"Segala bentuk niat baik, pasti akan berujung kebaikan. Bahkan menolong hewan kecil sekali pun, Allah sudah menuliskan pahala di dalamnya."
-Geandra-
...
“Ning Qibty!”
Panggilan itu membuat langkahnya terhenti. Pemilik nama lengkap Syafira Qibty Firdaus itu menoleh. Kedua alis tebalnya terangkat setelah melihat seseorang yang berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
“Ada apa, Wir?” tanya Qibty dengan tatapan heran.
Gadis yang hampir sampai di depannya tidak langsung menjawab. Ia masih mengatur deru napasnya yang tidak karuan akibat berlari terlalu jauh tadi. Ujung mukena pinknya ia gunakan untuk mengusap peluh yang masih tersisa di kening.
“Kamu habis darimana? Olahraga?” tanya Qibty.
Lawan bicaranya menggeleng. Ia lantas menegakkan tubuhnya yang sempat membungkuk karena kelelahan. “Masa saya olahraga mukenahan, Ning,” balasnya.
“Terus?”
“Habis ngejar maling sama Ustad dan santriwati yang lain.”
Qibty menaikkan alisnya sebelah, “Maling? Mana ada maling pagi-pagi, Wir?” timpalnya hendak melanjutkan langkah. Wirda yang masih merasa capek ikut mensejajarkan langkah.
“Beneran, Ning. Saya dan santriwati lainnya juga lihat kok. Kepalanya tiba-tiba nongol di jendela. Untung waktu kita habis Dhuha’an, coba kalau habis mandi? Bisa berabe urusannya,” cerita Wirda panjang lebar. “Memangnya Ning Qibty nggak tahu?”
Qibty menghendikkan bahunya, lalu menggeleng pelan. Ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu, padahal dia sendiri yang bertemu langsung dengan sosok yang menjadi dalang dibalik kehebohan yang terjadi di asrama hari ini. Qibty tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Sudah cukup makhluk Allah satu itu membuatnya kesulitan tadi.
“Serius tidak tahu, Ning?”
Sosok yang ditanya langsung menggeleng. “Padahal heboh banget tadi. Malah saya kira sampean yang nemuin malingnya, eh ternyata Ning sendiri juga tidak tahu,” desah Wirda memperbaiki ujung mukenanya.
Tidak ingin membuat teman sekelasnya curiga lebih jauh, Qibty mencari alasan untuk pergi dari sana.“Ya udah, Wir, aku ke ndalem dulu, ya. Nanti ketemu di halaqah,” ujar Qibty hendak berjalan ke lain arah seraya melambaikan tangan.
Meskipun ia putri bungsu kyai di pesantren itu, tapi ia masih sering mengikuti agenda-agenda yang ada di sana. Termasuk halaqah bersama santriwati yang lainnya. Selain membantu sang ummah mengurusi pondok pesantren, ia juga memilih untuk bersekolah di sana.
“Eh, mau kemana, Ning?”
“Ke pasar sama Ning Hana.”
Wirda tidak bersuara lagi setelah bayangan teman Ning-nya menghilang dibalik bangunan asrama. Gadis itu pun melanjutkan langkah ke kamar karena harus mengikuti kajian siang nanti.
***
Terik matahari kala itu terasa sangat menyengat menembus kulit. Ditambah dengan asap kendaraan serta bau dari berbagai macam daging dan ikan yang berjejeran di sepanjang jalan, membuat suasananya makin sumuk dan pengap. Apalagi kalau memakai pakaian yang serba panjang dan lebar, tidak terbayang bagaimana gerahnya.
Namun, semua itu tidak berpengaruh pada gadis yang tengah sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam plastik. Menjajal aneka buah dan sayuran dari satu penjual ke penjual yang lain.
“Qibty, semua barangnya sudah lengkap?” tanya wanita yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Mereka adalah kakak-beradik yang memang suka pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan di pesantren. Padahal, sudah banyak khaddam di pesantren yang siap menggantikan mereka.
“Sudah, Kak.”
“Kalau begitu, kita langsung pulang ya.”
Baru akan mengiyakan ajakan tersebut, perhatian gadis berjilbab hitam itu teralihkan dengan sikap seorang pria yang berdiri beberapa meter darinya. Sebenarnya Qibty ingin tidak peduli, namun gerak-gerik pria itu berhasil membuatnya curiga. Bagaimana tidak? Pria itu sengaja mendekatkan tubuhnya di samping wanita yang masih fokus memilih sayuran. Bahkan, pria itu dari tadi hanya melirik tas yang dibawa wanita itu.
Qibty masih terus memantau setiap pergerakan pria bertopi dan berpakaian serba hitam di sana. Kecurigaan itu semakin besar ketika tangan pria tersebut pelan-pelan menyentuh tas wanita itu. Tanpa menunggu lama, Qibty bergerak cepat ke arah mereka.
“Qibty, mau kemana?” tanya wanita yang bersamanya.
“Sebentar, Kak,” balas Qibty tanpa menoleh. Perhatiannya hanya terpusat pada pria dan wanita itu.
“Bapak mau ngapain?” seru Qibty sengaja mengeraskan suara.
Spontan, teriakannya itu berhasil mencuri perhatian beberapa orang yang ada di sana, termasuk wanita yang hampir menjadi korban pencopetan.
Pria yang diteriaki gelagapan. Dengan gerakan kilat, ia pun lari terbirit-birit sebelum kena amukan massa. Dompet yang sempat diambil sudah tergeletak di atas tanah. Qibty memungut benda tersebut dan langsung menyerahkan kepada pemiliknya. “Ini punya Ibu. Coba diperiksa lagi, Bu. Apa ada yang hilang?”
Wanita itu menerima dengan tangan sedikit gemetar. Ia membuka dompet kulit miliknya dan mengamati setiap isinya dengan cermat. Lantas, ia pun tersenyum. “Alhamdulillah, semua barang-barang Ibu masih utuh, Nak. Terima kasih ya, sudah menolong Ibu.”
Qibty membalas senyum dan mengangguk. “Sama-sama, Bu. Tempat ramai seperti ini memang rawan pencurian. Jadi Ibu harus lebih hati-hati,” nasehatnya. “Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu. Assalamu’alaikum.”
Begitu akan meninggalkan tempat tadi, wanita yang tidak lain adalah Jihan itu mengikuti gadis yang baru saja menolongnya. “Eh, tunggu Nak!” panggilnya.
Qibty yang sudah berada di tempat semula bersama Hana pun menoleh. Mereka menatap wanita tadi dengan pandangan bertanya-tanya. “Itu ibu-ibu yang kamu tolongin tadi?” tanya Hana.
Gadis yang ditanya langsung mengangguk. “Kenapa dia mengikuti kamu sampai sini?” sambung Hana masih memasang raut bingung.
“Qibty juga nggak tahu, Kak.”
“Kalian mau pulang, kan?” tanya Jihan yang sudah berdiri di depan mereka. Kedua gadis itu mengangguk sopan. “Kalau begitu, pulangnya sama Ibu saja. Ibu khawatir, pencopet tadi malah menunggu kalian di suatu tempat.”
“Tidak apa-apa, Bu. Kami sudah terbiasa ke pasar dan melewati jalan sekitar ini. Jadi, kami tau jalan yang aman,” tolak Qibty dengan nada halus.
“Kalian tinggal dimana?”
“Kami tinggal pesantren, Bu,” balas Hana.
“Pesantren?” ulang Jihan.
“Iya, Bu. Pesantren Daar An-Najah.” Kini giliran Hana yang menyahut.
“Yang diasuh oleh Kyai Zaen bukan?”
Hana dan Qibty kompak mengangguk. Melihat itu, senyum Jihan tiba-tiba mengembang. “Kebetulan suami saya dekat dengan Kyai Zaen, pengasuh pesantren sana. Ibu juga sudah lama tidak berkunjung ke sana. Sekalian mau silaturrahim. Kita ke sana bareng-bareng. Mau, ya?” tawar Jihan.
Qibty dan Hana saling pandang, masing-masing dari keduanya tidak mau merepotkan orang lain, tapi mereka juga tidak tega menolak keinginan Jihan untuk bersilaturrahmi ke pesantren. Akhirnya, setelah berpikir cukup panjang, keduanya mengiyakan ajakan tersebut.
Jihan yang melihat itu tersenyum lebar. “Syukurlah kalau begitu. Ayo! Mobil Ibu ada di depan.”
Wanita paruh baya namun masih terlihat muda itu berjalan lebih dahulu, diikuti oleh Qibty dan Hana. Ketika sampai di pintu masuk, langkah ketiganya terhenti dengan kedatangan seseorang yang menyambut mereka.
“Mama kok lama? Mama nggak apa-apa, kan?” tanya laki-laki yang berdiri di depan mereka.
Qibty yang pernah mendengar suara itu langsung mendongak. Ia memicingkan mata untuk melihat jelas rupa seseorang yang berdiri tepat di sampingnya. Hal yang sama juga dirasakan oleh laki-laki bertopi itu.
“Mereka siapa, Ma?” tanya cowok itu setelah memastikan penglihatannya tidak salah.
“Oh. Mereka ini yang sudah menyelamatkan Mama tadi.”
Cowok tadi langsung tersentak mendengarnya. “Memangnya Mama kenapa? Kepalanya pusing? Kakinya kambuh lagi??” serobotnya.
“Bukan itu, Nak.”
“Terus?”
“Ceritanya panjang. Nanti Mama cerita kalau udah di rumah. Sekarang, kita harus mengantar mereka pulang.” Jihan menjelaskan dengan raut bahagia. “Mari, Nak.”
Cowok itu masih mematung di tempat. Pasalnya, dia belum paham apa yang sebenarnya telah terjadi. Kenapa dua cewek itu bisa bersama mamanya?
“Gean! Ayo!” panggilan itu membuatnya tersadar. Tanpa menunggu lagi, ia segera melajukan mobilnya ke arah yang dimaksud mamanya.
***
Seperempat jam membelah jalan, mobil sport warna hitam itu berhenti di depan gedung bercat putih. Luas bangunan itu dua kali lebih luas dari rumahnya.
Gean keluar bersama sang mama dan dua gadis yang ia belum tahu siapa namanya. Mereka mempersilahkan dua tamu itu masuk. Sejak menjajalkan kaki ke tempat itu, Gean tak hentinya meliarkan pandangan. Padahal belum genap dua puluh empat jam ia meninggalkan tempat ini. Dan sekarang, ia sudah kembali lagi.
“Mari masuk, Bu.” Hana yang menjadi tuan rumah langsung mempersilahkan tamunya masuk.
Keduanya pun disambut hangat oleh Kyai Zaen beserta istri. Selain karena hubungan persahabatan, cerita dari Jihan tentang kejadian di pasar membuat ikatan mereka semakin erat. Jihan semakin merasa berterima kasih ketika mengetahui bahwa gadis yang menolongnya tadi adalah putri dari Kyai Zaen.
“Laki-laki kasep ini, siapa, Bu Jihan?” tanya Khadijah—istri kyai Zaen—menunjuk ke arah laki-laki yang duduk di samping Jihan.
“Oh. Ini putra saya satu-satunya, Bu Nyai. Namanya Gean, dia mungkin seusia putri Nyai yang itu.” Jihan menunjuk ke arah Qibty.
Gean yang sejak tadi memperhatikan sesuatu, spontan menoleh ke arah pasangan yang duduk di sebelah kanan. Ia tersenyum sebagai rasa hormat kepada pengasuh pesantren yang sempat menolongnya dari kejaran geng berandalan pagi tadi. Gean merasa berhutang budi kepada tempat ini, terutama kepada gadis cuek yang duduk tepat di depan matanya.
Ni cewek kalau dilihat-lihat, manis juga ya. Gue jamin, kalau dia tahu gue merhatiin dia, pasti langsung marah. Monolog Gean sambil tersenyum.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja otaknya memikirkan sesuatu.
“Ma, Gean mau tinggal di sini. Boleh nggak?”
Pernyataan itu membuat seisi ruangan itu terkejut, terutama Jihan. Entah apa yang merasuki putranya sampai mempunyai keinginan itu secara tiba-tiba. “K-kamu serius, Nak?”
Gean mengangguk mantap. “Serius, Ma. Boleh kan?”
***
Bersambung ~