Sepanjang perjalanan desahan napas Eva semakin berat begitu juga dengan langkahnya. Aura kegelapan mulai menyeruak keluar dan mengaburkan pandangannya sedikit demi sedikit hingga menjadi kegelapan total. Eva sangat terkejut, dia ingin berteriak namun tidak bisa bahkan bergerak selangkah saja tidak terasa seakan tidak memiliki fisik yang utuh.
Eva terus bergumam, mempertanyakan keberadaannya sendiri yang seolah hilang ditelan kegelapan. Sesosok penyihir tanpa wajah kini mulai memperlihatkan seringai yang lebar dan mulai berbisik pelan di telinganya.
“Kau ingin ikut denganku?” Lagi-lagi kalimat yang sama, penyihir itu kembali mengundangnya selagi mendorong kesadaran Eva kembali ke tepian jurang secara perlahan-lahan.
Namun, semua hal itu berubah seakan seseorang menariknya jauh dari tepian. Dalam hitungan detik Eva kembali membuka mata. Penyihir kecil itu kini mulai merasakan darah seorang penyihir sudah hampir memenuhi isi kepalanya. Dunia hitam putih sudah sirna, aura kegelapan mendadak hilang tanpa rasa. Keseluruhan indera menguat dan membuatnya merasakan semua hal secara intens namun menyakitkan.
Dengan sangat erat Eva menutup telinga dengan kedua tangannya dan memejamkan mata. Dia tetap berada di posisinya sampai bisa mengendalikan semua yang didengar, dilihat, dan yang dirasakan serta penciumannya. Terlebih berada di kerumunan membuatnya semakin susah. Secepatnya dia pergi dari sana dan menuju ke toilet umum yang berada puluhan langkah dari sana.
Berharap tidak ada siapa pun tapi ternyata tidak, toilet ini bahkan tidak sepi. Cukup ramai orang masuk keluar hampir setiap detiknya. Kesal, Eva memukul keramik di dinding dengan keras demi meluapkan emosi. Wajah marah yang terpampang jelas di cermin seolah sedang mengejek.
“Menjengkelkan! Kenapa aku harus merasakan ini semua!?” pekik Eva.
“Kamu harus lebih tenang jika tidak mau di luar kendali.” Tiba-tiba seseorang menyahuti.
“Siapa?!” Amarahnya justru meningkat, Eva mencari ke sekitar terkait siapa yang barusan menyahut omongannya.
Beberapa orang terkejut mendengar teriakannya dan tak satupun dari mereka yang berani menjawab bahkan ada yang berpura-pura tidak mendengar lalu pergi begitu saja. Sadar tidak ada siapa pun yang mungkin menyahut, Eva kembali menatap cermin lalu tertawa.
“Ternyata itu kamu?”
Sosok yang tercermin itulah yang barusan menyahut. Dia adalah sosok lain Eva atau biasa disebut alter ego.
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa selama ini kamu tidak muncul?”
“Kamu ingin aku muncul? Tapi lihat kondisimu sekarang seperti apa,” sindirnya.
Eva menggigit bibir bawahnya lalu mendecakkan lidah—jengkel mendengar ucapan sosok lain itu, dia bahkan menatapnya sinis. Berbeda dengan ekspresi Eva saat ini, sosok lainnya justru menertawakannya. Dia menghina Eva yang juga dirinya sendiri dan mengatakan bahwa darah penyihir sudah mulai mengubah temperamennya.
“Aku muncul karena kamu mulai di luar kendali, kau harus tahu itu! Kemudian masalah tentang Ash yang hilang, sepertinya tidak akan ada keajaiban yang mungkin terjadi. Pria itu mungkin sudah mati.”
“Omong kosong! Berhenti mengatakan seolah-olah dia tidak akan kembali!” pekik Eva.
Suaranya yang lantang membuat semua orang dalam toilet mendengarkan. Kasak-kusuk di antara beberapa orang tengah bergosip dan merasa kasihan pada wanita yang berbicara sendiri sambil berhadapan dengan kaca di sana.
Adapun sosok lain Eva memperingatkan jika tidak mengendalikan emosi maka kekuatan penyihir akan benar-benar mengendalikan Eva. Sosok itu takut jika dia di luar kendali maka tak seorang pun bisa menghentikannya. Situasi terburuknya adalah wabah darah mungkin akan kembali terjadi.
“Dengarkan aku, stabilkan emosimu.”
Disaat alter ego Eva terus memberinya peringatan untuk tetap mengendalikan emosi agar hatinya jauh lebih tenang, di sisi lain muncul sosok penyihir wanita tanpa wajah yang perlahan-lahan mulai membentuk mata dan hidung—dia merangkul pundak sang penyihir kecil dan menghasutnya dengan bisikan-bisikan untuk tidak mendengar ucapan selain dirinya.
“Lebih baik dengarkan perkataanku. Itu jauh lebih baik dibandingkan mendengarkan dia. Lagi pula dia hanya sisi burukmu, bukankah bagus jika kau melenyapkannya?” Penyihir wanita memiliki wajah yang amat rupawan, begitu elok nan sempurnanya seperti seorang putri bangsawan. Berbeda dengan rupanya, hatinya sangatlah busuk.
Eva berdiri kikuk dengan pandangan yang kian meredup, pikirannya dipenuhi dengan suara banyak orang namun suara paling berisik saat ini adalah suara cermin yang berada di hadapannya. Eva mengulurkan tangan persis seperti yang diminta oleh sang penyihir, nampak seringai lebar di wajah adalah bentuk kepuasan sang penyihir yang merasa telah berhasil menghasut Eva.
“Begitu kamu menyentuhnya maka lenyaplah dia. Jadi tidak perlu ragu lagi, ayo, cepat, lakukanlah!”
Penyihir wanita itu tampak sangat girang dan mulai tidak sabar agar Eva menjadi penyihir sungguhan. Raga Eva mungkin akan direnggut olehnya tetapi itu tidak akan terjadi begitu Eva diam dengan mata terpejam kuat.
“Hei, buka matamu dan lenyapkan dia!”
“Jangan pengaruhi aku. Kamu sudah lama mati, jadi kamu tidak berhak ikut campur,” sahut Eva yang mulai tenang.
Sedikit yang dia pahami mengenai kemunculan penyihir itu tidak lain karena waktu bagi Eva sudah tidak lama lagi. Eva yang sudah ditakdirkan sebagai penyihir sedang terombang-ambing, pikirannya mungkin sudah tenang tapi hatinya tetap merasa gelisah karena mengingat hilangnya suami sehingga sosok penyihir yang merupakan delusinya muncul.
Hubungan mereka baru saja dirajut pelan namun semua berubah begitu tertimpa musibah. Sosok Yang Kuasa mungkin merestui pernikahannya tapi juga memisahkannya terlalu cepat. Waktu yang tidak cukup tuk membuat kenangan, Eva terus termenung di hadapan cermin sembari membayangkan wajah Ash agar terus teringat sepanjang waktu.
Langit terlihat gelap, sudah waktunya untuk pergi.
Beberapa langkah keluar dari toilet umum, Eva menghentikan langkahnya begitu berhadapan dengan sosok pria berkacamata hitam. Senyum terukir di wajah Eva yang terlihat sangat bahagia tapi senyum itu tidak bertahan lama, kebahagiaan pun pupus dalam sekejap mata. Orang yang dilihatnya sekarang bukanlah pria yang amat dia rindukan melainkan orang asing.
Namun Eva seperti ingin berpikir bahwa dia adalah Ash. Eva kemudian mengulurkan tangan karena ingin menyentuh wajah dan kacamata itu sebentar namun pria berambut pirang itu lebih dulu menangkap tangannya. Seketika Eva kembali dalam realita.
“Anda sudah menikahi seseorang yang bernama Ash. Pria itu menghilang di waktu tengah malam saat sedang bekerja. Apa Nona Penyihir ingin mencarinya seharian?”
Eva berpaling seraya menarik tangan dari genggamannya dengan kasar. Tanpa menjawab pertanyaan barusan, dia melangkah pergi dan melewatinya begitu saja. Magus bernama Bien, lelaki asing yang berasal dari negeri luar itu kemudian setengah berlari mengejar Eva.
“Nona tidak bisa mencarinya sendirian. Biarkan saya membantu.”
“Membantu dengan apa?”
“Sihir.”
Magus itu kemudian menunjukkan sedikit sihir api dari telapak tangannya, dia berharap Eva bisa mengandalkan dirinya setiap saat serta mendapatkan kepercayaan penuh meski pada akhirnya Eva mengabaikan dia karena benci.
Pada awalnya darah penyihir dalam dirinya tidak begitu kuat namun semenjak bertemu dengan pria yang mengaku sebagai Magus atau penyihir laki-laki, Eva merasakan waktunya tidak lama lagi. Kehadiran Bien membuat darah dalam nadi terus bergejolak, hampir setiap saat pikirannya mulai kacau tanpa sebab.
Bien mengaku sebagai Magus yang diperintahkan untuk menemani keturunan penyihir. Tidak lain dan tidak bukan adalah Eva seorang. Eva menolak jika pria ini terus menemaninya, selain karena tidak etis, pria ini juga membawanya ke dalam mimpi buruk.
***
Salah satu jalan dari puluhan jalan bercabang dalam kota mereka lewati, saat berjalan di turunan jalan Eva dengan sengaja mempercepat langkahnya dan memanfaatkan keramaian serta kendaraan yang berlalu-lalang lalu segera menyeberang jalan. Dia kembali berencana untuk menghindari Agus tetapi sayangnya dalam sekejap mata dia sudah menyusul, entah cara apa yang dia gunakan sehingga begitu cepat menghampirinya. Bahkan langkah kakinya jauh lebih lebar itu merupakan sebuah keuntungan tersendiri.
“Menyingkir dari hadapanku. Jangan mengikuti aku. Aku bisa jalan sendiri dan tidak akan ada seseorang yang berani menyakitiku,” celoteh Eva.
“Bagaimana jika monster-monster itu datang?”
Eva berdeham, bingung dengan maksud pertanyaannya. Sesaat dia tertawa lirih kemudian berkata, “Kalau dulu mungkin aku masih diserang oleh mereka tapi sekarang tidak lagi.”
“Kenapa nona begitu yakin?” Agus bertanya.
“Karena aku tidak bisa mengendalikan mereka, itulah mengapa monster mengincarku. Dan karena darah penyihir ini juga tapi sekarang situasinya sudah agak berbeda.”
Agus terdiam sejenak dan berpikir mungkin memang itu yang terjadi. Lantas dia mendekat sedikit padanya dan berbisik akan sesuatu yang seolah pembicaraan selanjutnya adalah rahasia.
“Kalau begitu awalnya nona hanya bisa mengendalikan pria itu saja?” celetuk Agus.
Magus kurang ajar ini dengan berani-beraninya menyebut suami Eva dengan sebutan "pria itu", membuat Eva sedikit geram. Lalu hal yang paling membuatnya geram adalah saat orang itu mengatakan bahwa Eva mengendalikan suami sendiri.
“Perhatikan cara bicaramu yang tidak sopan itu. Agus, aku tidak pernah menginginkan pengawalan atau semacamnya. Kamu juga tidak berhak mengharapkan apa pun dariku.”
“Tapi saya ingin membantu.”
“Sudahlah. Lagi pula waktuku tidak banyak lagi.”
“Apa maksudnya itu?”
“Aku mati ...aku akan mati,” ucapnya dua kali. Dia sengaja mengulang kalimatnya agar dapat memperjelas hal ini dengan baik pada Agus.
Kalimat terucap dengan gampang seakan hati Eva sudah lama menerimanya. Namun meskipun begitu dia bukan akan benar-benar tiada secara harfiah sebab itu bukanlah takdirnya. Dia berkata seperti itu karena tahu jika suatu saat nanti dia bangkit maka wabah darah akan muncul melalui dirinya dan Eva tentu saja tidak mau itu terjadi. Kematian adalah jalan pintas untuknya agar tidak merugikan banyak orang.
Agus sadar apa maksud kalimat Eva barusan, dia pun bergegas mengejarnya kembali dan menahan langkah Eva dengan sengaja. Dia berdiri tepat di hadapannya sambil berwajah datar lalu bertanya kenapa penyihir seperti Eva mau bekorban untuk para manusia.
“Apa alasannya?”
Mendengar pertanyaan aneh itu, Eva tertawa. Dia benar-benar tertawa karena merasa pertanyaannya sangat lucu.
“Karena aku manusia,” jawab Eva kemudian.
Wajah datar itu mendadak terdapat perubahan, kedua alis Agus tampak seolah menyatu dengan kening yang berkerut. Pupil matanya melebar karena kaget dan sudut bibirnya bergerak sedikit seolah ingin tertawa tapi dia menahannya.
Agus tidak bermaksud ingin mengejek dengan tawa yang selalu ditahannya hingga saat ini. Namun dia merasa terhibur sesaat karena sikap Eva yang berbeda dibandingkan penyihir lain yang dulu pernah dia temui.
***
Eva yang sudah muak pun akhirnya mengabaikan dia dan tak lagi bicara sepatah kata. Dia berniat untuk pulang saja hari ini. Sebenarnya dia ingin mencari keberadaan Ash, tapi tidak tahu harus memulainya dari mana sementara dia harus berjaga-jaga terhadap gejolak kekuatan berupa sihir dalam tubuhnya itu.
"Semakin hari semakin sakit," batin Eva.
Eva mengunci pintu rapat-rapat begitu sampai di rumah. Melarangnya masuk ke dalam bahkan mengunci setiap jendela yang ada hingga menutup tirainya seakan-akan rumah akan ditinggal. Eva sejenak menghela napas sembari bersandar ke pintu lantas menatap setiap CCTV yang berada di setiap sudut dalam rumah ini.
“Dia memasangnya terlalu banyak, sedangkan yang ada di luar cuman ada satu.”
Kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dengan jalan sempoyongan. Sakit di bagian dada seolah terbakar bara api dan kakinya kebas karena telah lama berjalan. Gerak bibir dan wajahnya jadi kaku di waktu tertentu membuat Eva semakin tidak tenang untuk beristirahat.
Matahari semakin tenggelam, tanda malam akan tiba tak lama lagi namun seseorang mencoba untuk menghubunginya pada saat itu. Eva merasa enggan mengangkat tapi tertera nama kakak iparnya di sana yang sedang menunggu panggilan diangkat.
Eva tidak sanggup mengangkat panggilannya, dia merasa tidak memiliki muka bahkan untuk mengobrol saja rasanya tidak mungkin. Eva hanya bingung bagaimana cara menjelaskan perihal hilangnya Ash.
Akibat lelah secara fisik dan batin, Eva pun tertidur pulas. Nada dering dan bergetarnya ponsel tidak mengganggu justru dia semakin terlelap. Mendambakan sekaligus merindukan sang suami hingga membuatnya bermimpi dengan bertemu dengan Ash. Tidak terbayang bila ini nyata, raut wajah serta tangis bahagia itu telah membuktikan seberapa besar kerinduan serta rasa khawatirnya.
Eva berlari ke dalam pelukannya dan mengatakan semua hal yang telah dialaminya semenjak dia menghilang. Dia mengeluh lalu merasa bersyukur karena bisa bertemu dengannya dan berharap Ash tidak akan meninggalkannya lagi. Kedua tangan kecil yang sedang memeluk tubuh kekar itu gemetar namun Ash hanya sekadar tersenyum sembari membalas pelukan itu.
“Ash, kembalilah padaku. Jangan tinggalkan aku. Aku takut.”
Suara dan isak tangis Eva menggema dalam ruangan, tidak ada satu pun suara selain dirinya sendiri bahkan Ash tidak mengatakan apa pun selain bersikap sama seperti biasanya.