Lee Do Young
Insiden aku pingsan semalam membuatku tak bisa tidur nyenyak. Alasannya hanya satu. Karena tina-tiba perutku lapar terus. Entah kenapa. Jadi aku harus menahan "lapar" sampai pagi. Pukul 5 pagi aku sudah bangun, mandi dan semuanya. Hingga akhirnya pukul 6 pagi aku sudah siap di meja makan dengan makanan yang sudah kumasak.
Dan karena aku anak baik, aku juga menyiapkan sarapan untuk Do Hoon. Yah, hitung-hitung untuk balas kebaikan dia semalam. Tapi aku tidak menjamin rasanya sih karena aku hanya mengikuti resep di internet.
"Eo? Chib Chib sun- Do Hoon sunbae!"
Ternyata Do Hoon bangun pagi juga ya. Ku dorong piring ke arahnya tapi dia tidak menerimanya. Dia malah melengos ke tempat roti dan memasak air panas. "Mwoya? Aku sudah membuatkan sarapan untukmu."
"Aku tak biasa sarapan itu." Do Hoon melewatiku lagi. "Jadi tak perlu repot-repot untuk membuatkan makanan pagi untukku." Setelah itu dia kembali ke kamarnya.
Wah. Eoiga eobsne. Jeo ssakaji gateun nom. Aku sudah membuatkan nasi dengan telur mata sapi dan juga ayam kimchi juga. Benar-benar. Dia tidak tahu saja kalau masakanku itu enak -yah belum pasti sih enak atau tidak- dan tidak bisa ditolak. Lihat saja. Akan ku habiskan sendiri. (Tak bisa dipercaya. Dasar kurang ajar)
"Tak akan aku berbuat baik padanya lagi. Lihat saja. Aku akan menghabiskan semuanya. Tidak akan ku berikan." Aku mengambil semua lauk dan menaruhnya di piringku. Sebodo amat dengannya.
Sebuah ide terlintas di pikiranku. Diam-diam aku berjalan ke meja dapur dan mencari gelas garam. "Hehe. Rasakan." Ku ambil garam dengan sendok teh dan menuangkannya ke teko air panas. Tak lupa juga ku aduk biar tidak ketahuan olehnya.
Setelah menaruh semuanya di tempatnya masing-masing, aku langsung duduk diam pura-pura makan yang tak lama dia keluar dan teko juga berbunyi tanda sudah matang.
Dia menuangkan susu dalam gelas dan juga air tanpa curiga sama sekali.
Susu dan toast sekarang sudah berada di seberangku. Ternyata dia suka selai stroberi. Sama sepertiku. Hihi.
1, 2, 3.
Ini saatnya. Dia sudah mengangkat gelas susunya dan meneguknya perlahan. Pasti rasanya akan aneh. Aku tersenyum sendiri memikirkan dia akan memuntahkan susunya kembali.
Tapi ternyata dia malah biasa saja. Bahkan dia bisa menyelasaikan sarapannya sampai habis. Astaga. Dia manusia bukan sih? Manusia normal sudah pasti akan membuangnya karena tidak enak.
Lah ini? Dia bahkan sudah selesai sarapan dan menaruhnya di tempat cuci piring.
"Aku tau kau menaruh garam didalamnya kan?"
Bulu kudukku berdiri seketika saat dia berbisik di dekat telingaku dari belakang.
Refleks aku menoleh dan bertatapan lagi dengannya. Ku telan salivaku susah payah.
Lee Do Young. Mati kau sekarang. Kenapa juga kau iseng. Kau membangunkan macan tidur, batinku tak tenang.
Sialnya aku menggeleng kaku setelah terdiam lama dan memundurkan tubuhku. "A-ani. Naega mwo? Aku tidak melakukan apa-apa." Rileks, Do Young. Rileks. Aku kembali pura-pura makan sementara dia pergi begitu saja.
"Jangan lupa cuci piring. Itu hukumanmu karena menaruh garam di airku," katanya sebelum masuk kamar.
Aku baru bisa bernapas lega saat dia sudah benar-benar masuk kamarnya. "Lee Do Young, babo. Kenapa juga kau iseng." Tanganku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri. Benar-benar bodoh. Untung dia tidak marah. Aku bisa saja diusir dari sini kalau dia marah.
***
"Ch- Do Hoon sunbae."
Ehe. Kebetulan Do Hoon juga baru mau pergi ke kampus. Aku langsung memanggilnya saat dia sudah keluar kamar dengan tasnya. Mau bertanya apakah boleh pergi bareng.
"Wae?"
"Kau mau ke kampus kan?"
"Menurutmu?"
Ih. Nih orang benar-benar. "Ya mau ke kampus. Kemana lagi."
"Tuh tau," katanya sambil memakai sepatu.
Aku juga ikut berlari kecil dan memakai sepatuku. Nanti bisa ditinggal. "Aku bareng ya."
"Geurae geureom."
Assa! Aku dapat tebengan. Ehehehehe. Lumayan kan irit ongkos dan ada teman untuk bicara. Ya walaupun dia jarang bicara sih.
Tapi kenapa dia malah keluar dari lobi berjalan ke depan halte? Bukannya dia ada mobil?
"Do Hoon Sunbae. Kau akan naik bis?"
Do Hoon melirikku sekilas dan mengangguk.
"Mwoya. Aku kira kau akan naik mobil. Makanya aku ingin bareng." Pupus sudah harapanku untuk irit ongkos. Ternyata sama aja. Naik bis juga.
"Tidak mau? Tidak mau yaudah. Kau naik bis sendiri saja."
"Eh! Mau. Mau. Kau ini benar-benar serius sekali jadi orang."
Tak lama bis yang akan kami naiki menuju ke kampus sampai. Wow. Ramai juga ternyata di dalam kawan-kawan. Aku sampai bengong melihatnya. Saat aku melirik ke sampingku, Do Hoon sudah naik duluan dan duduk di baris kedua dari belakang. Dasar orang itu.
Akupun naik dan akhirnya hanya bisa berdiri karena tidak ada bangku kosong lagi. Aku berdiri di samping Do Hoon karena hanya dia yang kukenal. Aku tadi berharap kami dapat saling ngobrol. Tapi ternyata dia malah memakai airpodsnya.
Mana bis semakin lama semakin ramai lagi. Aku jadi berdesakan dengan yang lain. Astaga. Tak nyaman. Tubuhku sesekali tertabrak karena ada orang yang keluar ataupun baru masuk.
Tiba-tiba Do Hoon berdiri. Oh? Dia mau memberikannya padaku? Baiknya.
"Wah. Gomawo!" Aku baru saja ingin mendudukkan bokongku saat Do Hoon menahan tubuhku.
"Itu untuk halmeoni. Halmeoni. Silahkan duduk disini," ujarnya lembut dengan senyuman kecil pada seorang nenek yang berada di belakangku.
Aku tercengang melihatnya. Dia bisa tersenyum dan bicara lembut ternyata? "Kau sakitkah?" Salahkan tanganku yang tiba-tiba terangkat dan menaruhnya di dahi Do Hoon sampai dia sedikit terkejut.
"Mwoya!" Tanganku ditangkis pelan olehnya yang membuatku mendecih setelahnya. Benar-benar.
Bis semakin ramai dimana aku juga beberapa kali sampai ditabrak orang lain. Sedetik kemudian aku merasakan seseorang berdiri di belakangku dan berdeham saat aku menoleh ke belakang. Do Hoon berdiri di belakangku dengan tangan yang memegang tiang di depanku. "Lihat depan. Aku hanya tidak mau kau menyusahkanku lagi."
Cih. Pura-pura jahat, tapi ternyata baik. Tsundere. "Gomawo, Chib chib Sunbae!" Aku tulus saat mengatakannya. Bahkan aku juga memukul bahunya sekali sebelum kembali melihat ke depan.
"Geunde, sunbae!"
"Tto mwo? Apalagi?" (Apaan lagi?)
"Kau kan punya mobil. Kenapa tidak naik mobil saja?"
"Bukan urusanmu."
Kembali aku mendecih lagi. Ini orang benar-benar tidak bisa tidak ketus sehari saja ya. "Ketus sekali."
***
Jadwal hari ini tidak terlalu sibuk. Hanya kuliah saja. Itu yang terjadi untuk hari ini kalau saja dosen Jung tidak memberikan tugas untuk dikumpulkan besok. Manusia satu itu kalau tidak menyusahkan mahasiswanya, dia sepertinya kurang puas. Apa aku salah ambil jurusan ya? Sepertinya aku ingin pindah jurusan untuk menjadi guru sekolah saja. Agar aku bisa mengerjai anak-anak didik dengan tugas yang menumpuk gitu hehehehe.
"Dor!"
"KKAMJJAKIYA!" Jantungku serasa mau melompat keluar. Aku itu orangnya kagetan kalau kalian bekum tahu. Tapi aku senang mengageti orang. Gimana tuh?
Kepalaku menoleh ke belakang dan melemparkan tatapan maut pada Yejoo yang hanya menyengir seadanya sehabis mengagetkanku. "Kau benar-benar membuatku terkejut!" Kembali aku membereskan barang-barangku ke dalam tas. "Tumbenan kau ke kelasku. Ada apa?"
Yejoo menarik kursi di sebelahku dan menidurkan kepalanya diatas meja. "Kudengar kau hari ini tidak ada jadwal."
"Eung. Wae?"
"Kalau begitu temani aku ke pameran seni sunbaeku ya."
"Dan jadi nyamuk antara kau dan Tae Joon? Tidak. Terimakasih."
"Tae Joon tidak bisa ikut. Makanya aku mengajakmu."
Seketika ku menoleh dan menatap Yejoo sengit. Anak ini jujur sekali kalau bicara. "Jadi kau mengajakku karena Tae Joon tidak bisa ikut? Kau ini."
Yejoo hanya menyengir kembali menanggapiku. "Ayolah. Ya? Temani temanmu ini. Oke? Kau juga besok libur kuliah kan. Tidak ada jadwal kuliah dan hari ini pun kau tidak ada jadwal pemotretan."
Mau sih aku ikut. Tapi masalahnya aku ada tugas untuk dikumpulkan besok. "Aku ada tugas untuk dikumpulkan besok."
"Aku akan membantumu mengerjakannya. Oke?"
"Yakin?"
"Iya. Aku berjanji."
"Baiklah. Aku ikut. Tapi kau bantu aku untuk mengerjakan tugasku untuk besok ya?"
"Iya. Memang apa sih tugasmu?"
"Review film detektif lagi. Bantuin ya!"
Aku sudah tahu apa yang akan Yejoo balas. Dia langsung menghembuskan napasnya berat dan aku hanya tertawa kecil. Karena Yejoo tidak terlalu suka mereview film. Katanya untuk apa juga di review.
***
Tanpa berganti pakaian, setelah aku selesai kelas terakhir jam 3 siang tadi, aku menemani Yejoo ke studio seniornya. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya naik bis dua kali. "Geunde, Yejoo-ya. Kau jarang punya kenalan senior. Kenalan dari mana?"
"Ah. Temannya Tae Joon, namanya Seokwoo. Ternyata sunbae angkatan ku juga. Waktu kemarin itu ketemu dengannya, dia ajak ke pameran studio temannya yang udah pindah ke luar negeri. Kebetulan temannya lagi balik ke Korea. Sayangnya Tae Joon tidak bisa ikut. Dan kau tau kan kalau aku suka sekali pameran seni."
Aku hanya mengangguk menanggapinya. Tapi tunggu. Seokwoo. Sepertinya namanya tak asing. Dimana aku pernah dengar nama itu ya?
"Do Young-ah! Lee Do Young!"
Aku terkejut mendapat tepukan di bahuku. Apakah aku melamun tadi? "Apa?"
"Ayo siap-siap. Bentar lagi turun."
Ku bawa tasku dan mengikuti Yejoo dari belakang.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku ke pameran seni. Tapi sepertinya sunbaenya ini sangat berkualitas(?) Ya itulah pokoknya. Karena semua lukisannya terlihat nyata dan memiliki arti sendiri-sendiri yang dapat dirasakan. Bahkan dari awal masuk saja aku sudah dapat merasakannya.
"Eo? Seokwoo Sunbae!" Otomatis aku menoleh mendengar Yejoo memanggil nama seseorang. Tentu saja aku harus mengucapkan salam terlebih dahulu dong. Dia teman Yejoo dan juga kakak kelasnya.
Alangkah terkejutnya aku mendapati seseorang yang familiar denganku. "Eo??!!!! Kau yang membantuku di perpustakaan kan?" tanpa sadar aku memekik membuat hampir seluruh pengunjung menatapku.
Yejoo menarik kecil lengan bajuku, "jangan memekik. Ini kan tempat umum, Do Young."
Refleks aku memukul pelan mulutku yang tadi memekik tiba-tiba. Dasar mulut. Kebiasaan sekali. Terdengar kekehan pelan dari seberangku. Ya. Si Seokwoo. "Benar. Aku yang membantumu waktu itu. Kau lupa ya?"
"Ani. Aku hanya sedikit...... lupa," ujarku dengan sedikit cengiran. Aku tidak bohong. Aku hanya sedikit lupa. Lihat? Buktinya aku familiar dengan namanya dan sekarang aku bisa tahu dia saat melihat wajahnya.
Seokwoo tersenyum.
"Tak apa. Kalian sudah ketemu dengan yang menggelar pamerannya?" Seakan robot kembar, kami berdua serentak menggeleng. "Mau kuantarkan?"
"Geureom geureom!" sahutku antusias.
Berjalan disamping Seokwoo membuatku merasa pendek. Karena biasanya aku jalan dengan Yejoo, yang dimana Yejoo itu tingginya walaupun cukup jauh dariku, tapi masih kelihatan setara gitu kalau jalan bareng karena dia suka memakai sepatu dengan insole atau sepatu yang berheel tinggi dan itu membuatku sedikit lebih tinggi dari Yejoo. Tapi Seokwoo cukup tinggi juga.
Dugh!
Aku meringis. Merasa dejavu. Ini pasti karena aku melamun lagi hingga akhirnya aku tertinggal di belakang. "Gwaenchanha? Mian. Mian." Padahal ini salahku tapi Seokwoo berbalik dan meminta maaf padaku. Tak seperti seseorang. Huh.
Aku tersenyum, "tak apa. Salahku juga yang melamun." Seokwoo masih mengusap dahiku padahal aku sudah bilang aku baik-baik saja. Kenapa dia baik sekali sih. Aku jadi tak enak.
Kusingkirkan tangannya perlahan dan berkata kalau aku baik-baik saja. Yejoo hanya diam melihatku dan Seokwoo. Mungkin Yejoo juga bingung melihat kami.
"Oh! Itu dia orangnya. Ayo."
Tanganku digandeng Yejoo sesaat sebelum aku melangkahkan kaki lagi. "Kau sudah kenal dengan Seokwoo Sunbae?"
"Iya. Waktu itu di perpustakaan. Kenapa?"
"Kurasa Seokwoo--" Yejoo menggelengkan kepalanya cepat. Eh? "Anida. Gaja. Dia pasti sudah bingung melihat kita tak ada di belakangnya." Eh? Justru aku yang bingung -dan penasaran- dengan apa yang ingin kau katakan, Yejoo.
Tapi aku hanya diam dan memutar kedua bola mataku mengikuti Yejoo berjalan mendekati Seokwoo dan satu orang yang aku rasa penggelar pameran seni ini.
"Kenalkan. Dia Gi Do Joon."
Seseorang yang akhirnya kutahu namanya sebagai Gi Do Joon itu mengulurkan tangannya dengan senyuman yang juga terbit di wajahnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan antusias. Orang ganteng kenapa tidak disambut dengan baik. Hehehehe.
Wajahnya sedikit mirip seseorang. Marganya pun begitu. "Gi Do Joon imnida."
"Lee Do Young imnida. Geunde hoksi..." Tiga pasang mata serempak menatapku. Ah rasanya kurang pas kalau aku menanyakan hal bersifat pribadi pada pertemuan pertama. "Anida. Tidak ada apa-apa." Kututup kalimatku dengan senyuman.
Serius. Aku seperti familiar dengan namanya. "Eo?! Ya! Yeogi. Yeogi!" Do Joon seperti memanggil seseorang dibalik tubuhku.
Entah sudah berapa kali aku terkejut sejak pindah ke apartemennya Do Hoon. Karena sekarang aku terkejut kembali mendapati Do Hoon ada di sampingku. Do Hoon sendiri biasa-biasa saja melihatku ada disini.
"Dwaettji? Geureom na galge." Apa-apaan manusia satu itu. Baru saja datang sudah mau pergi lagi. Aku menahan tangannya sekuat tenaga sampai dia berbalik lagi dan menatapku dengan matanya yang membulat sempurna. (Sudahkan? Kalau begitu aku pergi)
"Chib chib Sunbae. Kau baru saja datang. Mau kemana kau?" ujarku.
Dan aku baru tersadar saat Do Hoon menghela napasnya berat kalau ketiga pasang mata itu sekarang menatapku bingung. Refleks aku melepas peganganku pada tangan Do Hoon dan menggaruk tengkukku yang tak gatal karena canggung.
"Chib- chib?"
Oh. Pasti Do Joon terkejut. "Hyung. Aku pergi," ujar seseorang di sampingku lagi. Dan aku kembali menahan tangannya lagi.
"Neo gaman isseo." Kulemparkan mata laserku pada Do Hoon yang menimbulkan helaan napas yang lebih berat dari lelaki itu. (Kau diam disini!)
Akhirnya Do Hoon menyerah dan diam disampingku. Tunggu sebentar. Tadi dia memanggil Do Joon apa? Hyung? "Hyung?!!" Aku bersumpah aku tidak sengaja memekik lagi. Itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku.
"Jangan berisik, bodoh." Si Do Hoon ini benar-benar. Lebih tua tapi tetap saja tak bisa menyenangkan hati adik kelasnya.
Tidak kuindahkan kata-kata Do Hoon dan memilih fokus pada pertanyaan yang mau kutanyakan pada Do Joon. "Do Joon Sunbae. Ini adikmu?"
Do Joon terlihat bingung sebentar sebelum mengangguk untuk menjawabku. "Iya. Dia adikku."
"Ne?" tanyaku tak percaya. Wah. Apalagi ini.
Do Joon terkekeh. "Kenapa memangnya?"
"Ani... Do Joon Sunbae terlihat berbeda sekali dengannya. Kau terlihat baik dan berkharisma. Tak sepertinya." Ku tunjuk Do Hoon tanpa menoleh sama sekali tapi aku tau dia pasti memelototiku. "Kau yakin dia adikmu? Tak tertukar kan?"
Bukan hanya Do Joon yang tertawa kecil sekarang. Seokwoo dan Yejoopun tertawa kecil mendengar celetukkanku.
Ringisan kecil keluar begitu saja dari mulutku saat Do Hoon dengan enaknya menoyor kepalaku. "Jaga ucapanmu." Do Hoon kampret ini.
"Benar kok. Dia benar-benar adikku. Adik kandungku."
Aku hanya bisa meringis dan menunduk. Kasihan sekali Do Joon punya adik seperti Do Hoon mah. "Mwo?"
Eh? "Apa?"
"Kau tadi menggumamkan sesuatu kan?" tanya Seokwoo.
Oh tidak. Apakah tadi aku menggumamkannya dengan suara? Takut-takut aku melirik ke sampingku. Belum cukup apa kau tadi pagi membuat masalah dengan Do Hoon, Lee Do Young?
"Tidak. Tidak. Aku tidak ngomong apa-apa."
"Kalau begitu aku tinggal dulu ya. Aku ingin menemui temanku yang lain. Semoga kalian bersenang-senang disini." Do Joon tersenyum lagi. Adem sekali melihat senyumannya itu. "Do Young. Kapan-kapan semoga bisa bertemu lagi ya!"
"Tentu saja, Sunbae!"
Dengan begitu Do Joon meninggalkan kami berempat. Seokwoo, Yejoo, aku dan juga si manusia satu ini, Do Hoon.
"Jeogi.. Do Young-ah."
Aku menoleh menatap Yejoo. "Eo? Wae?"
"Aku minta maaf sekali. Tapi aku harus kembali sekarang. Manajer Nam tiba-tiba bilang ada pemotretan dadakan."
"Mwo? Ya! Choi Yejoo. Tapi kan kau sudah berjanji kalau akan membantuku mengerjakan tugas."
"Karena itu aku minta maaf. Lain kali aku akan mentraktirmu. Oke? Kau pilih saja mau dimana! Aku pergi sekarang ya. Manajer Nam sudah didepan. Hati-hati nanti pulangnya. Seokwoo Sunbae! Aku titip Do Young ya!" Yejoo berlari kecil begitu saja ke depan. Lihat saja nanti.
"Eo-eo!" Kutebak Seokwoo pasti kaget karena tiba-tiba Yejoo bicara begitu.
Hah. Sekarang aku harus sama siapa. "Do Young-ssi. Kau ingin berkeliling?"
Kukedipkan mataku beberapa kali sebelum aku mengangguk. Tak lupa aku juga menarik baju Do Hoon agar ikut bersamaku. Toh nanti aku bisa pulang bersama Do Hoon.
Wah. Ternyata kakaknya Do Hoon benar-benar berbakat. Selain tampan, tinggi dan baik, ternyata bakatnya juga ada. Tidak seperti seseorang yang ketus sekali.
"Do Young-ssi. Boleh minta nomor teleponmu?"
"Boleh. Sini ponselnya." Kuketikkan nomorku pada hapenya dan menyimpannya dengan namaku sendiri.
"Gomawo!" katanya seraya mengacak rambutku yang membuatku tersentak karena terkejut.
Aku tersenyum kikuk dan menyingkirkan kembali tangannya. "Tak apa. Cuma nomor doang."
"Kau ingin pulang sekarang? Sepertinya kau ada tugas tadi saat bicara dengan Yejoo."
Oh iya. Tugas untuk besok. "Iya. Sepertinya aku pulang sekarang."
"Kuantar ya?"
Wah. Baik sekali. Tapi aku justru menggeleng. Aku tidak mau menyusahkannya. Apalagi kami baru kenal. "Tidak. Tidak perlu. Aku bisa pulang dengannya." Kembali ku menunjuk Do Hoon yang ada disampingku.
Seokwoo terlihat menyelidiki Do Hoon, "yakin?"
Aku mengangguk mantap. "Aku tidak mau menyusahkan sunbae. Kalau begitu, aku pulang dulu ya." Setelah pamit aku menarik Do Hoon agar pulang bersama.
Di bis kali ini untungnya sepi jadi kami berdua bisa duduk walaupun bersebelahan. "Tidak mau menyusahkan? Cih. Hanya nomor? Astaga." Aku menoleh saat mendengar Do Hoon tiba-tiba berbicara sendiri. "Kau bahkan sudah membuatku susah dihari kedua kau pindah."
"Sunbae! Kau ini kalau bicara bisa tidak sih pakai perasaan. Itu bisa menyinggung orang loh."
"Tapi kau tidak kan?"
"Ya tidak sih." Ih nih orang ya. Kalau tidak balas bicara tidak bisa ya? "Tapi kau benar-benar berbeda dengan Do Joon Sunbae."
"Apalagi yang beda?"
"Dia--"
"Baik, tinggi, tampan dan berbakat." Do Hoon tiba-tiba menoleh dan menatapku dalam tanpa memberiku persiapan akan kelakuannya yang tiba-tiba. "Kenapa aku tidak? Begitu? Makanya aku berbeda darinya?"
Tanpa sadar aku mengangguk pelan. "Ta-tapi kau juga tampan dan tinggi. Bedanya hanya kau ketus."
"Bukan urusanmu aku ketus atau tidak."
"Cih. Dasar."
Bodolah. Aku ngambek padanya.