanita berkacamata mulai pembicaraan serius. "Silakan dibaca dulu kontraknya. Kalau ada yang belum jelas, jangan ragu bertanya." Bu Jeni menyerahkan berkas yang harus aku baca.
Bersama Mak Mum, aku membaca setiap poin yang tertulis dalam kontrak. Mak Mum sesekali membacakan dengan lantang pasal yang terasa penting. "Pihak Kedua berhak menerima honorarium sebesar 500 juta rupiah untuk peran sebagai Arum Pawestri dalam film Diari Gadis Buta."
Mak Mum masih melanjutkan membaca. Pasal berikutnya tentang sistem pembayaran. Aku akan mendapat upah sebesar Rp500 juta setelah menyelesaikan syuting film. Tapi, fokusku sudah berantakan. Nominal yang disebut itu fantastis banget bagiku. Ini harga terbesar yang aku dapatkan selama berkarir sebagai artis.
Aku menyentuh pergelangan tangan Mak Mum. "Mak," panggilku lirih.
Mak Mum memandangku bingung. "Kenapa?" sahutnya.
"Itu ... lima ratus." Aku kesulitan menjelaskan. Lidahku kelu cuma untuk menyebut angka yang punya nol berjumlah delapan itu. Seumur hidup, aku nggak pernah punya uang sebanyak itu.
"Ada yang salah dengan nominal upahnya?" tanya Bu Jeni yang ternyata menangkap kegelisahanku. "Apa jumlahnya kurang?" Wajahnya sedikit tegang.
Buru-buru, aku menggeleng sambil mengibaskan kedua tangan. "Bukan bukan bukan." Aku semakin ngeri mendengar pertanyaan terakhirnya.
Semua orang memandangku. Mereka sama-sama bingung dan menanti penjelasan. Aku jadi salah tingkah, lalu mendekatkan diri ke Mak Mum karena takut salah bicara. "Apa nggak kebanyakan?" bisikku.
Tawa Mak Mum mengagetkanku. Dia menepuk punggung tanganku dengan lembut. "Lo pantes dapetin ini, bahkan lebih," sahutnya, lalu memandang dua wanita yang masih bingung dengan tingkahku. "Nggak ada masalah, kok. Dia cuma kaget bisa dapet duit jajan banyak." Mak Mum menjelaskan dengan riang, sepertinya untuk mencairkan ketegangan yang terbentuk.
"Oh," sahut Bu Jeni dan Bu Okta hampir bersamaan. Kelegaan tercetak jelas di wajah keduanya.
"Lalu, gimana dengan pasal lainnya? Apakah ada yang perlu diubah?" tanya Bu Okta. "Semua artis yang bekerja sama dengan Rainema menandatangani kontrak yang serupa. Ya, paling beda di nominal aja, sisanya kurang-lebih sama."
Aku mengangguk sambil terus membaca tiap pasal yang harus kupahami. Walau bahasanya terlalu kaku dan membosankan, aku nggak boleh melewatkan apa pun. Aku nggak mau salah membaca kontrak, lalu mengalami kerugian akibat keteledoranku sendiri.
Mak Mum sepertinya sudah memutuskan untuk berhenti membaca kontrak. "Oke semua, kok," komentarnya lirih padaku, lalu mengajak Bu Jeni dan Bu Oka membicarakan karir mereka di Rainema. Dia memang butuh berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Dalam waktu singkat, Mak Mum sudah terlibat obrolan seru dengan Bu Jeni dan Bu Okta. Inilah cara Mak Mum menjalin relasi dan memperluas jaringan untuk membantunya dalam berbisnis.
Mataku membelalak saat menemukan pasal yang membahas denda. Ada nominal rupiah lain yang jumlahnya juga besar bagiku, besar banget. "Seratus juta." Tanpa sadar, aku bersuara kencang.
"Kenapa, Ilo?" Mak Mum memandangku panik.
Mataku membuka lebar dan masih tertuju ke angka yang mengagumkan ini. Berulang kali aku membaca, tapi deretan angka itu sama sekali nggak berubah. Mereka kompak berkolaborasi menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dari hantu apa pun.
"Dendanya banyak banget, Mak," bisikku pada Mak Mum. Aku berusaha nggak menunjukkan kepanikan dengan terus tersenyum.
Mak Mum membalas senyumku. "Lo nggak berniat mangkir dan ngelanggar kontrak, kan?" tanya Mak Mum yang kali ini ikut berbisik.
Aku menggeleng cepat. "Nggaklah. Gila aja!" sahutku sambil tetap menjaga nada suara serendah mungkin.
"Terus?" tanya Mak Mum lagi. "Nggak ada yang perlu lo khawatirin. Itu cuma angka."
Aku mengangguk dan mulai paham. "Gue cuma kaget sama jumlahnya. Banyak banget."
"Denda, ya?" Bu Okta menyela pembicaraan kami. Dia tanggap atau pendengarannya tajam banget. "Sebenarnya, belum pernah ada yang harus membayar denda itu. Kami sengaja memasang denda yang besar untuk menjaga profesionalitas."
"Terbukti, semua artis yang bekerja sama dengan Rainema bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik." Bu Jeni menambahkan.
Sepertinya, memang cuma aku yang berlebihan menilai harga denda ini. Benar kata Mak Mum, aku nggak perlu khawatir karena nggak punya niat apa pun untuk merusak kontrak.
"Udah, tanda tangani aja!" perintah Mak Mum sambil mengetuk bagian kosong yang harus aku tanda tangani.
Nggak ada keraguan lagi saat aku menyetujui semua isi perjanjian ini. Aku puas dan tentu saja bangga melihat namaku tercantum sebagai pemeran Arum. Bukan cuma jumlah uang yang akan aku dapatkan setelah ini, namaku juga akan semakin dikenal dan diperhitungkan dalam dunia perfilman.
Ayah dan Bunda nggak punya alasan lagi untuk nggak bangga padaku.
"Gimana hasilnya, Sayang?" Zahier meneleponku sesaat setelah aku berpamitan pada Bu Jeni dan Bu Okta.
Langkahku berhenti di depan lift. Mak Mum menekan tombol turun dan kami masih harus menunggu pintu lift membuka. "Aman," sahutku riang. "Kamu di mana?" Aku mendengar suara asing yang mengganggu. Jam kerja selesai masih satu jam lagi. Harusnya, Zahier berada di kantornya sekarang.
"Kamu nggak bawa mobil sendiri, kan?" Zahier menjawab dengan pertanyaan baru, lalu bising di sekitarnya lenyap. Zahier seperti masuk ke tempat baru yang lebih tenang.
"Nggak, aku sama Mak Mum, kok." Walau kesal, aku tetap menjawab pertanyaan Zahier.
"Aku tunggu di bawah."
"Ha?" Aku mulai mengikuti Mak Mum masuk lift yang kosong. "Di bawah mana? Aku masih di Rainema, Sayang."
"Sama, dong. Aku juga di Rainema, di lobi, nungguin pacarku."
Aku tertawa bahagia dengan kejutan kecil yang Zahier lakukan. "Tungguin!" Aku menghentikan panggilan.
"Kenapa Zahier?" tanya Mak Mum yang pasti samar-samar mendengar permbicaraanku.
"Dia di sini," jawabku bersemangat banget. "Habis ini kita nggak ada acara lagi, kan, Mak? Gue pulang sama Zahier nggak apa, kan?"
Mak Mum mengangguk. "Selesai hari ini. Urusan Diari Gadis Buta, gue kirim jadwalnya nanti."
Lift membuka saat sampai di lantai dasar. "Makasih, Mak." Mataku berbinar saat melihat Zahier duduk di salah satu sofa. Aku mempercepat langkah karena nggak sabar bertemu Zahier.
Zahier sedang menunduk memandang ponsel. Dia nggak sadar aku sudah berada dekat dengannya. Aku sengaja membiarkannya dan memilih mengamatinya dalam jarak dekat. Aku selalu suka mata lebar berbingkai alis tebal itu yang serius mengamati sesuatu di ponsel. Hidungnya yang menjulang tinggi, khas pria berdarah timur tengah, jadi daya tarik banyak wanita. Tapi, aku justru menyukai rambut tipis yang menghiasi dagunya.
"Kalian mau ke mana?" Mak Mum mengganggu kesenanganku.
Zahier mendongak. Dia tersenyum saat menyadari kehadiranku, lalu berdiri. "Kita mau ke mana, Sayang?" Zahier melemparkan pertanyaan yang sama padaku. "Gue nurutin Tuan Putri aja mau ke mana," katanya pada Mak Mum.
Mak Mum memandang Zahier jemu sambil mengibaskan tangan kanannya yang bebas. "Ah! Udahlah kalau Ilo yang nentuin, paling juga ke situ-situ aja." Telunjuknya mengarah ke wajahku. "Lo harus jaga kesehatan. Jangan sampai lo sakit selama proses produksi film ini. Bang Felix nggak suka ada yang bikin jadwalnya berantakan."
Aku mengangguk karena yakin nggak akan terjadi apa-apa. Aku sudah pernah stripping sinetron. Selama dua tahun hampir setiap harinya, aku nyaris nggak pernah pergi dari lokasi syuting. Jadwal tidurku berantakan, bahkan kadang aku terpaksa tidur dengan fasilitas seadanya. Nyatanya, aku berhasil menyelesaikan semuanya dengan baik. Tubuhku memang lelah luar biasa, tapi kesehatanku nggak bermasalah.
Setelah berpisah dengan Mak Mum, Zahier membawaku pergi. "Jadi, mau ke mana kita?" Zahier menanyakan pertanyaan yang sama. Kami belum punya tujuan, tapi Zahier sudah membawa mobilnya menjauh dari gedung Rainema.
"Jajan boleh?" rengekku sambil memasang senyum terbaikku.
"Apa yang nggak boleh buat kamu?" sahut Zahier setelah memandangku sebentar. "Kamu mau jajan apa? Seblak lagi?"
Aku mengangguk cepat. "Seblak!" seruku. "Tapi, kita beli minum dulu. Terus, nanti makannya di pinggir pantai. Aku pengin kopi gula aren. Boleh?"
Aku suka seblak. Aku juga suka kopi, lebih tepatnya aku suka minuman manis. Rasanya ada yang kurang kalau aku sama sekali nggak mengonsumsi minuman manis dalam satu hari. Untung, aku punya pacar sebaik Zahier. Dia selalu menuruti permintaanku ini.
"Buat ngerayain pencapaian kamu, semuanya akan aku turuti. Asal kamu nggak minta aku jadi presiden aja." Zahier memasang wajah sedih. "Aku nggak punya bapak yang jago bikin aku sukses jadi presiden."
Aku dan Zahier kompak tertawa. Kami menikmati sore menjelang malam ini. Zahier benar-benar menuruti semua keinginanku tanpa protes sama sekali. Ini salah satu alasanku sayang banget sama Zahier. Dia orang pertama yang selalu merayakan semua pencapaianku. Nggak peduli seremeh apa pun keberhasilan yang kuraih, Zahier akan memberikan penghargaan terbaiknya untukku.
Kami berjalan di pinggir pantai. Ada papan-papan berjajar untuk membatasi jalan. Aku menyentuh papan itu sambil terus berjalan dan mengobrol bersama Zahier. Pandanganku menyapu laut yang seolah nggak ada batasnya. Udaranya lebih segar di sini daripada jalanan yang kulewati tadi.
"Aduh!" teriakku. Pergelangan tanganku perih. Ada darah yang mengalir. Tanpa kusadari, ada kawat yang melintang di papan.
"Sayang, kita ke rumah sakit sekarang." Zahier langsung mengambil keputusan saat menyadari darah yang keluar banyak banget.
Zahier membawaku ke klinik terdekat. Dia meminta ke dokter yang merawatku untuk memberikan vaksin tetanus. "Kawatnya udah berkarat, Dok. Saya takut ada infeksi atau sejenisnya."
Aku menyerahkan semua urusan ini pada Zahier. Dia pasti lebih paham apa yang harus aku dapatkan. Untung saja, semua prosesnya cepat. Kami bisa kembali ke pantai karena aku masih belum mau pulang.
"Kenapa siku kamu, Sayang?" tanya Zahier yang menyadari bintik merah di sikuku.
Kami duduk bersebelahan. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Laut menyisakan kegelapan. Lampu-lampu menggantikan peran matahari memberikan penerangan. Embusan angin sudah mereda. Tapi, aku masih suka berlama-lama di sini.
Aku mengusap siku yang sejak tadi gatal. Bintik merahnya terasa tebal dan kasar. "Digigit nyamuk," jawabku santai.
Zahier mengernyit ke arahku. "Di mana?"
"Ha?" Aku nggak paham maksud pertanyaannya.
"Di mana kamu digigit nyamuk itu, Sayang? Di rumah atau di mana?" Zahier memeriksa sikuku lebih dekat. "Kulit kamu jadi ada motifnya. Mending kamu tutupi pakai jaket daripada ada orang yang nggak nyaman lihatnya." Zahier memberikan jaket padaku.
Aku nggak tahu harus senang dengan perhatian ini atau justru kesal. Rasanya, Zahier terlalu berlebihan. Ini cuma gigitan nyamuk. Memangnya siapa yang peduli dengan bekas gigitan nyamuk, sih? Ini normal.
Sayangnya, aku keliru. Aku lupa kalau pacarku selalu menuntut kesempurnaan padaku. Dia nggak suka kulitku lecet, bahkan jerawat di masa aku mendekati menstruasi pun menjadi aib memalukan baginya.
Zahier membelikan salep yang katanya ampuh untuk menghilangkan bekas gigitan nyamuk. Memang terlalu berlebihan, tapi inilah Zahier Alatas. Dia paling nggak suka melihatku dalam kondisi paling buruk. Dia nggak ada bedanya sama Bunda.
Sayangnya, bantuan Zahier untuk mengurangi bekas gigitan nyamuk di sikuku gagal total. Aku bangun di pagi hari dengan bintik merah yang bertambah banyak. Nggak cuma di siku, bintik merah juga aku temukan di lutut, mata kaki, dan lenganku.
Luka berdarah di tanganku nggak terlalu sakit lagi. Tapi, bintik-bintik merah ini jauh lebih mengganggu.
Ini benar gigitan nyamuk atau apa, sih?