Dalam perjalanan Eva baru teringat sesuatu kalau Tio adalah rekan kerja Ash. Saat ini Ash sedang bekerja dan kemungkinan besar Tio ikut bersamanya. Eva menghela napas kecewa, tak menyangka kalau kesempatan yang dimilikinya berakhir sia-sia namun seakan takdir menjawab, Tio muncul dari rukonya.
“Kupikir dia tidak akan ada di sana.”
Eva pun bergegas menghampirinya dan langsung bertanya mengenai wabah darah. Tentunya Tio sangat terkejut karena gadis itu kembali menghubungi untuk bertanya tentang hal tersebut. Tio sejenak diam sembari berpikir keras, terlihat seperti sedang mencoba mengingat sesuatu tapi juga terlihat seperti mempertimbangkan hal lain.
“Katakan sesuatu mengenai wabah darah. Katakan semua yang kamu ketahui, aku mohon.”
Eva juga tidak berterus terang lantaran yang sebenarnya dia ingin cari tahu adalah mengenai Ash yang terkena penyakit wabah. Itulah mengapa dia hanya menanyakan tentang wabah darahnya.
“Nona Eva, jika ingin bertanya mengenai hal itu bukankah ada Pak Ash yang bisa membantu? Beliau adalah atasan saya jadi beliau jauh lebih tahu,” ujar Tio.
Eva tersentak kaget. Berpaling darinya, dia sempat memikirkan pertanyaan lain. Dia tidak menyangka kalau Tio akan menolak menjawabnya langsung tapi apa yang dikatakannya cukup masuk akal.
“Nona Eva, kekasihmu lebih memahami tentang wabah darah dibandingkan saya.”
“Bagaimana kamu tahu kalau kami punya hubungan seperti itu?”
“Dilihat dari kedekatan kalian sudah sangat jelas. Saya yakin bukan hanya saya yang berpikir seperti ini.”
“Aku datang untuk menanyakan wabah darah tapi kamu malah menjawabnya dengan berdalih kalau Ash jauh lebih tahu.”
“Ya? Apa saya salah? Lagi pula kasusnya sudah ditutup.”
Tadinya berpikir Tio adalah satu-satunya harapan terbesar Eva tapi sekarang tidak lagi. Percuma saja menanyakan hal lain padanya dan dengan cepat Eva memutuskan pergi dari sana.
Namun sebelum Eva benar-benar pergi, Tio berkata, “Jika mencari sebuah petunjuk, seharusnya keberadaan nona sendiri sudah cukup.”
Terkejut dengan pernyataan barusan, spontan Eva menoleh ke belakang tapi Tio sudah menghilang begitu cepat. Sepertinya dia sengaja masuk ke dalam rumah agar Eva tidak lagi mengajukan pertanyaan. Kesal karena tidak mendapat apa-apa selain kalimat ambigu itu, lekas Eva pergi dengan langkah cepat. Dia marah.
Sosok lelaki berkacamata keluar dari tempat persembunyian—di balik batang pohon yang tumbuh di depan ruko, Ash muncul. Dia berjalan mendekati ruko lalu mengetuk meja kayu yang berada di luar dan setelah beberapa saat Tio muncul dari balik ruangan kecil.
“Baru saja saya ingin keluar, ternyata bapak sudah muncul sendiri.”
“Tadinya aku hanya ingin menjemput bawahan yang tidak segera datang. Apa aku terlalu lunak?” sindir Ash.
Tio tertawa hambar lalu meminta maaf padanya karena terlambat datang sesuai waktu janjian. Tio menjadikan pertemuannya dengan Eva sebagai alasan agar terhindar dari amukan atasannya. Ash tentu tahu kejadian itu namun bukan berarti Tio bisa lolos dari amarahnya.
“Jangan banyak alasan. Sekarang katakan apa yang membuat dia datang kemari?” tanya Ash serius.
Sambil tersenyum lebar Tio menggelengkan kepala. Ash mengepalkan tinju dan bersiap memukulnya, spontan Tio mengangkat tangan sembari bergerak menghindar. Bukan tanpa maksud dia tidak mau mengatakannya, lebih tepatnya dia bingung ingin mengatakan apa. Ash masih tidak terima dengan jawaban ambigu itu dan memaksa Tio untuk mengatakan kebenaran.
“Katakan atau tinju ini melayang ke wajahmu!”
“Baik, baiklah. Saya pun tidak bermaksud menyembunyikannya. Tenang saja, dia datang bukan untuk menggoda saya.”
Sekali lagi Ash dibuat marah olehnya, dia menggebrakkan meja setelah Tio mengatakan hal itu. Sepertinya Tio memang sengaja membuatnya marah hingga seperti sekarang ini.
“Maksud saya, nona itu datang kemari untuk menanyakan wabah darah.” Barulah dia mengatakannya secara lugas, kali ini tanpa basa-basi yang pasti akan membuat lelaki itu marah.
Ash terdiam seribu bahasa, dilihat dari sikapnya yang menjadi tenang bagai air mengalir membuat Tio sedikit takut jika lelaki itu mendadak meluapkan emosinya nanti. Tio tersenyum hambar sembari melirik ke sekitar seakan sedang mencari kesibukan guna menghindari kontak mata dengan Ash. Sikap tenang lelaki berkacamata itu benar-benar membuat bawahannya ketakutan setengah mati.
"Astaga apa dia akan marah tiba-tiba lagi? Kumohon jangan sampai, lagi pula apa mereka berdua sedang bertengkar sampai membuat perasaan pak Ash jadi kacau begini?" pikir Tio membenak.
Khawatir bila terkena omelan lagi, Tio bermaksud menyingkir dengan dalih akan membawakannya secangkir teh hangat. Bersikap seperti sedang melayani tamu, tetapi Ash tidak menginginkannya dan dia justru menahan Tio di sana.
“Aku belum selesai bicara. Lupakan teh atau keramahtamahannya. Lalu aku rasa yang ingin diketahui oleh dia bukan hanya itu.”
“Pak, hanya itu yang wanitamu katakan. Aku bersumpah hanya itu,” ucap Tio jujur.
“Kau yakin?”
“Sangat yakin. Lagi pula dia adalah kekasih Anda, apakah nona itu tidak mengatakan apa-apa?”
Dilihat dari gelagatnya yang kini menghela napas begitu panjang, Tio langsung paham kalau Eva datang kemari sendirian pun tidak diketahui oleh kekasihnya sendiri.
“Tapi kenapa dia tahu alamat rumahmu? Seingatku aku tidak pernah cerita apa pun.”
“Kalau soal itu memang saya yang memberikan alamat saya sendiri karena tahu dia akan seperti ini.”
“Sudah kuduga, bahkan kamu mengetahui tempat di mana aku pernah bersembunyi sehingga bisa mengirim Eva ke sana. Itu berarti kamu memang mengetahuinya segalanya.”
Tio bergidik merinding saat Ash mengatakan semua itu bukan hanya sekadar dugaan belaka melainkan fakta tak terbantahkan. Dia menghela napas sejenak dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya seakan membantu dia untuk menutupi emosi—Tio menahan untuk tidak menangis karena takut.
“Kasus wabah darah sudah sepenuhnya ditutup oleh Anda dengan menyatakan wabah darah tidak akan muncul karena dalang utama yaitu penyihir wanita tanpa wajah sudah tewas di pedesaan terpencil.”
Tidak terlihat ekspresi senang di wajah Ash sekalipun kedua matanya tertutup dengan kacamata hitam.
Tio kembali melanjutkan perkataannya, “Baik bapak maupun nona itu, sekali ditebak saja sudah tahu. Ternyata memang benar kalau cinta membutakan segalanya.”
Dia menekannya dengan suara tegas, Ash bertanya, “Apa maksudmu?”
“Anda yang dulu memang sulit ditebak tapi sekarang tidak lagi.”
“Kamu ini mengejekku?”
“Saya tidak ada niatan mengejek, justru sebaliknya, saya hanya ingin memberikan kepastian kalau hal yang ingin dicari gadis itu sebenarnya ada pada dirinya sendiri.”
“Maksudmu informasi mengenai wabah darah yang ingin diketahui Eva ada pada dirinya sendiri?”
“Sudah jelas saya bilang begitu.”
Tio adalah orang yang suka bermain tebak-tebakan dalam kata. Dia orang yang sulit ditebak bahkan mereka yang sudah lama bekerja bersama tetap tidak dimengerti oleh Ash. Hari ini dia melihat kekasihnya mendatangi Tio, tentunya sebagai seorang kekasih dia akan marah tapi setelah mendengar penjelasan tentang alasan mengapa Eva datang menemuinya, Ash merasa sedikit lega.
“Aku tidak berharap akan membongkar rahasiaku sendiri pada orang lain. Tapi tidak kusangka kamu sendiri sudah sadar. Sudah dari kapan?”
“Mohon jangan khawatir. Tidak ada orang lain selain keluarga bapak dan saya yang mengetahuinya.”
“Kenapa kamu tidak melaporkannya?”
“Sepertinya itu tidak ada gunanya.”
Ash berdeham seakan tidak percaya dengan perkataan Tio barusan.
“Wabah darah hanya bisa diakhiri oleh orang yang terikat dengan penyakit dari wabah darah itu sendiri. Saya akan mati bila membocorkan rahasia ini.”
Secara tidak langsung Tio bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkap segala rahasia yang dimiliki oleh mereka. Dia bukan hanya sekadar berucap sumpah, sebab dia sendiri pun tahu akan terjadi hal buruk bila rahasia tersebut diketahui oleh banyak orang. Ash berdeham sejenak sembari menatap Tio dengan tajam. Tio yang merasakan perasaan kesal itu padanya pun lekas menundukkan kepala sedalam-dalamnya, berupaya agar tidak membuat lelaki itu kembali marah.
“Baiklah, aku mengerti. Lagi pula tidak akan ada orang yang percaya dengan omong kosongmu.”
Namun hanya dengan itu saja mungkin tidak akan cukup, keberadaan Tio yang sekarang mengetahui tentang rahasia mereka murni karena menebaknya mungkin tidak terduga dan cukup berbahaya jika orang biasa mengetahuinya. Cara lain untuk membungkamnya hanya dengan mengubah Tio menjadi mayat tetapi itu tidak mungkin dilakukan.
***
Rumah Eva, di dalam kamar. Mengingat semua perkataan Tio dari awal hingga akhir membuat Eva terus memikirkannya tanpa henti. Apa yang sedang dia cari justru berada pada dirinya sendiri. Tubuh Eva memang tidak biasa, luka kecil dapat sembuh dalam sekejap dan kemudian dia tersadar apa yang dimaksud oleh Tio saat sebelum pergi dari ruko waktu itu.
“Petunjuk di tubuhku sendiri. Jangan bilang sosok lain yang pernah dibicarakan oleh Ash,” pikir Eva.
Kehadiran Ash disadari oleh Eva yang kini berada di kamarnya. Dia tersenyum sembari menatap sosok lelaki itu dari balik jendela dan menunggunya untuk datang. Dia sengaja tidak menyambut karena berpikir Ash akan masuk ke dalam tanpa diminta. Sesuai perkiraan Eva, dia pun masuk begitu tidak ada tanggapan setelah beberapa kali memanggil nama kekasihnya. Terlebih lagi pintu rumah terbuka lebar seakan memang mempersilahkan Ash masuk ke dalam.
“Ini sedikit tidak sopan. Kami juga belum menikah tapi aku khawatir terjadi sesuatu lagi padanya.”
Kekhawatiran Ash semakin menjadi-jadi. Dia tidak bisa lepas apalagi menyingkirkan pikiran buruk setelah semua yang terjadi pada kekasih imutnya itu. Salah satu ruangan yang mungkin Eva berada di sana adalah kamar, dia kembali memanggil namanya sambil mengetuk pintu.
“Eva, Eva ini aku.” Ash berharap ada sedikit jawaban tapi ternyata sama saja.
Dibukalah pintu kamar yang tidak terkunci itu, kecemasan Ash pun hilang dalam sekejap begitu mendapati Eva sedang duduk di tepi kasur seraya menyilangkan kakinya. Bagian bahu dan lehernya tidak sepenuhnya tertutup, bawahan rok yang dikenakannya sangat pendek sehingga memperlihatkan kulit kakinya yang putih dan mulus. Ash terdiam dalam kebingungan, mulutnya tidak berhenti menganga saking terkejutnya melihat Eva yang terlihat menggoda.
“Eva? Aku ...apa yang sedang kamu lakukan?”
Ash mencoba untuk tidak terhanyut dalam suasana bahkan mengalihkan pandangan darinya. Ini tidak seperti Eva yang biasanya, begitulah yang dipikirkan oleh Ash sekarang. Namun tetap saja tidak mudah berpaling dari sosok gadis yang sedang merayunya dengan sengaja. Ash menelan ludah, mencoba untuk bertahan selama yang dia bisa sembari menunggu jawaban darinya.
“Eva, tolong jawab.”
Eva justru hanya sekadar berdeham, entah apa maksudnya tetapi mungkin dia tidak berniat mengatakan apa-apa selain menunjukkan wajah tersenyum seperti itu. Ash pun menghela napas, dia dibuat kebingungan sehingga tak tahu lagi apa yang akan dia lakukannya sekarang.
“Ash, kamu tiba-tiba masuk ke dalam rumah bahkan kamarku. Apa aku pernah memberi izin?” Setelah sekian lama akhirnya Eva bicara juga.
Ash mengambil beberapa langkah, menghampiri gadis yang masih bersikap sombong di sana. Dia tidak mengubah raut wajahnya yang sedang menahan nafsu sementara memang sengaja tuk mendekat sampai hanya sedikit jarak tersisa di antara mereka. Ash setengah berdiri di hadapannya sambil menekan tepian ranjang.
Lantas berbisik pelan, “Ini namanya mengundang hawa nafsu. Apa kamu tidak pernah berpikir jika seseorang akan memanfaatkannya jika kamu terus begini?”
Tatapan di balik kacamatanya sekarang terlihat sedikit, bola matanya ada sedikit bercak merah tanda-tanda akan perubahan Ash sudah mulai terlihat. Eva mendongakkan kepala seraya menyentuh kacamata hitam itu kemudian melepaskannya. Lalu sekarang perubahan pada pupil matanya yang memerah semakin terlihat jelas begitu juga dengan kuku panjang milik Ash yang memanjang.
“Aku yakin Eva yang saat ini bukanlah Eva yang aku kenal. Gadis itu tidak mungkin bisa begitu seksi seperti sekarang ini.”
Eva membuang napas sambil tersenyum kecut dan berkata, “Tapi aku melihatmu seperti orang cabul. Sekarang kamu terlihat bernafsu pada sosok lain Eva.”
“Ini kebetulan penyakitku kambuh.”
Ash memang berkata begitu namun nyatanya dia sulit menahan nafsu yang ada pada dirinya. Haus darah mulai membatasi napasnya. Ash mendorong tubuh Eva dan membuatnya berbaring di atas kasur. Lelaki ini nyaris kehilangan akal namun masih mencoba untuk bertahan selagi bisa dengan mengepalkan tangan, menggigit bibir, dan menahan rahangnya sekuat tenaga.
Tidak ada ruang untuk bergerak, waktu pun berjalan begitu lambat. Mengingat Ash yang selama ini terus menahan nafsunya sebagai seorang lelaki dan sekarang mulai hilang kendali menyebabkan sakit di bagian kepala dan hatinya. Ash terus saja menggigit bibir bawahnya seraya berpaling, kedua lengan yang nampak kokoh itu sekarang gemetar.
“Jangan pernah melukai diri sendiri. Eva tidak akan suka,” katanya sembari menyeka cairan merah yang keluar dari sudut bibir Ash.
“Dan kamu juga jangan coba-coba menghinaku,” ucap Ash merasa kesal, dia menjauhkan tangan gadis itu tapi enggan melepasnya.
Luluh karena wajah yang berada di hadapan Ash adalah Eva tapi di sisi lain gadis ini pun bukanlah Eva yang dia kenal. Napas serta detak jantung mulai tidak stabil, kesadaran Ash secara perlahan akan menghilang jika ini terus dibiarkan. Sosok lain Eva mencoba untuk pergi dari sana lantaran ingin segera membantu Ash tuk menekan hasrat dari penyakitnya tapi Ash justru dengan sengaja menghalanginya.
“Dengan darah Eva, setidaknya kamu bisa bertahan. Menyingkir dulu dariku.”
“Orang sepertimu malah muncul di situasi saat ini,” gumam Ash.
Meskipun dia terlihat gemetaran tapi tulang lengannya sangat kuat. Sulit sekali menyingkirkan Ash terlebih dengan perbedaan fisik antara lelaki dan perempuan bisa dibilang sangat jauh sehingga tidak ada kesempatan baginya menghindar.
“Katakan apa yang membawamu muncul?”
“Baiklah, aku akan mengatakannya. Laki-laki itu mengetahui tentang diriku.”
“Tio?”
Sosok lain Eva muncul disebabkan oleh Eva sendiri yang memintanya. Mengingat Tio yang mengetahui segala hal tentang rahasia mereka, sosok lain itu pun mengungkapkan bahwa dirinya yang juga adalah Eva itu sendiri merupakan keturunan penyihir yang menyebabkan wabah darah. Sejujurnya dia pun tidak punya cara lain untuk menyembuhkan penyakit wabah darah selain menekannya dengan menggunakan darah Eva (penyihir). Ash langsung kehilangan harapan dalam sekejap.
“Tidak masuk akal ...,”
“Tunggu, ada hal lain—”
Belum sempat mengucapkannya, gigi geraham Ash yang mencuat selayaknya taring hewan buas kini menggigit leher Eva dengan ganas.