"Kita ketemu Pak Rahardian dan Bang Felix dulu." Mak Mum membawaku naik satu lantai lagi setelah kami menunggu setengah jam di tempat yang sama.
Di dalam lift, perasaanku jauh lebih sesak. Cuma satu ketakutanku saat ini. Aku takut gagal yang akhirnya membuat Ayah dan Bunda kecewa. Aku takut nggak bisa membuat bangga Ayah dan Bunda karena selama ini nggak punya prestasi apa pun.
Aku nggak kayak Mas Dio yang pintar dan punya banyak piala penghargaan. Aku cuma Ilona yang cantik. Kalau nggak memanfaatkan kecantikanku, aku nggak berharga sama sekali. Ayah dan Bunda pasti malu dan menyesal punya anak aku.
Mak Mum mengetuk pintu. Ada nama Bram Rahardian dan jabatannya sebagai pemimpin perusahaan terpampang di depan pintu. Setelah ada yang mengizinkan masuk dari dalam, Mak Mum membuka pintu.
Ruangan ini luas dengan dominasi warna cokelat kayu yang menenangkan. Rak tinggi berisi penuh buku-buku menjadi pembatas antara tempat menerima tamu dan ruang kerja. Aroma manis yang menyenangkan menyambut dengan udara dingin saat kami menginjakkan kaki di dalam ruangan.
Pak Rahardian menyambut kehadiran kami dengan hangat. Berada dekat dengan Pak Rahardian membuatku merasa kecil. Selain tubuh pria paruh baya itu yang tinggi, auranya luar biasa banget. Ada wibawa dan keramahan yang menyatu dalam porsi pas.
"Ilona Bachtiar." Saat Pak Rahardian menyebut namaku, jantungku berdetak semakin kencang.
Aku membungkuk sambil menjabat tangannya. Rasanya segan banget kalau sampai aku terlalu lama memandang wajah Pak Rahardian. Tatanan rambut berlapis minyak, wajah dengan hiasan keriput di usia 60-an tahun, dan penampilan rapi dengan pakaian bermerek sukses menonjolkan aura hebat seorang Bram Rahardian.
"Memang cantik seperti yang banyak orang bilang," puji Pak Rahardian. "Saya sudah menonton audisi kamu hari ini." Pria berambut putih itu memandang Bang Felix yang sejak tadi duduk di sofa.
Bang Felix berbeda banget dengan Pak Rahadian. Rambut ikalnya panjang dan berantakan. Kumis tebal dan mata tajamnya membuat Bang Felix lebih mirip preman pasar daripada sutradara terkenal. Dengan kaus hitam dan celana pendek, yang seolah dipotong asal-asalan, penampilannya terlalu berandalan.
"Bagus," komentar Bang Felix sambil menghampiriku. Dia mengulurkan tangan padaku. "Kamu berbakat."
Aku agak takut dengan Bang Felix, apalagi mengingat semua penilaian teman-teman artis yang pernah bekerja sama dengannya. Menurut mereka, Bang Felix itu disiplin dan tegas banget. Dia nggak segan memaki siapa pun yang melakukan kesalahan. Tapi, sekarang Bang Felix justru memberikan pujian padaku.
"Makasih, Bang," sahutku sambil menjabat tangan Bang Felix erat.
"Masih ada beberapa hal yang gue nggak suka. Tapi, bukan sesuatu yang terlalu penting. Lo harus perbaiki biar akting lo naik kelas." Tanpa basa-basi, Bang Felix langsung memberikan penilaian keras. Cara bicaranya tegas, bahkan terkesan sinis.
Aku tersenyum dan kembali mengucapkan terima kasih. Debaran jantungku beriringan dengan rasa hangat yang menyenangkan. Ketegasan dan sikap terus-terang Bang Felix justru membuatku lebih percaya diri. Dia nggak meremehkan, tapi memberikan dukungan dengan caranya sendiri.
"Bentar, Bang." Mak Mum menyela. "Ini artinya Ilona jadi Arum?"
"Memangnya ada yang lebih pantas dari dia?" sahut Bang Felix tanpa senyum sama sekali, bahkan nada bicaranya terdengar ketus.
Obrolan kami berlanjut hangat. Pak Rahardian menceritakan banyak kesempatan yang bisa aku raih ke depannya. Walau nggak banyak bicara, sesekali Bang Felix memberikan saran dengan nada sinisnya itu. Rasa gugupku sirna. Aku yakin semuanya akan jadi lebih mudah untukku.
Malam harinya, aku mengajak Zahier dan beberapa teman untuk merayakan pencapaian ini. Brotherhood di Senopati menjadi tempat yang kupilih untuk berpesta.
Meja kami sudah berantakan. Gelas dan botol minuman keras terlihat paling mencolok di antara makanan ringan yang kami pesan. Musik menghentak kencang, seolah memanggil semua orang di dalam ruangan ini untuk terus bergoyang. Asap rokok, aroma alkohol yang pahit menyengat, dan parfum dari berbagai merek berkolaborasi dengan hebat untuk mendesak paru-paruku. Tapi, aku menikmati semua yang ada di sini.
Zahier berdiri di sampingku. Tangan kanannya mengangkat gelas tinggi-tinggi. "Selamat buat cewek yang paling gue sayang atas prestasinya. Malam ini spesial buat Ilona yang resmi jadi artis No. 1 Indonesia!" Zahier berteriak, tapi suaranya tetap kalah dari musik yang kencang.
Kata-kata Zahier agak berlebihan. Anehnya, aku suka mendengarnya. Ini tanda bukti kalau dia bangga dan sayang sama aku.
"Lo kenapa?" tanyaku setelah duduk di samping Hellen. Nggak biasanya dia memasang wajah kusut, apalagi di acaraku begini.
Hellen tersenyum, tapi terlihat terpaksa. Aku sudah mengenalnya sejak kami sama-sama menjadi talent di Roempi Management milik Mak Mum. Kami berjuang bersama walau jalannya berbeda. Aku lebih suka bermain peran, sementara Hellen menjadi pembawa acara. Sekarang, Hellen punya program talk show di televisi bersama dua rekan artis lainnya.
"Capek aja," jawab Hellen malas.
"Lo harus ambil cuti, deh. Jalan-jalan ke Bali atau belanja ke Singapura gitu, yang deket aja." Aku memberikan saran karena tahu jadwal kerja Hellen sedang padat banget.
"Gue penginnya juga gitu, tapi terlanjur kontrak. Nggak mungkin gue mangkir gitu aja, kan? Gue bukan orang kaya yang mampu bayar denda ratusan juta gara-gara sengaja ngelanggar kontrak kerja," keluh Hellen. Rambutnya agak berantakan. Wajah cantiknya juga terlihat capek.
Aku mengusap lengannya yang terbuka. "Kalau gitu, semangat! Kita harus kerja keras biar bisa hidup enak walau lahir dari keluarga biasa aja."
Hellen tertawa. "Lo terlalu optimis, Ilo. Sekarang, optimis lo ini kerasa nyebelin. Lo enak, punya modal muka cakep. Cowok lo juga keren. Siapa yang nggak mau pacaran sama Zahier, udahlah ganteng, pengusaha sukses, dan anak pejabat pula? Hidup lo bahagia banget pasti, Ilo!"
Aku mengernyit, lalu melirik gelas kosong di depan Hellen. Ada botol wine yang nyaris kosong di samping gelas itu. Pasti, dia sudah mabuk. Aku abaikan ocehan Hellen barusan. Nggak biasanya, Hellen bisa ketus begini. Mungkin dia memang sedang ada masalah. Aku harus mengajaknya mengobrol untuk melepaskan sedikit bebannya nanti.
Besok siangnya, aku bangun dengan kepala yang berdenyut. Pandanganku masih berputar dan tubuhku seperti baru saja mendapat ribuan pukulan. Cahaya matahari sudah menerangi kamarku, membuat mataku semakin sakit.
Aku meraba kasur, mencari ponsel. Deringnya yang kencang berhasil mengusik tidurku. Tapi, aku nggak menemukannya di mana pun.
Terpaksa, aku duduk masih sambil memejamkan mata. Aku menajamkan pendengaran untuk memperkirakan letak ponselku. Tetap dengan memejamkan mata, aku turun dari kasur dan berjalan ke sisi kanan.
Kakiku nggak sengaja menendang tas yang ternyata tergeletak di lantai. Aku berjongkok dan akhirnya menemukan benda yang terus berdering di dalam tasku.
Wajah bahagia Mak Mum memenuhi layar ponselku. "Ilo di mana?" Suara tegas Mak Mum menyambutku saat aku menjawab teleponnya.
"Di rumah," jawabku singkat sambil duduk. Dinginnya lantai menyentuh kulit pahaku yang terbuka. Aku nggak tahu kapan melepas pakaian dan cuma menyisakan celana dalam beserta kutang hitam ini saja.
"Buruan mandi! Sejam lagi gue jemput," perintah Mak Mum.
"Sejam?" Aku bertanya, seolah kata itu berasal dari bahasa asing yang belum pernah kudengar.
"Lo abis party lagi, ya?" tebak Mak Mum. "Udahlah! Pokoknya, lo sekarang mandi. Kita cari novel Diari Gadis Buta. Lo harus baca novelnya dulu biar paham kayak gimana karakter Arum. Lo harus makin memahami gimana Arum dari novelnya langsung. Lo juga harus ketemu sama penulisnya langsung."
"Oke." Aku masih nggak punya tenaga lebih untuk berbicara panjang.
Setelah Mak Mum mengakhiri obrolan, aku duduk diam sambil terus memandang lurus. Pikiranku kosong. Pintu kamarku yang tertutup juga nggak terlihat menarik di mataku. Tapi, aku nggak mengalihkan pandangan selama beberapa saat.
Saat kesadaranku mulai berkumpul, aku tahu harus segera mandi. Mak Mum membenci kata terlambat. Aku harus siap sebelum Mak Mum sampai di rumahku.
Aku sengaja berlama-lama di bawah guyuran air. Kepalaku terasa lebih ringan dan denyutnya mulai berkurang. Saat mengusapkan sabun di siku kiri, aku menemukan empat titik merah.
Aku mengabaikan bintik-bintik merah itu. Ini cuma gigitan nyamuk yang bisa hilang dengan cepat. Untuk menutupi bintik merah yang mengganggu penampilan, aku memilih pakaian yang nggak terlalu terbuka.
"Rambut lo kacau banget!" protes Mak Mum saat melihatku.
"Nggak sempet nge-blow." Aku merapikan rambut sambil keluar rumah. Aku harus segera pergi sebelum Bunda melihat penampilanku yang berantakan ini. "Tapi, udah oke, kan?" Aku cukup percaya diri dengan mekap natural dan dress merah muda tanpa lengan ini. Sebagai pelengkap, aku memilih flat shoes berwarna emas.
"Okelah!" Mak Mum setuju walau terdengar agak terpaksa. "Jaketnya nggak usah dipake!" Dia menunjuk jaket jins yang aku genggam.
"Oke." Aku nggak punya alasan untuk membantah karena selama ini Mak Mum selalu berhasil membuat penampilanku terlihat lebih menarik. Dari Mak Mum pula aku tahu warna-warna terbaik untuk kulitku, salah satunya merah muda yang lembut ini. Lagi pula, bintik merah di sikuku nggak akan berpengaruh banyak untuk penampilanku.
"Kayaknya, lo harus mulai kurangi party-party gitu, deh! Job lo bakal lebih banyak. Kalau lo sering party, stamina lo bakal kacau. Mana lo juga nggak pernah olahraga pula. Untung aja, badan lo nggak gampang gendut. Bisa ancur dagangan gue kalau badan lo nggak bagus." Mak Mum mulai mengomel saat mobilnya menjauh dari rumahku.
"Yah! Mak kayak nggak pernah muda aja," protesku.
Mak Mum melirikku tajam sesat. "Lo kerja di dunia yang banyak tuntutan, Ilo. Kulit lo lecet dikit aja, harga jual lo bisa berkurang. Lo harus tetep cantik biar bisa menarik banyak duit dateng. Cewek jelek nggak mungkin bisa bertahan di dunia penuh pura-pura ini."
Aku mengangguk, menyetujui semua pendapat Mak Mum. Di awal karirku sebagai pemain FTV, banyak yang bilang bahwa kecantikanku jadi alasan utama aku bisa dapat pekerjaan. Aku nggak bisa menyangkal meski terdengar menyebalkan. Mak Mum memang tertarik dengan kecantikanku saat pertama kami bertemu.
Dulu, aku nggak pernah berpikir menjadi artis walau banyak yang memuji kecantikanku. Tapi, tawaran Mak Mum cukup menggiurkan. Lagi pula, aku nggak punya prestasi membanggakan di bidang akademi. Jadi, aku harus memaksimalkan kecantikanku untuk membuat orang tuaku bangga.
Sayangnya, modal cantik saja nggak cukup untuk tetap bertahan di dunia kerja yang keras ini. Aku harus bersaing dengan banyak orang yang juga punya penampilan menarik lainnya. Tanpa menaikkan kemampuan akting, impianku nggak akan pernah terwujud. Aku beruntung bertemu Mak Mum yang terus mendukung semua kerja kerasku.
Sekarang, pintu impianku terbuka lebar. Aku nggak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini.