Posisi mentari sudah condong ke barat ketika ia sampai depan tangga yang bertuliskan ‘Asrama Sultan Al-Fatih’ di bagian kiri tembok. Memang, setiap bangunan di asrama santri itu memakai nama para pahlawan maupun tokoh ilmuwan muslim.
Untuk tingkatan Tsanawiyah atau lantai pertama, biasanya memakai tokoh peradaban zaman Khalifah Abbasyah seperti Salahuddin Al-Ayyubi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Sedangkan untuk dirinya yang berada di lantai kedua memakai nama tokoh peradaban masa Khalifah Usmaniyah. Namun, tidak sedikit yang memakai nama para sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Khalid bin Walid, Salman Al-Farizi, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan sebagainya.
Selain untuk membedakan tingkatan kelas dan usia, penamaan setiap kamar asrama itu juga memiliki makna dan doa tersendiri. Misalnya, Asrama Sultan Al-Fatih.
Pengasuh pesantren terutama kyai dan para asatidz berharap agar setiap penghuni di asrama itu bisa meneladani sikap mulia dan pemberani dari sosok sultan Al-Fatih. Sosok yang cerdas, bertakwa, serta mempunyai jiwa kepemimpinan yang luar biasa, sehingga dia mampu menaklukkan kota Konstantinopel di usia remaja.
Maka dari itu, santri diharapkan dan didoakan mampu memiliki ketakwaan dan kecerdasan intelektual seperti beliau. Begitu juga dengan nama tokoh-tokoh terkenal muslim yang lain.
Begitu tiba di depan pintu kamar, remaja yang sudah mengeluarkan seragam luarnya langsung melepas sepatu dan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan. Ia memutar knop pintu dengan pelan, takut mengganggu penghuni di sana yang mungkin sedang beristirahat. Namun ternyata, prediksinya salah. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan posisi bantal dan sprei masih rapi, belum tersentuh sama sekali.
“Apa yang lain belum pada balik, ya?” pikir Gean ketika menaruh tasnya.
Ia yang memang merasa sedikit capek lantas merebahkan tubunya tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala dan menutupi sebagian wajahnya. Waktu Ashar tinggal dua puluh menitan lagi. Gean ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan terlelap sebentar.
Suasana di kamarnya masih hening. Meskipun sudah menutup mata dengan sempurna, tapi remaja itu belum bisa terlelap sepenuhnya. Gendang telinganya masih menangkap bunyi-bunyi dari luar ruangan. Ia berprasangka kalau santri yang bersebelahan dengan kamarnya sedang mengulang pelajaran. Atau mungkin sedang membaca dzikir-dzikir yang masih asing di telinganya.
Gean masih mencoba untuk tertidur, meski harus dipaksa. Alhasil, ia benar-benar tertidur setelah menggumamkan pelajaran yang ia pelajari di sekolah tadi. Biasanya, ia bisa tertidur dengan mudah kalau mendengarkan musik, tapi itu tidak mungkin kalau berada di sini. Makanya, ia memilih mengingat pelajarannya tadi daripada tidak bisa tidur sama sekali.
Di tempat yang sama, Hanan dan Mirza yang baru pulang sekolah langsung masuk setelah mengucap salam. Keduanya sempat terkejut melihat Gean yang sudah tertidur pulas dengan seragam yang masih menempel di tubuhnya.
Mereka pun langsung meletakkan barang masing-masing dan berganti pakaian. Keduanya melakukan itu dengan pelan tanpa suara karena takut mengganggu tidur temannya.
“Kayaknya, si Gean kecapekan banget ya, Za. Sampai-sampai seragamnya belum diganti,” bisik Hanan. “Ane masih penasaran, apa yang membuat dia rela tinggal di pesantren? Padahal hidupnya sudah sangat enak di rumah.”
“Hush. Sudahlah, jangan dipikirkan. Kita tidak tahu isi hati manusia. Urusi saja urusanmu. Apapun tujuannya, kita doakan semoga itu untuk kebaikan dan meraih ridho ilahi.”
“Aamiin.”
“Sudah, mendingan antum periksa PR dari ustaz Wafiq kemarin. Malam ini, kan, mau dikumpulin. Biarkan dia istirahat. Nanti pas waktunya sholat, kita bangunkan.” Mirza memberikan saran. Hanan langsung mengiyakan.
“Eh, Nan!” panggil Mirza ketika laki-laki itu hampir sampai depan pintu.
Hanan berbalik. “Iya?”
“Titipan dari Qibty, sudah dibawa, kan?”
“Sudah. Ada di atas lemari. Nanti kalau Gean bangun, langsung dikasih saja. Aku agaknya nggak balik sampai azan.”
Mirza mengangkat jempolnya, pertanda setuju.
***
Hayya ‘alal falah (marilah meraih kemenangan) …
Hayya ‘alal falah (marilah meraih kemenangan) …
Tepat di bait azan tersebut, Gean membuka kelopak matanya. Ia langsung bangun seraya mengucek matanya demi menghilangkan sisa kantuk yang masih menghinggap.
Tangan kanannya menyisir poni yang menghalangi pandangan lalu beranjak begitu azan selesai dan mengangkat kedua tangan untuk membaca doa sesudah azan. Ia tetap membacanya meski lupa-lupa ingat karena doa itu ia dapat ketika duduk di bangku sekolah dasar.
“Baru aja mau dibangunin, eh, udah bangun duluan,” cicit Mirza yang baru datang. Terlihat dari penampilannya, ia baru selesai mengambil wudhu.
“Yang lain mana?” tanya Gean.
“Masih di belakang, bentar lagi ke sini.”
“Oh,” balas Gean singkat. Laki-laki itu segera mengganti seragamnya dengan kaos lengan panjang, tak lupa juga mengambil handuk. Mungkin ia butuh mandi untuk menyegarkan tubuhnya. “Gue mau mandi dulu.”
“Iya, nanti langsung ke masjid, ya. Sore ini ada kajian bareng Abah.” Mirza memperingatkan. Sosok yang diberitahu pun langsung mengiyakan. “Oh, iya. Itu ada titipan dari mama kamu.”
Gean mengurungkan niatnya untuk keluar setelah mendengar ucapan Mirza tadi. Ia pun melihat ke arah yang ditunjuk teman sekamarnya itu. “Mama gue? Kapan?”
“Tadi pagi waktu kamu belum pulang. Sebenarnya, itu dititipkan ke Qibty dan akhirnya, Qibty mentipkannya padaku.”
Gean bergeming, mencoba mengingat dimana ia pernah mendengar nama itu. “Qibty?” gumamnya dan langsung di dengar oleh Mirza.
“Iya, Qibty Firdaus, putrinya Abah Zaen. Pengurus asrama Fatimah Az-Zahra bareng ustazah Najwa,” jelas Mirza panjang. Namun penjelasan itu tidak bisa ditangkap oleh Gean.
Laki-laki itu masih mencari sosok yang disebutkan Mirza dalam ingatannya. Akhirnya, ia teringat dimana ia pernah melihat dan mendengar nama itu.
“Oh, ya. Gue inget sekarang! Itu cewek yang nyelametin gue waktu itu,” lontar Gean membuat Mirza sedikit bingung dengan ucapannya barusan.
“Nyelametin kamu? Dimana?”
Gean yang baru tersadar dari perkataannya tadi langsung menutup mulutnya. Sebelum Mirza semakin penasaran, ia segera menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan itu. “Eum, maksud gue, dia itu cewek yang udah nyelametin nyokap gue waktu itu,” terang Gean.
“Oh, begitu.” Akhirnya Mirza percaya dengan ucapannya.
Laki-laki itu pun berpamitan untuk pergi ke masjid, sedangkan Gean akan menyusul. Sebelum pergi ke kamar mandi, Gean mengambil barang yang dititipkan Jihan tadi. Senyumnya terbingkai ketika melihat isi dalam paper bag itu.
“Sempet-sempetnya Mama masakin makanan kesukaan gue,” lirihnya memasukkan kembali kotak makan itu. Ia pun melihat paper bag yang lain, dan isinya pun sama. Namun, ada tulisan di sana. “Makanan yang ini, untuk keluarga Abah. Jangan dimakan sendiri, ya, Nak.” Gean membaca tulisan di secarik kertas itu dengan suara pelan.
“Berarti, gue harus ketemu sama tu cewek dong?” Gean bertanya pada dirinya sendiri. Karena belum menemukan jawaban, remaja itu memilih untuk beranjak ke kamar mandi karena sholat Ashar sebentar lagi akan dimulai.
***
Sesuai jawaban hatinya, Gean memberanikan diri untuk menemui Qibty. Sesuai informasi yang didapat, gadis itu akan berada di asrama Fatimah Az-Zahra untuk membantu ustazah di sana. Awalnya, Gean ingin langsung ke ndalem saja, tapi karena tadi pagi ia sudah ke sana, jadi Gean memilih untuk ke asrama.
Ketika sampai di depan gerbang asrama putri, langkahnya ia hentikan. Bayangan ketika pertama kali datang ke sini kembali terngiang. Apalagi saat dirinya diteriaki maling. Ia ingin mengurungkan niatnya tapi sudah terlanjur sampai gerbang.
Kalau mereka ngenalin gue, gimana ya? Pikir Gean.
“Assalamu’alaikum. Mau cari siapa Akhi?” Belum beberapa detik berkata demikian, kedatangan seseorang membuatnya terkejut bukan main. Hampir saja, barang yang ada ditangannya terjatuh sangking kagetnya.
“Eh, anu, gue, maksudnya, saya mau cari seseorang,” jawab Gean gelagapan.
“Rasulullah saw, bersabda yang artinya, menjawab salam itu hukumya fardhu ‘ain. Kalau tidak dijawab, maka yang mendengarnya mendapat dosa.” Gadis di depannya malah menasehatinya.
“Wa-wa’alaikumsalam.”
“Mau cari siapa sore-sore begini? Saya rasa, kamu sudah tahu peraturan di pesantren ini. Kalau santri putra atau laki-laki yang bukan mahram, dilarang masuk kawasan asrama putri, kecuali dengan alasan yang logis.”
Gean menghela napasnya panjang. Sikap gadis itu masih saja belum berubah kepadanya. Ketus dan sedikit kasar. Untung cantik.
“Iya, gue udah tahu. Gue kesini mau ngasih lo ini, titipan dari mama gue.”
Gadis itu bergeming melihat tangan Gean yang menyodorkan paper bag kepadanya.
“Tidak usah, aku ikhlas membantu mama kamu.”
“Gue tau, tapi ini amanah dari mama. Kalau lo nggak terima, berarti lo udah kecewain mama gue. Dia udah nyempetin masak ini,” jelas Gean masih setia menyodorkan tangannya. “Nih, ambil. Gue bakal ngerasa bersalah kalau amanahnya nggak gue penuhi.”
Akhirnya, gadis itu menerimanya setelah menimbang banyak hal. “Terima kasih.”
Gean tersenyum melihatnya. Ia pun mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
“Oh ya, kita belum kenalan waktu itu. Nama gue Gean. Ganteng tanpa kepedean.”
Gadis itu tidak membalas uluran tangan itu, melainkan menangkupkan tangannya ke depan dada. “Saya Qibty,” balasnya.
“Oh, sorry.” Gean langsung paham dengan maksud gadis itu. Ia pun langsung menarik tangannya.
“Kalau kamu sudah tidak ada keperluan lagi, saya permisi. Assalamu’alaikum.”
Gean mengangguk dan menepi agar gadis itu bisa lewat. Entah kenapa, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya setelah bertemu dengan gadis itu. Bahkan, ia beranjak pergi setelah bayangan Qibty benar-benar menghilang.
“Sampai ketemu lagi, istri. Eh, Qibty,” gumamnya.
***
Bersambung ~