AKHIRNYA, ADA DUA ORANG yang tertarik masuk klub Sastra Inggris. Hanya--syukurnya--dua orang. Semuanya adik kelas. Dua perempuan, satu laki-laki. Ini hasil yang kami dapat dari kegiatan Ekskul Fair. Aku lega, sambil tetap menghindari pemikiran bahwa semua yang kami lakukan sia-sia. Meski baru dua orang, klub ini terbukti eksis karena kedatangan mereka.
Namun, aku melirik klub-klub lain disekitar; seperti klub Padus yang bersinar, Dance & Modern Performance yang sedang hits, lalu E-Sport, Teater, Bahasa Asia, PKS, dan Jurnalistik. Semua stand klub itu memiliki kesamaan; banyak yang tertarik mampir, meski itu sekadar bertanya atau mengambil brosur dan pernak-pernik.
Ini jelas berbeda dengan klubku. Jumlah orang yang benar-benar mampir dan mencoba pernak-pernik bisa dihitung jari. Seringnya, klubku cukup mendapat lirikan, tempat melihat-lihat sejenak atau pemberhentian sementara anak-anak sebelum berpindah ke klub sebelah.
Maka, aku juga melirik Intellix dari kejauhan. Aku ingin tahu bagaimana suasana stand itu. Stand itu selalu ramai. Dan disisa jam terakhir ini, ada dua cowok baru saja mendaftar di sana lalu beranjak pergi seraya membawa brosur dan pernak-pernik klub itu.
Pernak-pernik Intellix terlihat keren dan menarik. Selain bisa mencoba pengalaman seru dari produk-produk robotic yang mereka pamerkan di stand, mereka juga mendapat beberapa stiker hologram logo klub yang berubah warna di bawah cahaya, pin logam unik, keychain robot akrilik, dan semacam Lanyard ID Card, yang tampaknya terdapat kode QR, dan mengarahkan mereka ke, entah, dua cowok tadi terkagum-kagum setelah kode itu di-scan di ponsel mereka, lalu mereka lewat dihadapan stand-ku.
Aku yakin semua itu di danai oleh Virza, atau mungkin anggota lain klub itu--yang masih dari keluarga kaya. Mengingat beberapa latar belakang anggota klub itu, aku merinding dan dadaku mendadak nyeri. Aku berpaling sebelum penyakit hatiku tambah parah.
Aku pun mengide sesuatu untuk hari esok. Masih ada hari terakhir.
"Gue tahu ini artinya harus mikirin dana lagi, tapi," aku berdehem, "Gimana kalau kita tambah cookie jar, untuk setiap anak yang mampir besok?"
Aku membicarakannya saat kami merapikan stand. Bel pelajaran ketiga akan berdering, dan Ekskul Fair di jam istirahat hari ini akan ditutup. Aku berbalik, melihat seluruh anggota klubku. Total, ada lima orang anggota setia di klub ini.
Pertama, ada Galang. Dia adalah satu-satunya anggota cowok, paling nyentrik, dan dia semangat membahas kisah-kisah tragis yang ditulis penulis Inggris jaman dulu. Lalu ada Lena, sekretaris klub yang suka sekali menulis cerita, puisi, dan bernyanyi. Ada Utari, bendahara grup yang suka sekali dengan fashion, terutama jika kita membahas fashion era Victoria bersamanya--dan aku selalu ingat dia suka sekali Agatha Christie. Lalu ada Pricilla, yang punya hobi membaca dan menggambar, sang wakil ketua--dan hanya kami berdua yang berasal dari kelas IPA.
Sementara itu, terakhir ada aku; aku adalah ketua klub ini.
Selain aku dan Pricilla, mereka semua berasal dari kelas IPS.
Tiga senior terakhir kami memutuskan menyerahkan segala urusan klub ini kepada kami berdua. Mereka sudah kelas 12. Katanya, mereka mulai sibuk fokus untuk ujian dan beasiswa. Aku tidak berpikir apapun pada awalnya, sampai desas-desus pembubaran klub ini menguar, dan Bu Melda memanggilku untuk memeriksa apa saja kegiatan dua minggu terakhir klub ini, lalu nasihatnya pun datang.
Hari itu setelah mendengarkan Bu Melda, di perjalanan pulang aku sadar bahwa ketiga kakak kelasku sudah tidak tertarik mempertahankan klub ini. Mereka memutuskan berhenti. Dan mereka tidak berniat memberikan gagasan tentang bagaimana melestarikan klub ini kedepannya, karena sudah setuju bahwa tidak ada harapan lagi disini.
Jadi ada dua klub sastra di SMA Harmoni Cendekia. Yang pertama adalah klub Sastra Indonesia; klub buku lokal yang punya peminat lumayan. Klub mereka memang aktif dan cukup ter-notice. Mereka memiliki 16 anggota tetap. Mereka sering membahas buku-buku lokal populer, cerpen dan puisi dari penulis legendaris seperti Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer.
Topik mereka terasa releatable untuk warga sekolah. Sesekali, mereka mengaitkan topiknya dengan isu hangat atau viral di sosial media--terutama yang berhubungan dengan keadaan negara kami--atau juga karya wattpad penulis anak bangsa yang di adaptasi menjadi film.
Intinya, pembahasan mereka kaya. Sedangkan klubku kering.
Aku perlu berhenti membandingkan. Tapi, bagaimana caranya bertahan di situasi seperti ini? Di tengah-tengah situasiku yang rumit, komentar tentang klub-ku sendiri justru muncul seperti ini; klub kumpulan anak ambisius, anak introvert kelas akut, komunitas yap-yap (yapping), kelas bedah buku penjajah, diskusi ujian IELTS dan sesi grammar-nazi.
Sebagai klub sastra kedua, Sastra Inggris, tangung jawab kami memang melestarikannya; mendiskusikan buku, membedah, menulis esai dan kadang membahas karakter-karakter berpengaruh dari buku yang ditulis dengan bahasa inggris. Kadang ada sesi membaca dan menulis karya berbahasa inggris. Tapi, karena kendalanya terus dalam berbahasa inggris murni, kusaksikan orang-orang cenderung bosan, menyerah dan keluar dari klub. Terutama jika kami sedang berhadapan dengan Bu Tanti.
"Cookie jar buat menarik perhatian?" tanya Utari. Aku menangguk.
"Barangnya dari mana? Stok-nya butuh berapa?"
Aku lihat lagi semua pernak-pernik yang tersedia di meja stand klub. Ada sejumlah stiker vintage; bergambar mesin tik, pena bulu, ilustrasi notes, kutipan klasik. Ada mini booklet beirisi kumpulan puisi yang ditulis anggota dengan handwritting ala Lena, mini zine berisi cerpen, puisi, dan fun facts soal sastra. Bookmark minimalis aestetic yang di desain Pricilla, dan sticky wall berisi kumpulan kalimat puitis, quotes, cerpen serta esai karya anggota sebelum-sebelumnya yang pernah memenangkan lomba lima tahun lalu.
Tambahannya, kami membuat Mysterious Card, yang bisa diambil pengunjung secara random, berisi pesan yang diambil dari berbagai kutipan penulis terkenal. Di sudut stand, terdapat kotak surat untuk siapapun yang ingin menulis untuk diri mereka satu tahun kedepan. Kotak surat itu milik Lena. Sejauh ini, kotak surat itu yang paling menarik perhatian.
"Gue punya beberapa stok dari kafe Ayah, harus gue cek dulu. Nanti gue hitung dan kasih bill-nya ke lo, ya. Berhubung pernak-pernik kita nggak terlalu banyak, gue bakal bawa cookie-nya banyak,"
Utari mengangguk. Dan Galang, ikut bersuara,
"Gimana kalau gue juga bawa koleksi buku gue besok?" tanyanya, "Buat tambahan barang menarik di stand, sekalian kalau mau pada baca juga boleh,"
"Free reads, ya? Oke," jawabku.
Semua ide ini kuharap membuat orang-orang yang berminat masuk klub bertambah. Karena besok hari terakhir, kuharap hasil dari semua ini tidak mengecewakan. Tidak lagi membuat Bu Melda meragukan manfaat mendanai dan memfasilitasi sarana prasarana klub ini. Kami segera merapikan seluruhnya dan setelah bel berbunyi, kami kembali ke kelas masing-masing.