Lima hari perjalanan, dua hari menginap di rumah lama. Berziarah sudah dilakukan dan pasutri itu berencana untuk secepatnya pulang namun sebuah panggilan mendesak membangunkan mereka di tengah malam. Malam yang sudah begitu larut pun membuat mereka resah dan benar saja kasus lah yang memanggil Petugas Ash. Sebagai penyidik rahasia tentu dia mendapatkan panggilan di saat seperti ini yang itu berarti telah melibatkan kasus wabah darah.
“Bawahanmu juga ada di sini?”
“Tidak. Yang menghubungiku itu adalah kenalanku. Dia juga bertugas untuk kasus wabah darah bersama tim medis.”
“Itu berarti seseorang ...,”
“Mereka semua masih hidup. Lebih tepatnya sekarat karena monster menyerang mereka. Bukan wabah darah, tenang saja.”
Ash memeluknya, menenangkan Eva yang takut bila wabah darah kembali terjadi.
“Penyihir sudah mati dan kamu hanyalah orang yang selamat dari bencana. Jadi mana mungkin wabah darah kembali muncul. Semua sudah tahu hal ini,” jelas Ash.
Eva menganggukkan kepala, mengerti penjelasannya yang juga menghibur Eva sedikit. Namun perasaan tidak nyaman, firasat tidak enak ini masih dirasakan olehnya. Eva pun meraih tangan Ash sebelum dia pergi, dia enggan jika Ash tiba-tiba meninggalkannya sendirian dalam rumah.
“Aku berjanji akan melindungimu. Tapi sekarang aku ada urusan mendesak.”
“Tapi kamu juga sudah berjanji tidak akan pernah meninggalkanku!” sentak Eva. Cengkeramannya semakin kuat.
“Aku akan menyuruh seseorang menemanimu. Aku juga akan memantau lewat kamera setiap saat,” katanya seraya menunjuk ke arah CCTV di setiap sudut dalam rumah.
Dengan berat hati Eva melepaskan genggaman tangannya. Dia percaya Ash akan kembali dengan cepat meskipun dia tidak mengatakannya. Perasaan resah dalam hati membuat Eva berpikir ada hal lain mengenai kejadian ini. Waktunya terlalu pas entah ini kebetulan atau sengaja.
Sama seperti Eva, Ash pun sangat tidak tega meninggalkannya sendiri bahkan saat ini sudah larut malam. Namun tugas mendesak tidak mengenal waktu, dia harus bersiap apa pun yang terjadi selama rekannya membutuhkan bantuan.
Eva mengharapkan yang terbaik untuk segala urusan Ash. Berdoa dengan khidmat agar semuanya berjalan lancar dan suaminya bisa pulang dengan selamat. Dia mengabaikan pemikiran buruk serta aura gelap yang berada di sekitar tubuh Ash karena berpikir delusinya kembali muncul.
“Aku akan pergi dulu. Mungkin ini tidak akan lama.”
“Pembohong. Mana ada kasus yang bisa diselesaikan cepat.”
Ash tidak menjawab lantas pergi meninggalkannya. Selang beberapa saat dia kembali datang hanya untuk mengecup dahi Eva baru pergi lagi. Tak lama kemudian dua orang wanita yang dikirim Ash telah datang, mereka akan menemaninya.
“Sebenarnya jabatan Ash apa sampai dia bisa mengirimkan seseorang untuk menemaniku? Aku yakin kalian juga bukan sekadar wanita biasa,” pikir Eva.
Kedua wanita itu tersenyum senang lantas menanggapi ini adalah hal biasa. Mereka menyuruhnya untuk bersikap tenang sebab mereka bukanlah dari sesuatu yang dikhawatirkan oleh seorang istri terhadap suaminya. Mereka bilang mereka adalah rekan kerja Ash yang sudah lama mengenalnya.
“Ternyata dia memang mengenal banyak wanita. Aku heran kenapa banyak sekali yang meliriknya,” gerutu Eva.
“Nyonya tenang saja kami tidak ada niat mengambil suami seseorang. Kami hanya bertugas lagi pula ini cukup sederhana.”
“Maaf saja kalau aku tersinggung dan kesal. Hanya saja Ash selalu seperti ini.”
“Maksud Anda?”
“Ash mengatakannya setengah-setengah. Dia juga cuman bilang kalau dia itu ketua penyidik tapi dia tidak cerita kalau rekan kerjanya itu wanita.”
Kedua wanita itu menahan gelak tawa, melihat reaksi imut dari Eva membuat mereka paham mengapa atasan mereka memilihnya.
Kemudian salah satu dari mereka pun menjelaskan, “Tidak semua rekan kerja beliau adalah wanita. Meskipun terbilang masih muda dengan menginjak usia 22 tahun menjabat sebagai ketua penyidik tapi beliau lebih terkenal di kalangan pria.”
“Kenapa begitu?”
“Karena dia orang yang kompeten dan sangat menyenangkan sehingga membuat semua orang merasa senang hanya dengan kehadirannya.”
Pesona Ash jauh dari yang dibayangkan oleh Eva. Selain di kalangan wanita, rupanya Ash juga terkenal menyenangkan di kalangan pria. Dia memang tiada lawan dibanding lelaki lain yang pernah Eva temui. Eva tersenyum saat mengingat kenangannya bersama Ash sewaktu bersenang-senang dulu.
“Iya. Sayangku memang orang yang seperti itu,” ucap Eva spontan sembari mengambil cangkir teh miliknya. Namun saat dia hendak meminumnya, cangkir teh itu tiba-tiba terjatuh ke lantai dan pecah.
Kedua wanita itu sangat terkejut, lekas mereka membantunya membersihkan pecahan cangkir serta air teh yang tumpah. Sementara Eva terdiam dengan gagang cangkir yang masih dipegangnya saat ini. Firasat buruk dalam hati semakin menjadi, perasaan tidak nyaman ini membuatnya teringat dengan kepergian Ash.
“Baru saja dia pergi belum lama tapi aku merasakan ada yang aneh.”
Eva mengendalikan pemikiran negatif meskipun sosok penyihir tanpa wajah terus menghantui hingga mendesaknya jatuh ke dalam jurang.
***
Sebelum kejadian buruk terjadi.
Malam itu Ash sudah berkumpul dengan rekan-rekannya dan mulai menginvestigasi tempat kejadian perkara setelah melihat keadaan korban melalui foto. Luka tidak wajar dari beberapa anggota tubuhnya, kulit dan daging dirobek kasar bahkan nyaris terlihat tulang putihnya. Terdapat juga beberapa luka bekas cakar yang diduga berasal dari kuku panjang para monster.
Salah satu rekan Ash bantu menyalakan api di ujung cig miliknya yang menggantung di langit-langit mulut. Menghisapnya pelan sembari mengamati satu persatu foto yang diserahkan padanya guna memastikan sesuatu hal lain.
“Kamu bercanda ya? Meskipun dinyatakan berakhir tapi kenyataannya kita tetap menyelidiki hal ini.”
“Selama wabah darah tidak terjadi maka kasus akan ditutup tapi jika muncul kembali maka kasus kembali dibuka.”
“Kamu juga tidak bisa seenaknya membuka-tutup kasus bukan? Nanti atasan bilang apa?”
“Selama kita berhenti menyelidiki itu sudah cukup. Lalu apakah ini wabah darah?”
“Tentu bukan tapi ini berkaitan dengan wabah darah.”
Ash berdeham sejenak lantas berkata, “Masuk akal juga.” Lalu menganggukkan kepala.
“Jadi kita akan bagaimana?”
“Telusuri jejaknya saja. Dia dengan cerobohnya meninggalkan jejak berdarah di tanah dan jalan, dilihat dari situ dia pasti belum jauh.”
“Kami sudah melakukannya tapi jejaknya berhenti di jalan buntu.”
Hanya ada sedikit laporan mengenai jejak penelusuran. Sebelum mendapat hasil dari jejak air liur di bagian luka korban, Ash memutuskan untuk pergi sendiri menuju ke jalan buntu itu. Beberapa rekannya ingin ikut tapi Ash meminta mereka untuk mencari apakah ada saksi sekaligus mencatat semua alibi dari para tetangga korban di sekitar.
“Jejaknya benar terputus di jalan buntu. Apa dia melompat ke atap rumah orang?”
Seseorang menyerang Ash dari belakang secara tiba-tiba. Gerakan tersembunyi tanpa suara bagai hantu membuat Ash tidak dapat bereaksi.
Jejak yang tertinggal jelas, meninggalkan korban yang terluka parah dengan luka cakar dan cabikan. Tempat kejadian perkara berada di rumah korban sendiri dan hingga sekarang pelaku belum dapat ditemukan. Di waktu dini hari dengan langit berbintang, angin sepoi-sepoi tidak membawa aroma apa pun sampai seseorang lain muncul.
“Aroma darah?”
Ash saat itu mulai sadar ada yang janggal di jalan buntu yang sudah tidak ada lagi jejak kaki berdarah. Menoleh ke belakang tidak membuatnya terhindar dari serangan tiba-tiba, sosok itu tertawa keras—menghina lelaki yang terluka parah di bagian dada akibat cakar monster.
“Kau adalah seorang monster, buat apa bersikap seperti manusia? Dasar munafik!”
Reaksi Ash kalah cepat dari serangannya, dia kesulitan berdiri dan nyaris tak sadarkan diri karena terlalu kehilangan banyak darah akibat serangan mendadak itu. Lukanya begitu dalam bahkan menekan luka hanya dengan tangan saja tidak akan cukup. Firasat buruk yang dirasakan oleh Eva benar-benar terjadi. Dan ini situasi yang sangat tidak menguntungkan.
Sosok monster berwujud manusia dengan kuku panjang dan bermata merah itu mengejek Ash yang nyaris pingsan di tempat. Dia menghinanya yang berpura-pura sebagai manusia dan kesal karena kemunafikan Ash.
Keesokan harinya Ash dinyatakan telah menghilang. Semua rekan sudah mencari di berbagai tempat yang mungkin dikunjungi namun berujung tanpa hasil. Kekhawatiran Eva kini bukan lagi tanpa sebab karena nyatanya kejadian buruk telah menimpa Ash yang sedang bekerja. Takdir memang tidak bisa dihindari namun dia berandai-andai jika menahannya untuk tidak pergi saat itu maka kejadian ini tidak akan pernah terjadi.
Eva terduduk lemas di lantai, memandang langit dengan membayangkan wajah Ash, dia mempertanyakan janji sang suami yang pernah dikatakan pada sebelum maupun saat pernikahan. Air mata mengalir di pelipisnya, degup jantung tidak beraturan, dan aura kegelapan mulai menunjukkan sosok penyihir tanpa wajah.
Sosok itu berbisik, memojokkan dirinya. Begitu aura gelap semakin pekat dari luar memasuki hatinya yang berlubang, Eva terdiam dengan tatapan kosong. Kehadiran sosok penyihir yang memang seharusnya tidak ada mendadak muncul karena rasa cemas sehingga pertahanan dalam tubuh Eva rapuh seperti tanah basah.
Kedua wanita yang sampai saat ini masih menemani Eva tidak bisa berbuat apa-apa. Eva sudah menyuruh mereka untuk meninggalkan tempat ini saja tapi mereka menolak, sebab sebelum Ash kembali mereka tidak akan pernah pergi. Selain karena tugas dari atasan, mereka berdua memang tidak ingin kembali karena murni mengkhawatirkannya. Setelah membawa Eva masuk ke dalam kamar. Kedua wanita yang berjaga di luarnya pun mulai berdiskusi tentang hal ini.
“Sudah jelas pelaku kejahatan ini mengincar Pak Ash. Apakah mungkin?”
“Balas dendam,” ungkap wanita berambut pendek yang kemudian temannya menganggukkan kepala—setuju dengan anggapan tersebut.
Tapi ini sangat aneh dan kemudian berpikir untuk apa balas dendam padahal orang yang memburu monster bukan hanya Ash seorang. Seharusnya selama ini mereka sudah menyerang para petugas satu persatu tetapi kenyatannya tidak. Justru Ash lah yang menjadi target utama.
“Pergi sendirian, tidak biasanya atasan kita seceroboh itu.”
“Semenjak menikah, beliau terlihat lebih takut jika berpisah dengan istrinya.”
Mereka berdua tidak ada niatan untuk menyalahkan Eva yang merupakan istri dari Ash, namun mereka sempat menaruh curiga sebab Ash sampai berani mengambil resiko tuk menelusuri jejak meskipun hanya sendirian.
Hilangnya Ash tidak hanya satu sampai dua hari saja. Ini sudah melewati sebulan namun tidak ada kabar sama sekali bahkan petunjuk sedikit saja tidak ada. Ash benar-benar menghilang tanpa meninggalkan jejak seolah dia lenyap menjadi abu, persis seperti abu yang ada di kota Abu saat itu. Mereka mulai beranggapan bahwa Ash mungkin sudah tiada tetapi ada sebagian orang yang merasa hilangnya Ash ini bukanlah kasus biasa dan para monster itu mungkin saja masih membiarkannya hidup entah untuk alasan apa.
***
Beberapa pihak yang saling beradu pendapat dalam ruangan tidak membiarkan sosok wanita yang merupakan istri korban angkat bicara. Sejak pagi tadi dia hanya terus duduk merenung dengan pikiran kosong, hanya sedikit orang yang sadar ada sesuatu yang salah dengan Eva.
“Ketua Penyidik pernah mengungkapkan wabah darah telah berakhir karena kematian dalang sudah dikonfirmasi.”
“Siapa?”
“Penyihir tanpa wajah.”
“Siapa yang menjadi saksi dan membuktikan dia telah mati?”
“Seorang gadis yang merupakan korban selamat dari wabah darah terakhir.”
“Dari mana dia tahu tentang hal itu?”
“Ketua Penyidik sendiri yang bilang itu benar.”
“Tapi sekarang dia sudah tidak ada! Ini tidak bisa dipercaya!”
Salah seorang mengangkat tangan, berniat memberikan informasi kelanjutan. Dia adalah Tio, salah satu bawahan Ash yang seharusnya bertugas di kota pusat namun dia kemari karena pimpinan di kota Angin memanggilnya bersama yang lain.
“Korban yang selamat dari wabah terakhir sekarang ada di sini. Dia hadir sebagai istri Pak Ash. Dia melihat dari seberkas ingatannya tentang kematian penyihir tanpa wajah.”
Tio kemudian menoleh ke arah Eva yang duduk di paling sudut ruangan. Lalu kembali berkata, “Dia juga adalah keturunan penyihir, Nyonya Eva.”