Dalam waktu sehari Eva kembali pulih. Bukan hanya karena beristirahat melainkan karena sihir yang telah bangkit. Sebentar lagi hari kebangkitannya pun akan tiba.
Eva menepuk-nepuk pundak lalu mengelus ujung rambut gadis itu dengan sangat perlahan. Sama-sama memiliki rambut hitam membuat Eva merasa gadis ini seperti anaknya sendiri. Teringat akan janji Ash kepadanya yang sekarang sudah seperti debu, Eva kembali larut dalam masa lalu.
Gadis itu memanggil Eva dengan sebutan kakak, lantas menyingkirkan tangan Eva dari atas kepalanya. Sesaat Eva pun tersadar. Kala itu kota Salju hampir terlihat seperti perkotaan sungguhan, gadis ini—Delia membawanya pergi berjalan-jalan agar raut wajah Eva tidak lagi murung seperti sebelumnya.
“Kakak, kota ini mungkin terlihat sepi tapi percayalah sebenarnya di sini cukup ramai dan ada banyak hal yang bisa aku tunjukkan di sini.”
Delia yang baru berusia belasan tahun itu berlari sambil membawa Eva pergi dengan menggandeng tangannya. Tumpukan salju di sekitar tidak setebal pada malam itu, jalan yang rata membuat mereka mudah bergerak bahkan berlari.
Menemui beberapa penduduk di sekitar yang mulai beraktivitas. Berbagai dagangan di atas meja atau dalam gerobak terlihat tidak biasa. Makanan hangat atau beku bahkan yang segar seperti ikan pun ada. Banyak macam-macam dagangan makanan yang berada di tempat ini namun Delia berkata ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan air mancur.
Eva merasa apa yang dibicarakan oleh Delia hanyalah air mancur biasa. Sepertinya tidak ada hal khusus apa pun, tetapi karena Delia ingin sekali menunjukkannya maka Eva pun hanya bisa menuruti.
Sampailah di suatu tempat jalanan berbentuk bundar dengan air mancur yang berada di tengah. Persis kata Delia bahwa air mancur ini tidaklah biasa lantaran bukan hanya air saja yang akan muncul melainkan juga api, bunga atau bahkan cahaya.
“Efek apa yang mereka gunakan sampai terlihat asli begitu?” tanya Eva.
“Kakak jangan bercanda. Ini bukan soal efek seperti yang ada di film melainkan nyata. Coba lihat dari dekat saja.”
Setiap ke mana langkah Eva pergi, maka bayangan sosok Ash akan selalu muncul seakan sedang menemaninya. Bahkan berinteraksi layaknya hidup, nyata dan ada di sini. Bersamanya. Sedikit senyum terukir di wajah mungil itu saat berjalan menghampiri air mancur. Setiap beberapa detik air mancur akan mengeluarkan air, api, dan cahaya secara bergantian. Kadang kala berhenti di waktu-waktu tertentu sampai airnya muncul lagi.
“Berkat penyihir di masa lampau, kami bisa melihat pemandangan ini yang juga seindah badai salju.”
“Kamu berpikir badai salju itu indah?”
“Iya karena dia adalah ibuku.”
Tidak ada rasa sedih justru kebahagiaan terpancar di wajahnya yang cerah. Anak gadis ini mengatakan hal itu dengan mudah seolah ini adalah hal biasa. Namun Eva tidak bisa, tentu sangat aneh jika menganggap badai salju adalah ibunya sendiri.
“Delia, kamu ...,” Belum sempat dia menyelesaikan kalimat, rasa sakit di bagian kepala menyerangnya. Seperti ribuan jarum menusuk ubun-ubun, pusingnya hampir membuat Eva nyaris tumbang.
Delia bergegas menuntun Eva ke sekitar lalu duduk di sana. Dia tidak begitu paham apa yang terjadi pada wanita muda ini namun dia tidak bisa jika hanya diam saja lalu memutuskan pergi untuk mencari bantuan dari orang dewasa. Setelah beberapa saat ada salah seorang wanita tua yang datang namun dia hanya sekadar menatap Eva.
“Nenek, cepat bantu kak Eva. Dia kesakitan, aku takut jika terjadi sesuatu lagi padanya,” ucap Delia memohon.
Wanita tua itu menggelengkan kepala yang menandakan dia menolak. Dia bahkan hanya sekali menatap Eva seolah merasa enggan jika terus bertatapan. Delia menanyakan alasannya dan dia pun menjawab dengan lugas sambil tersenyum.
“Aku tidak menyangka akan bertemu dengan seorang penyihir. Dia pasti akan pulih sendiri karena mengobatinya pun percuma,” jelas si nenek.
Delia terkejut lantas tersenyum girang sambil memuji Eva hebat. Dia sangat mengagumi yang namanya penyihir sehingga kebahagiaan itu sudah tak dapat terbendung lagi. Delia mengoceh sepanjang waktu, tatapannya yang berbinar-binar itu sedang memohon pada Eva agar dapat menunjukkan sihirnya.
Sementara Eva dilanda panik dan takut. Orang biasa ini menyadari jati diri Eva namun dengan reaksi yang berbeda jauh dari bayangannya. Eva kira dia akan dicaci-maki tapi nyatanya dia dikagumi. Jika mengingat cerita Delia sebelumnya maka sikap mereka padanya ini cukup masuk akal.
Air mancur disertai beberapa elemen sihir, kota Salju yang terlihat tidak akan pernah mencair, lalu badai salju yang dianggap oleh Delia sebagai ibunya. Dari semua hal itu Eva dapat menarik kesimpulan bahwa kota ini bukanlah kota biasa melainkan kota yang menerima keberadaan penyihir dengan baik.
Eva mengangkat tangan kanan dan melihat simbol hidup di bagian telapak tangannya itu. Tersentak akan fakta di depan mata, Eva mulai tidak bisa mengendalikan napasnya, sesak bahkan sulit bicara.
“Kakak? Kakak kenapa?”
Suara Delia yang terus memanggil tidak membuatnya kembali, Eva dilanda kecemasan tak terukur hingga sulit mengendalikan diri. Setetes darah mengalir keluar dari lubang hidung, jatuh ke atas telapak tangannya yang memiliki simbol kemudian merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
“Seharusnya aku sudah mengendalikannya. Apa karena sihir?” pikir Eva.
“Wah, wah, kau cukup kuat menahannya ya. Tidak kusangka kau begitu kuat, Eva.” Sosok Penyihir yang sama lagi-lagi muncul hanya untuk mendesak Eva.
Dia yang sekarang memiliki wajah meskipun hanya samar-samar terlihat itu lantas tertawa kencang saat tahu penyihir kecil ini sudah membangkitkan sihirnya.
“Kenapa kamu lagi?!” bentak Eva penuh amarah.
Sesekali dia menghela napas, sesekali dia menggelengkan kepala guna menghindari delusi tak berguna. Bayangan yang selalu muncul dari dalam kepalanya membuat Eva terus berjuang. Suaranya yang lirih menjadi serak, situasi hari ini cukup buruk.
“Kakak, aku akan panggilkan paman itu ya? Kakak tunggu sebentar di sini.”
Mendengar Delia akan membawa Agus kemari, dia pun lekas pergi dari sana. Entah ke mana tapi yang terpenting adalah tidak berjumpa dengan mahluk sesamanya. Baginya terlalu beresiko jika bertemu dengan Agus sekarang karena dia adalah orang yang paling senang dengan berita ini.
Sekitar 2 atau bahkan sepekan lagi hingga hari itu tiba namun jejak Ash di kota ini sama sekali tidak ditemukan dan sekarang waktunya sudah semakin sedikit. Percikan api muncul di kedua pundaknya lalu memori lain sempat terlintas dalam benak.
“Memori siapa ini?” Eva bertanya-tanya dengan terus menahan rasa sakit di bagian kepala. Dia bingung dengan kondisinya sekarang yang mendadak mengalami perubahan secara fisik bahkan memori seseorang merasuk ke dalamnya.
Pernah sekali dia berpikir bahwa Agus membawanya ke sini dengan maksud agar kekuatan penyihir bangkit. Kalau benar begitu maka perkataannya yang mengungkapkan bahwa Ash berada di sini adalah kebohongan semata. Amarah jadi sulit diredam berkat kebohongan Agus padanya.
“Aku harus bertahan. Aku harus secepatnya mengendalikan sihir ini.”
Angin berembus, dingin menusuk kulit yang tipis dan rentan. Langkah yang melambat terjebak dalam kubangan es, air dingin mengalir dan membekukan kakinya lalu terjatuh. Tubuhnya mulai membeku. Hanya dengan memperhatikan sekitar di mana semua orang berjalan begitu lambat seolah tak bergerak, awan berhenti, aliran air mancur terlihat hanya beberapa tetes, ini lebih terlihat seolah aliran waktu sepenuhnya berhenti.
Sosok wanita berambut lurus panjang berjalan tanpa alas kaki di atas permukaan es yang tipis. Setelah beberapa saat dia mulai meluncur dan menari seperti sedang berada di atas panggung dan memperlihatkan bakatnya di sebuah pertunjukkan.
Kepingan es dan salju berjatuhan di atasnya, tangan yang lihai dan kaki yang jenjang bergerak seiras ke arah yang sama. Lekuk wajah indah dan lesung di pipinya membentuk saat dia tersenyum. Tak lama kemudian dia berputar di satu tempat dengan kecepatan konstan hingga membuat kuncir rambutnya lepas dan tergerai bagai ekor merak.
Perlahan rambutnya yang hitam berubah menjadi putih seiras dengan warna gaunnya. Seperti uban, seperti rambut para lansia. Bola matanya yang unik terlihat bercahaya menatap seseorang yang entah di mana.
Setelah tarian itu, dia kemudian menunjukkan berbagai elemen seperti air, api, tanah, cahaya, kegelapan, dan berbagai bentuk hasil dari gabungan sihir-sihir itu di kedua tangannya dengan bebas lalu melambaikan tangan saat berada di akhir pertunjukkan. Dan di telapak tangan wanita itu juga terdapat sebuah simbol.
Spontan Eva melihat ke arah telapak tangannya sendiri. Simbol itu berdetak seperti jantung, hidup seakan memiliki nyawa sendiri. Saat Eva kembali melihat ke depan dan berusaha untuk mencari tahu sesuatu tentang itu, dia sudah menghilang.
“Apa yang sedang aku lakukan barusan?”
Memori dalam ingatannya barusan tidak biasa. Wajah dari wanita yang Eva lihat sangat mirip dengannya. Begitu juga dengan simbol di telapak tangannya. Ingatan dari masa lampau mulai berbaur dengan Eva saat itu juga. Dia tahu ini sulit dipercaya tapi lebih sulit disangkal.
“Wanita itu bukan penyihir tanpa wajah. Tapi aku?”
Kubangan es yang merendam sekaligus membekukan kakinya perlahan memunculkan uap dan mulai panas. Berkat sihir api itu dia bisa lolos dari sana lalu melanjutkan perjalanan kembali. Namun nampaknya Eva mengalami delusi lagi, sosok Ash terlihat dari kejauhan. Meskipun tahu ini hanya ilusi belaka akan tetapi dia tetap berlari menghampiri.
“Ash!” seru Eva memanggil dengan penuh semangat sampai tidak sadar bahwa sebenarnya dia berlari ke arah tebing curam.
Beruntungnya Agus sudah menyusul dan menarik tubuh Eva begitu selangkah lagi dia akan terjatuh. Jika terlambat sedetik saja maka tamatlah riwayatnya. Sadar dari delusi yang dia ciptakan sendiri, Eva merenung seolah kecewa.
“Apa yang nona pikirkan sampai tidak sadar di sana hanya ada tebing?”
“Aku melihat Ash di sini.”
“Anda seharusnya tahu kalau itu hanya ilusi. Anda lah yang menciptakannya.”
“Aku?”
“Ya, bukankah nona sangat mencintai pria itu? Sudah cukup lama tidak bertemu dan nona mengharapkan dia ada di sini dan menemani nona. Sepanjang hari, sepanjang waktu.”
Sudah cukup lama Agus selalu berada di sisinya seperti penjaga sungguhan. Eva masih saja melirik sinis padanya begitu saling bertatap muka. Dia bukan hanya sekedar marah saja melainkan muak karena harus melihat wajah datar itu berulang kali. Agus pun sudah terbiasa dengan sikapnya.
“Aku memikirkan siapa itu bukan urusanmu, aku ingin ke mana juga tidak perlu kamu ikuti, aku ingin berbuat sesuatu pun kamu tidak berhak ikut campur. Dasar menjijikan.” Bersamaan dengan hinaan dalam setiap kalimat yang terucap lantang, warna rambut Eva perlahan memutih.
Tanda dari awal kebangkitan sebagai penyihir mulai nampak. Sihir serta memori masa lampaunya yang telah bangkit membuat Eva begitu percaya diri tuk menemukan jejak Ash. Dia berdiri berhadapan dengan seorang Magus dengan tatapan penuh benci namun aura gelapnya justru memudar. Dia benar-benar sudah mengendalikan emosi bahkan sihirnya juga.
Agus terdiam tanpa sepatah kata, hanya memandang dengan perasaan senang namun tidak ditunjukkan. Pikiran serta sihir dalam tubuhnya seolah bereaksi dengan darah penyihir yang berada di hadapannya saat ini.
“Kamu membawaku kemari bukan untuk menemukan suamiku melainkan untuk membuatku bangkit bukan?”
“Anda sudah tahu rupanya.”
“Tahu atau tidak apa untungnya bagimu? Lagi pula aku sudah tahu ada di mana Ash sekarang.”
“Nona tidak boleh—”
“Menyingkir dari hadapanku!” sahut Eva meninggikan suara, memotong kalimat Agus yang belum terselesaikan dengan sengaja.
“Apa kamu sadar jika aku bangkit maka kota ini akan hancur? Wabah darah akan keluar, muncul dari dalam tubuhku.”
“Seorang penyihir tidak memperdulikan siapa pun.”
“Lalu apa maksud para penyihir yang ingin membuat teror ini?”
“Karena manusia adalah makhluk perusak. Membiarkan mereka merusak garis keturunan sendiri itu merupakan hukuman yang paling ringan.”
Eva tertawa mendengar penjelasan barusan dan kemudian berpikir bahwa manusia ataupun penyihir tidak berbeda jauh. Mereka sama-sama hanya memikirkan keuntungan sendiri.
“Omong kosong.”
“Nona bermaksud mengakhiri hidup?”
“Jelas saja aku akan begitu. Aku tidak mau orang-orang bahkan suamiku hancur di tanganku.”
“Saat sepenuhnya bangkit maka nona tidak akan mengingat perkataan itu lagi,” ucap Agus yang telah menjadikannya sebuah pengingat. Eva lantas berterima kasih atas peringatan itu, kelak dia akan mencegahnya sebelum kejadian.
Ke arah mana takdir bertempat, di situlah jalan terpijak. Bersama embusan angin di kota Salju, sosoknya yang sudah jauh berbeda dari hanya seorang gadis biasa menjadi seorang Penyihir Jiwa perlahan membentuk kepribadian lain sesuai kepribadian penyihir di masa lalu.
Setiap penyihir yang menguasai berbagai elemen dibedakan dengan kekuatan unik yang dimiliki. Lalu Eva merupakan jiwa dari penyihir masa lampau, Penyihir Jiwa atau biasa disebut necromancer.
Dalam ingatan masa lalunya dia memang memiliki semua elemen sihir dalam tubuhnya tetapi dia tidak menyangka bahwa elemen cahaya juga ada. Sedangkan dirinya adalah penyihir jiwa yang mampu mengendalikan mayat-mayat hidup.
“Meskipun ada tapi sangat sedikit. Padahal kupikir penyihir gelap tidak punya unsur cahaya sama sekali.” Eva melangkah pergi, menggenggam simbol di tangannya. Arah tujuan saat ini menuju ke arah timur.
Delia beserta Ayahnya kembali muncul, mereka masih mengira bahwa Eva sedang kesakitan. Saat mereka bertanya karena benar-benar sangat khawatir, Eva hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman manis.
Tak lama Agus berlari menghampirinya.
Mengabaikan keberadaan ayah dan anak yang dia kenal, Agus pergi menyusul Eva dengan ekspresi senang yang terukir di wajah pria berambut pirang itu.
“Ayah, kenapa kak Eva terlihat berbeda dari sebelumnya?” tanya Delia.
Kemudian sang ayah menjawab, “Dia sama seperti ibumu tapi sedikit berbeda.”
“Aku tidak paham, ayah. Coba jelaskan lagi.”
“Soal ini kamu tidak perlu tahu.”
Ayahnya menolak menjelaskan perihal kejadian itu karena merasa akan lebih baik jika tidak mengetahuinya lebih lanjut.