Jalan yang lurus menjadi berliku-liku dan kemudian berakhir di jalan buntu. Seperti itulah gambaran perasaan Eva dan Ash yang mengalami hambatan karena beberapa alasan yang sulit dijelaskan. Tidak peduli seberapa besar rasa cinta bahkan rahasia mereka pun tidak membuat jarak di antara mereka kian erat. Justru sebaliknya hubungan antara Ash dan Eva menjadi renggang.
Peringatan Sena terhadap Ash membuat lelaki itu begitu terpaku pada sebab akibat yang akan terjadi di masa depan. Tidak boleh mempunyai rasa, tidak boleh mencintai dan tidak boleh berhubungan adalah larangan Sena untuknya. Bukan hanya sekadar larangan biasa namun ini berhubungan dengan rahasia dalam tubuh Ash.
Ash mengepalkan tangan kanan ke depan dada, berwajah serius dengan kening yang terus berkerut. Kata-kata berupa larangan sang kakak terus terngiang dalam kepala dan terus membuatnya sadar kalau hubungan percintaan dengan seseorang ini tidak bisa dia lakukan. Bahkan jika dia sangat mencintainya sampai mati, tidak ada yang bisa dia lakukan sebelum membereskan masalah di tubuhnya.
Ash menoleh ke samping—menatap Eva yang sepertinya akan pergi. Dia berjalan selangkah dan sekarang berdiri tepat di hadapannya sambil memasang wajah serius. Berupaya mengatakan sesuatu yang penting namun entah mengapa dia merasa tercekat saat melihat ekspresi kecewa Eva. Dia menatapnya dengan perasaan sedih sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu.
“Suatu saat nanti aku akan membalasnya. Lalu pertimbangkan kembali kerja sama yang ingin dilakukan oleh alter egomu.”
Hanya itu yang dia katakan, jujur saja Eva kembali kecewa. Maksud dari kalimat pertamanya pun tidak terdengar seperti sungguhan seolah ada hal lain yang disembunyikan oleh lelaki ini. Di balik kacamata hitam itu terdapat sesuatu yang begitu misterius.
“Dengar aku ....saat ini tidak bisa mengatakannya tapi suatu hari nanti pasti aku lakukan. Aku mengatakannya, aku akan mengatakan semua yang kamu mau,” kata Ash.
“Aku mendengarnya, Ash. Aku cukup tahu bahwa aku tidaklah layak dan—”
“Bukan begitu.”
“Tidak, jangan potong pembicaraanku. ” Eva menyahut kembali dan tidak membiarkan Ash berbicara.
“Saat ini kita sama-sama membutuhkan bantuan. Wabah darah dan aku merupakan kunci dari petunjuk itu,” jelas Eva.
“Kamu hanya orang yang selamat saja. Tidak perlu—”
“Aku sudah membuat keputusan. Tolong bawa aku ke semua tempat di mana wabah darah pernah terjadi,” sahut Eva yang dengan sengaja memotong kalimatnya.
Melihat tekad dari matanya yang bersinar sempat membuat Ash percaya namun juga ragu karena pada akhirnya tidak bisa menjauhkan Eva dari marabahaya. Terlihat sangat jelas dari ekspresi Ash yang khawatir tapi Eva tidak berencana untuk kembali berpikir atau bahkan sekadar mempertimbangkan baik dan buruk untuk ke depannya.
“Baiklah, terserah padamu.”
Pada akhirnya Ash tidak punya pilihan lain selain membawanya ke berbagai tempat di mana wabah darah pernah terjadi. Pedesaan terpencil adalah tempat yang ke-5 dengan skala penyebaran terendah dari keempat tempat lainnya. Fakta tentang ini saja sudah cukup mengejutkan.
Kemudian Ash membawa Eva ke sebuah perkotaan, kota Abu. Perkotaan yang dipenuhi dengan abu berwarna putih di setiap sudut jalanan.
“Kota ini juga pernah terbakar hingga hangus. Meskipun masih tersisa puing-puingnya jika dibandingkan dengan desamu.”
“Bukankah kota ini dibakar agar penyebaran wabah terhenti?”
“Ya, kami membakarnya. Itu terjadi dua tahun lalu.”
Sama seperti di desa, jika tidak menghitung Eva, kota ini juga tidak menyisakan satu pun orang hidup. Kondisi yang mengerikan hingga membuat bulu kuduk berdiri tentu saja Eva ketakutan. Ash menawarkannya untuk kembali tetapi Eva tidak menghiraukan dan lebih memilih lanjut dan memasuki perkotaan ini.
“Apa cukup hanya dengan melihat tempat ini?” tanya Ash sembari mengejar langkah Eva.
“Aku yakin cukup dengan ini jadi pasti aku akan mengingat memori sewaktu di desa.”
Eva berhenti berjalan mendadak. Ash selangkah melewatinya lalu memastikan keadaan sekitar karena berpikir ada sesuatu yang sedang memperhatikan tapi dia tidak menemukan apa-apa selain abu putih yang berserakan.
“Ada apa?”
Eva tidak menjawab dan hanya sekadar menatap Ash sejenak seolah merasa tidak yakin untuk mengatakannya. Ash sadar kalau Eva memang tidak ingin mengatakannya lalu menyerah. Lelaki itu mudah marah tapi enggan menunjukkan, dia pun hanya memalingkan wajah sembari melipat kedua lengannya ke depan.
“Aku tidak memaksamu mengatakannya tapi kalau diam saja begitu juga membuatku agak takut.”
“Lelaki mana yang bisa takut dengan seorang perempuan?” ejek Eva lantas tertawa kecil. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan menyusuri perkotaan.
Di satu sisi dia merasa marah tapi di sisi lain cukup merasa senang karena melihat ekspresi bahagia Eva. Ash merasa bersyukur.
***
Hari sudah semakin sore, langit sebentar lagi akan gelap sedangkan Eva masih memandangi langit itu. Sesaat ingatan lain terlintas dalam benak lalu setelah beberapa saat dia melihat ke jari telunjuknya yang seharusnya terluka persis seperti dalam ingatan tetapi tidak ada. Entah memang tidak ada atau mungkin sudah sembuh.
“Luka yang tergores karena potongan besi seharusnya cukup dalam tapi jariku tidak terluka sama sekali.”
Kemudian Eva beralih pada kedua kakinya. Dia ingat dia pernah menginjak genangan darah yang bagaikan aliran sungai dan merasa seharusnya dia juga terluka karena menginjak sesuatu yang panas.
“Kamu ingat sesuatu?” tanya Ash.
“Ya, aku ingat beberapa. Khususnya bau abu di tempat ini.”
Ash mencoba mencium aroma tapi dia tidak mencium apa pun bahkan abu di depannya itu tidak ada bau sama sekali. Sementara Eva mencium bau itu dengan khas.
“Aku tidak mencium apa pun. Abu ini juga tidak punya aroma apa pun.”
“Itu aneh. Mungkinkah yang kuingat adalah sensasi saat bau daging terbakar? Jadi aku salah mengira kalau itu hanya sekadar bau abu.”
Semakin dalam berkenalan dan berbincang dengannya membuat Ash semakin jauh dari hubungan dekat ini. Dia merasa rahasia Eva semakin rumit. Sejujurnya Ash semakin penasaran begitu juga dengan sosok lain di tubuh Eva. Masih banyak rahasia yang belum terungkap tentang sosok gadis ini.
"Rasanya seperti aku akan menyentuh rahasia terbesarmu, tapi aku tidak merasa takut. Justru yang aku khawatirkan bagaimana jika rahasiaku terbongkar di hadapanmu?" Ash bertanya-tanya dalam batin sembari tersenyum kecut.
“Apa kamu akan takut padaku?” Dan tanpa sadar kalimat terakhirnya terucap langsung.
Selayaknya manusia, Ash pun memiliki ketakutannya tersendiri. Saat sedang memikirkan nasib ke depannya, tanpa sadar dia mengucapkan kalimat tanya di hadapan Eva langsung. Dia tidak bermaksud mengatakan itu tapi mulutnya selalu bergerak sebelum otak bekerja. Ash yang terkejut sendiri itu lekas mengalihkan topik pembicaraan.
“Maksudku, ayo kita pergi sebelum hari gelap. Di sini mungkin tidak ada yang tersisa tapi aku khawatir keberadaanmu justru memancing mereka.”
“Ya sudah.”
***
Setelah mengunjungi beberapa tempat yang hancur akibat wabah darah, sudah tidak ada lagi berita mengenai wabah darah yang kembali muncul. Di satu sisi memori Eva mengenai kejadian pada malam di desanya sedikit demi sedikit mulai terkumpul menjadi satu dan pada akhirnya membentuk sebuah petunjuk besar.
Kebakaran pada malam itu menyisakan dirinya yang masih sadarkan diri. Cipratan darah mengenai tubuh dan wajah tidak membuat Eva terpengaruh wabahnya. Dia tetap berdiri stabil sembari menatap sengit ke arah sosok wanita yang tidak memiliki wajah. Wanita itu mengatakan sebuah kalimat seraya mengulurkan tangan seolah mengundang Eva.
“Orang sepertimu tidak cocok berada di dunia fana melainkan berjalan di bawah neraka.” Sepotong kalimat dari wanita itu bergema dalam pikirannya. Perasaan tak nyaman sulit dijelaskan hingga membuat tubuh Eva terus gemetar ketakutan. Jangankan berbicara bahkan bernapas saja sudah sulit.
Begitu memori ini terlintas dalam benaknya, Eva mulai meringis kesakitan. Dia menutupi kedua telinganya dan memejamkan mata lalu melangkah mundur perlahan seraya menahan perasaan sakit dan takut yang tak jelas mengapa itu terasa seperti ribuan serangga yang menggerogoti dari bawah kakinya.
Melihat Eva yang bersikap tidak wajar, dengan segera Ash berlari ke arahnya. Dia berlari menghampiri dan memapah Eva yang akan terjatuh. Orang-orang yang saat itu sedang bersama Ash untuk kembali berdiskusi tidak lagi dipedulikan hanya demi gadis itu.
“Eva, sadarlah! Jangan terlalu dalam menggali ingatanmu!”
Butuh beberapa menit hingga Eva kembali sadar. Secara perlahan napasnya mulai teratur dan dia mulai membuka kedua matanya. Senang adalah perasaan yang dia rasakan ketika menatap wajah Ash.
“Wabah darah memang disebabkan oleh kultus penyihir. Lalu aku hanya kebetulan tidak bisa disentuh oleh sihir-sihir jahat itu,” ungkap Eva.
“Iya, baiklah. Aku paham.”
“Satu hal lagi, mereka semua tidak ada Ash. Orang yang menyebabkan wabah darah sudah mati.”
“Aku mendengarnya, aku paham. Lalu untuk saat ini beristirahatlah, jangan memaksakan diri.”
Eva sudah mengungkapkan bahwa orang-orang yang menciptakan wabah darah sudah meninggal. Orang-orang selain penyihir itu mungkin berasal dari dunia ini sendiri dan jelas saja mereka tidak akan percaya semudah itu. Kecuali Ash dan salah satu dari mereka yang jauh lebih muda.
“Aku yakin semua yang dikatakan oleh nona ini benar. Lagipula sudah ada dua minggu semenjak wabah terakhir kali muncul,” ucap Tio.
“Atas dasar apa kita percaya hanya dengan ingatan gadis itu?” Salah satu dari mereka tetap menyangkal.
“Aku percaya karena hanya dia yang tersisa. Lagi pula mana mungkin dia berbohong.”
“Lalu bagaimana jika dialah yang menciptakan wabah itu?”
“Jadi kamu berpikir bahwa nona ini yang melakukannya?” sahut Tio membalasnya dengan pertanyaan penuh penekanan.
Seketika semua diam seribu bahasa. Nampaknya para petugas juga berpikir mustahil kalau Eva yang menciptakan wabah ini.
“Aku katakan satu hal lagi. Meskipun kalian tidak percaya dengan adanya sihir atau kultus dan sejenisnya tapi darah yang mengubah mereka menjadi monster itu tetaplah sebuah fakta.”
Mereka semua sudah melihatnya dengan jelas bagaimana wabah darah bisa terjadi. Mempertimbangkan banyak hal aneh yang merupakan sebuah petunjuk besar pun berakhir dengan kematian seorang wanita yang juga mengakhiri wabah darah itu sendiri. Inilah yang membuat para penyidik kesal.
“Sudah cukup lama kita menyelidiki tapi berakhir seperti ini. Rasanya aneh.”
“Benar. Lalu bagaimana? Dilanjutkan pun juga tidak akan mendapatkan hal lain.”
Kain bersimbol adalah lambang dari kelompok penyihir jahat sekaligus lambang kehidupan mereka sendiri. Wabah darah ada karena para penyihir ingin menyebarkan teror dengan mengubah manusia menjadi monster. Namun berkat antisipasi para petugas, wabah hanya menyebar ke wilayah yang terhitung cukup kecil. Setidaknya wabah darah tetap tersembunyi rapat-rapat dalam bayangan.
“Sejak awal aku sudah bilang pada kalian semua kalau wabah darah yang mengubah manusia menjadi monster itu tidak masuk akal dan kalian pikir kita hanya bisa mengandalkan logika?” Ash angkat bicara.
“Lalu bagaimana ini?”
“Kita tutup saja kasusnya dan jika wabah darah kembali menyebar, kita akan kembali bertugas.”
Kasus Wabah Darah yang tersembunyi di balik bayang-bayang masyarakat kini sudah ditutup karena beberapa alasan dan salah satunya adalah karena dalang dari semua ini sudah tidak ada. Ash yang meyakinkan mereka semua sehingga tak satupun dari mereka akan protes.
“Apa tidak masalah jika menutupnya begitu saja?” tanya Tio pada Ash.
“Jika tidak ditutup pada akhirnya wabah darah tidak bisa dibasmi sepenuhnya. Atau kamu ingin melawan penyihir itu jika dia masih hidup?”
“Mana mungkin saya mau. Tapi aku hampir sama seperti mereka yang tidak percaya bahwa kasus ini akan ditutup begitu saja karena sudah terselesaikan.”
Ash tidak bisa menjawab pertanyaan Tio lantaran dirinya sendiri pun juga memikirkan hal yang sama. Hanya saja dia kesulitan mengatasi ini dan berpikir akan lebih mudah jika menutupnya saja tanpa ada penyelidikan lebih lanjut.
“Baiklah, Pak Ash.”
Musim hujan belum berakhir, langit mendung membuat suasana di sekitar menjadi lembab. Ash berdiri diam sembari mendongakkan kepala—menatap langit dengan tajam. Tubuhnya mematung seakan ditahan oleh sesuatu. Terjadi hal aneh pada Ash.
“Tio, aku minta tolong padamu. Bisa?”
“Perintah atasan akan saya turuti.”
“Antar dia ke rumahku sampai selamat.”
Jangankan Tio, Eva sendiri terkejut begitu mendengar permintaan atau perintahnya. Sebelum mereka bertanya lebih lanjut, Ash sudah berlari pergi meninggalkan mereka berdua.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada Ash? Kenapa hari ini tingkah lakunya sedikit aneh?” tanya Eva yang cemas.
“Saya sendiri tidak paham.” Tio memang berkata begitu tetapi saat melihat ekspresinya yang datar namun aneh, Eva merasa Tio mengetahui sesuatu.
Sesuai permintaan, Tio mengantarkan Eva ke rumah Ash. Saat itu ekspresi Tio menjadi semakin jelas dengan senyum yang tersimpul seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Terima kasih. Lalu, apa ada sesuatu yang lain?”
“Nona Eva, sepertinya hubunganmu dengan Pak Ash sangat dekat. Silahkan hubungi saya bila membutuhkan sesuatu,” ucap Tio sambil memberikannya sebuah kartu nama.