Pemandangan terakhir kalinya pun berubah dalam sekejap mata. Mereka kembali ke tempat di mana daun berguguran jatuh. Rerimbun pohon yang terasa sejuk dan hangat mengingatkan akan suasana di pantai sebelumnya.
Ash mengulurkan tangan dan Eva menerimanya dengan senang hati. Mereka berdua kemudian berjalan menyusuri jalanan ini namun entah ke mana tujuan mereka sebenarnya.
“Ash, kamu mulai lelah?” Pertanyaan itu juga ditujukan pada dirinya sendiri. Ash menjawab tidak dan genggaman tangannya makin menguat seakan enggan melepaskannya.
Dia menarik tangan kecil itu lalu mendekap tubuhnya yang mendekat. Senyum terukir di wajah mereka lantas tertawa bersama. Sebatas tindakan remeh pun membuat mereka terhibur, pasutri itu benar-benar berbahagia di setiap momen yang ada.
“Bilang saja kalau lelah. Mau istirahat? Atau makan?”
Eva menggelengkan kepala, untuk saat ini dia tidak butuh. Ash mengerti lalu membawanya duduk di sekitar. Karena tidak ada kursi di manapun, maka mereka terpaksa harus duduk di bawah salah satu pohon di sana. Ash yang lebih dulu duduk itu kemudian menawarkan istrinya untuk duduk di pangkuan.
Rona merah di wajahnya nampak. Eva tersipu malu dibuatnya. Dia merasa enggan untuk duduk di sana tapi pada akhirnya sang suami menarik tubuhnya jatuh ke dalam pangkuan.
Sungguh kedua kaki yang besar, terasa nyaman untuk diduduki. Eva memalingkan wajahnya yang memanas—rasa malu dan canggung bercampur jadi satu. Sebaliknya Ash terlihat seperti biasa saja, dia bahkan tertawa mengejek karena merasa ini lucu.
Jarak dipersempit sedemikian rupa. Ash dengan mudahnya memeluk hingga tubuh Eva pun sepertinya hampir tidak terlihat. Sensasi yang dirasakan terasa nyata, ini memang bukan mimpi ataupun ilusi namun Ash masih merasa ada sedikit kejanggalan.
Lelaki bermata merah itu berbicara sambil dengan tetap memeluk istrinya di sana. Dia membicarakan tentang penyihir berambut putih.
Kala itu bibir Ash menjadi ungu gelap, taringnya mencuat, pun kukunya memanjang tajam. Perubahan diri Ash semakin lama semakin nampak saat membicarakan sosok penyihir yang tidak lain dan tidak bukan adalah Eva sendiri.
“Penyihir itu sama cantiknya denganmu. Dia dikhianati oleh kekasih dan juga temannya,” ungkap Ash dengan lugas.
“Meskipun orang itu tidak mengatakannya tapi aku merasa temannya juga berkhianat,” imbuhnya lantas berdeham. Raut wajah Ash terlihat begitu serius saat membicarakan hal ini.
“Meskipun dia melakukannya demi persahabatan mereka?” Eva menyahut, menyatakan pemikirannya.
“Ya. Kurasa.” Tatapan yang begitu dalam seakan menembus hatinya, setiap ucapan yang keluar dari mulut itu selalu berhubungan dengan istrinya tercinta.
“Itu aku.” Dengan senyum yang canggung, Eva mengungkapkan kesadarannya terkait cerita itu. Dia tidak sepenuhnya bodoh, berpura-pura juga tidak mungkin karena Ash akan tahu bagaimana reaksinya nanti.
Kemudian Ash menganggukkan kepala lalu tersenyum kemudian. Pelukan di antara mereka yang terjadi berulang kali itu tidak bosan dilakukan. Mereka justru menikmatinya bahkan kecupan singkat di bagian pelipis, dahi ataupun leher tidak cukup dilakukan. Sentuhan tangan Ash yang meraba setiap jengkal dari tubuhnya membuat dia gugup tapi sulit menolak.
“Tunggu, ini tidak benar.” Kecanggungan ini, Eva merasakannya. Dia mencoba untuk menahannya selagi bisa tapi Ash terlihat seperti sedang diluar kendali.
Kini, arah tatapan mereka yang tidak pernah saling menghindar justru semakin dekat begitu pula dengan tubuh mereka yang saling bersinggungan. Tampilan Ash tampak berbeda begitu juga dengan Eva. Seperti orang lain.
“Katakan kalau memang sudah di luar batas.”
Ash berkata, “Tidak.” Dia mengatakan dirinya baik-baik saja. Kesadaran Ash masih berada di sini dan dapat melihat, mendengar sekaligus meraba-raba yang berada di hadapannya saat ini.
“Aku masih sadar. Lihat, kita bisa mengobrol sepanjang hari.”
“Aku takut jika di sini ada orang lain.”
“Bukankah di sini adalah ruang sihirmu?”
Eva tersentak kaget lantas menatap cemas padanya. Dalam benak Eva dia bertanya-tanya mengapa dia bisa tahu tapi jawaban apa pun yang akan dikatakan olehnya juga tidak ada gunanya. Lantas Eva tertawa, dia kembali mengubah ekspresi seperti semula.
“Memang tidak mudah menyembunyikan hal ini darimu.”
Benar. Ash saat ini sangat peka terhadap keadaan sekitar. Lalu Eva terlalu meremehkannya sehingga Ash tidak berada kendalinya dalam artian lain.
Eva beranjak dari pangkuannya, berbalik badan sembari menatap langit kemerahan. Sejuknya angin berembus seakan menyapa, perlahan membawanya ke sebuah fantasi sesaat.
“Eva. Sepertinya aku mulai hilang kendali,” tutur Ash, dia merangkul pinggulnya dan sedikit menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapan yang lembut. Bisikan Ash yang setiap kali menyebut nama itu terdengar menggelitik.
Eva mencoba menyingkirkan tangan besar yang merangkul pinggulnya namun apa daya, dia sulit melawan. Bahkan meskipun saat ini fisik penyihirnya jauh lebih kuat, Eva terlihat seperti hanya setengah memberontak seolah pasrah. Hanya rasa malu yang ada di dalam hatinya meski tubuh bereaksi sebaliknya.
“Apa kamu memang tidak bisa mengendalikan diri?” Saat bertanya, Ash tidak menjawab. Lelaki itu membelai dagunya lalu mengecup bibirnya.
Dia memang tidak bisa mengendalikan diri, Ash—lelaki yang sekarang terlihat berbeda, terlihat begitu ingin bermanja-manja. Keseluruhan dari sikap dan sifat menandakan seberapa besar rasa kerinduannya. Hanya dalam waktu satu bulan, sebesar inilah keinginan Ash untuk bertemu dengan Eva.
Di jalanan yang sepi tanpa siapa pun selain mereka, dunia seperti berpusat padanya. Ikatan pernikahan serta janji, semua momen manis yang terpatri kembali diputar ulang dalam benak. Baik Eva maupun Ash, kedua orang itu tidak lagi memperdulikan sekitar dan selalu bermesraan.
Eva disudutkan di sebatang pohon yang kokoh, beberapa daun berjatuhan di sekitar tidak lagi menjadi penghalang bagi mereka. Detak jantung dan napas terdengar berat. Tubuh Eva gemetar seraya menggenggam tangan kanan suaminya. Dia berpaling demi menyembunyikan rasa malu yang terlihat dari wajahnya.
“Lihat aku, Eva.”
Eva menggelengkan kepala, menolak.
“Lihat aku sekarang. Jika tidak aku akan menggigitmu sekarang.” Ash mengancam dengan wajah datar dengan mulut dan taringnya yang menangkap pergelangan tangan Eva.
Tidak ada rasa sakit sedikitpun, Ash tidak benar-benar menggigitnya. Hanya sekadar mengancam sampai Eva terpaksa tuk kembali menatap wajah lelaki ini.
“Kalau memang membutuhkannya, gigit saja.”
“Harusnya kamu tahu bukan itu yang aku maksud.”
Kali ini berbeda dengan masa lalu yang dipenuhi penderitaan. Sang Penyihir berambut putih yang menguasai seluruh elemen yang memiliki pengalaman menyakitkan dengan seorang lelaki telah berubah di kehidupan saat ini. Tidak ada pengkhianatan, tidak ada rasa sakit apalagi kebencian.
Karena ini adalah kehidupan bahagia pertamanya, seumur hidup kan terukir jelas dalam ingatan. Membentuknya menjadi kenangan indah yang disertai sebuah pengalaman. Hal-hal yang belum pernah dilakukannya, terjerat dalam lingkar hidup Ash.
Isak tangis hingga mengeluarkan air mata, rintihannya yang lemah lembut menahan sakit dari gigitan di bagian pundak dan membuat tanda. Sedikit sihir berupa percikan api kecil keluar, mungkin Eva kesulitan fokus mengendalikannya.
***
Dua hari lagi takdir akan mempertemukan mereka. Dua hari? Tidak, mereka sudah bertemu sebelum itu. Bahkan sampai membuat kenangan manis dan panasnya tuk saling melepas rindu setelah satu bulan tak berjumpa.
Mereka saling menanyakan kabar dan menjawab dengan sebuah kecupan atau pelukan. Sebagai pasutri yang berpisah, tidaklah mungkin mereka bisa bertahan untuk berpisah meski hanya untuk sehari saja. Seperti anak ayam yang terpisah dari induknya, jika salah tempat maka mereka akan melupakannya.
Mata merah, kuku panjang hitam yang tajam, bibir menjadi ungu gelap seperti orang-orang di kultus dan ekspresi Ash yang semakin lama semakin terlihat liar tidak pernah berpikir akan melepas Eva dari dekapannya.
Waktu telah lama berlalu. Dalam ruang sihir ini memang tidak berpengaruh apa-apa namun mereka sudah merasa ini terlalu lama meski tangan tidak pernah berhenti bergerak.
Rambut Eva pun semakin lama semakin memutih dari ujung ke ujung. Tampak berkilau seperti perak dan berlian, aura yang dimiliki Eva juga seolah berubah menjadi seperti orang lain.
“Bukan sisimu yang lain, 'kan?”
“Bukan. Ini tetap istrimu.”
Nampaknya Ash sedikit takut jika yang keluar dari tubuh Eva adalah sisi lainnya. Eva sadar akan hal itu lalu menghiburnya dengan sebuah kecupan lagi, kali ini di bagian pipi meski harus dilakukan dengan kaki berjinjit.
“Sudah aku bilang, kalau pendek ya jangan dipaksa.”
“Tapi tidak ada cara lain.”
“Ada.”
Ash menggendongnya lalu berputar di tempat seolah sedang bermain dengan anak kecil. Eva tersenyum kegirangan dibuatnya karena merasa ini menyenangkan sama seperti bermain di wahana permainan. Ash menyombongkan dirinya yang kuat dan mampu menggendong Eva tinggi-tinggi.
“Kamu memang tinggi tapi jangan sekali-kali meledekku pendek.” Eva masih tidak terima dengan sebutan itu.
“Apa boleh buat kalau kamu memang sependek itu.” Ash kembali mengejek sambil tertawa.
Setelah puas bermain, mereka pun beristirahat di sana. Tidak ada orang membuat mereka terlalu bebas tetapi hal seperti ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan berada di kerumunan. Selama tidak sendirian, keduanya merasa bahagia.
Mereka saling bergandengan tangan sembari melihat pemandangan musim gugur di tempat. Cahaya dari matahari menembus—melewati setiap celah di antara dahan-dahan yang membentang.
“Aku merasa ditipu.” Kadangkala Ash suka melantur sama seperti saat ini. Eva menatapnya cemas dan bingung dengan maksud pernyataan Ash barusan tapi suaminya malah hanya menjawab itu bukanlah apa-apa lalu tersenyum seperti biasa.
“Rambutmu memutih seperti orang tua saja.”
“Sedangkan kamu, bibirmu gelap. Apa kamu belum berhenti melakukan kebiasaan burukmu?”
“Ini karena perubahan fisik. Percayalah.”
“Rupanya kamu tidak menyangkal tentang kebiasaan burukmu. Ingat, meski hanya sebatang atau dua batang, benda itu tetap merusak tubuhmu.”
Ash kembali tertawa, berpikir ini lucu karena apa pun tidak bisa menyakitinya lagi. Tubuh Ash sudah sepenuhnya menjadi monster sama seperti Daniel yang tetap mempertahankan kesadaran manusianya.
“Oh, aku baru ingat.” Tentang Daniel, sepertinya bukan dia pelaku kejahatan yang menyerang sekeluarga saat tengah malam di kota Angin. Daniel sendiri bersaksi ada monster lain yang melakukannya tapi dia sudah menghabisinya lalu magus membakar tubuh itu hingga menjadi abu.
Eva bertanya, “Kamu percaya dengan perkataan mereka?”
“Kamu sendiri ingin berterima kasih pada mereka karena telah menolongku 'kan?”
“Iya. Aku tahu mereka tidak punya niat jahat. Aku yakin kamu juga tahu bahwa aku bisa meramal.”
Ash menganggukkan kepala secara perlahan.
Tampaknya tidak ada rahasia lagi di antara mereka. Karena ikatan yang terjalin dari sebuah darah, mereka dapat saling memahami dan terhubung seperti saat ini. Sangat berbeda jauh dari nasibnya di masa lalu.
Mengingat tidak ada tembok yang menghalangi. Rahasia terbongkar namun tetap membisu. Kenangan terindah yang dibuat dalam satu malam adalah tanda perpisahan bagi mereka. Ash sendiri tidak menyadarinya melainkan hanya bisa menduga bahwa sesaat lagi akan ada sesuatu yang terjadi.
Ash berniat mempertanyakan keraguannya kala itu tapi Eva hanya menjawab ini hanya sekadar kebangkitannya sebagai seorang penyihir utuh. Identitasnya di masa lalu telah kembali padanya, kekuatan sihir dan semua memori ingatan yang sempat terkunci telah terbuka semuanya.
“Saat pernikahan kamu berjanji akan selalu melindungi dan terus menemaniku setiap saat. Kamu merelakan semua hal demi diriku yang tidak berguna ini. Apa kamu menyesal?”
“Mana mungkin aku menyesal,” sangkal Ash seraya menggenggam tangan istrinya kembali.
“Selama kamu hidup aku akan tetap hidup. Jika kamu mati maka aku pun—” Kalimatnya terhenti begitu Eva membungkam mulut pria ini. Wanita itu tidak ingin mendengar kata-kata yang terdengar seperti kutukan.
Eva memintanya agar menarik perkataan itu agar dirinya pun bisa tenang. Ash mengerutkan kening—dalam kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa, lelaki yang berwujud setengah monster itu menyentuh pelipis istrinya dengan penuh kelembutan. Pupil merah menciut, tatapan sendu dan sudut bibir yang turun memperlihatkan kesedihan Ash yang sama sekali tidak bisa disembunyikan di hadapan istrinya sendiri.
“Kata-katamu barusan berbeda dengan janji. Itu hanya sebuah kutukan dan aku tidak ingin mendengarnya.” Eva memintanya dengan sorot mata yang penuh dengan rasa khawatir.
“Kalau begitu kamu juga.” Entah firasat yang kuat atau memang sejak awal tahu bahwa Eva mungkin akan melakukan hal buruk yang membahayakan nyawa sendiri.
Eva menyangkal dengan mudah. Diluar dugaan dia bisa berjanji tidak akan membahayakan diri sendiri sehingga Ash bisa tenang. Namun hanya dengan kata-kata saja itu tidak bisa dibuktikan. Ash justru merasa kejanggalan yang dirasakannya semakin kuat.
Eva berdiri di hadapannya sambil menunjukkan ekspresi bahagia. Selama beberapa jam mereka bersama, dia merasa cukup dengan semua sikap Ash kepadanya. Lalu dia berkata bahwa Eva sudah sangat puas selama ini. Seakan-akan ini sudah menjadi hari terakhir mereka bersama.
Pria bermata merah itu lantas mengulurkan tangan, berniat menggenggam tangan Eva lagi tapi mendadak jadi ragu entah kenapa.
“Ash—” Nama pria itu disebut dengan suara yang lemah lembut. Kepalanya menggeleng setelah merasa panggilan itu salah lalu kembali memanggilnya dengan sebutan, “Sayang, bersamamu adalah hari terindah bagi hidupku.”
“Ya, aku juga.” Ash menarik diri lalu beranjak dari sana. Tinggi Eva yang hanya di bawah pundak memudahkannya mengelus rambut putih itu.
“Selama ini aku cukup merepotkan dirimu. Tapi aku beruntung bisa bertemu denganmu.”
Sosok pria yang bernama Ash adalah pria yang pernah dia temui di masa lalu namun dia bukanlah pria yang menjadi pujaan hatinya melainkan hanya orang sekedar lewat dan kebetulan bertemu lalu saling menyapa. Hanya orang biasa yang tidak punya rumah, pria itu juga terkadang suka menghibur kala saat Eva merasa sedih. Dan di masa sekarang dia telah menjadi istrinya.
“Kalau begitu lupakan diriku, Ash. Selamat tinggal,” gumam Eva.