Hujan gerimis turun perlahan di kota. Dari balik jendela ruang kerja di kantornya, Naisha Zareen Ishraq menatap rintik-rintik air yang membasahi kaca. Matanya yang tajam menyiratkan keteguhan hati, tetapi ada bayangan kebimbangan yang sulit ia abaikan.
Ia duduk di balik meja kerjanya yang tertata rapi, dengan laptop terbuka, berkas-berkas laporan tersusun di sisi kanan, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin di sisi kirinya. Jadwalnya hari ini padat seperti biasa – back to back meeting dengan tim produksi, vendor, dan investor.
Sebagai pemilik sekaligus CEO dari Zareen Modest Wear, brand fashion muslimah yang sedang naik daun, Naisha terbiasa dengan kesibukan. Sejak ia merintis bisnis ini tujuh tahun lalu, hidupnya dipenuhi target, strategi pemasaran, ekspansi bisnis, dan perencanaan jangka panjang. Tidak ada ruang untuk hal lain, termasuk membahas topik yang akhir-akhir ini semakin sering muncul di sekelilingnya: pernikahan.
Ibunya, Hania, adalah sosok ibu rumah tangga yang penuh kasih. Namun, semakin hari, semakin terlihat harapan besar di mata wanita itu agar Naisha segera menikah. Terlebih lagi setelah adik perempuannya, Aira, yang lebih muda darinya enam tahun, telah menikah lebih dulu.
"Naisha, kapan kamu ada waktu? Ibu ingin bicara sebentar." Suara lembut ibunya terdengar dari telepon
"Ibu bisa bicara sekarang? Aku sedang di kantor, tapi ada waktu sebentar." Jawab Naisha, menyandarkan tubuhnya ke kursi
"Bukan di telepon. Hari ini bisa pulang cepat? Ibu ingin ngobrol langsung sama kamu." Ada sesuatu dalam nada ibunya yang membuat Naisha merasa tak nyaman. Namun, ia tahu, menghindar hanya akan memperpanjang situasi ini.
"Iya bu. Aku pulang kalo udah selesai rapat sore ini ya." jawab Naisha
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan karena hujan yang semakin deras, Naisha akhirnya tiba di rumah orang tuanya. Rumah yang besar dan nyaman itu masih terasa hangat baginya, meski ada tekanan yang tak terucapkan. Di ruang keluarga, ibunya sudah menunggu dengan secangkir teh melati kesukaannya.
"Sini duduk. Ibu engga akan lama kok." Ujar ibunya sambil tersenyum. Naisha duduk dan menggenggam cangkir teh di tangannya. Ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Naisha, Ibu sangat bangga dengan semua yang sudah kamu capai. Kamu adalah wanita hebat, cerdas, dan mandiri. Tapi..." ucap ibunya terputus
Naisha menarik napas dalam-dalam. "Tapi kenapa, bu?"
"Ibu hanya ingin kamu bahagia. Semua orang di keluarga besar pada tanya, kapan kamu akan menikah? Apa kamu engga pengen kayak Aira?" ibunya menatapnya penuh harap
"Bu, kebahagiaan itu bukan hanya soal menikah atau tidak. Aku menikmati hidup aku sekarang." Jawab Naisha dengan lembut, meski dalam hatinya ia mulai merasa lelah dengan pertanyaan yang sama dan berulang itu.
"Ibu, tahu tapi seorang wanita butuh pendamping. Ibu hanya engga mau kamu sendirian."
Hening sejenak. Naisha menatap ibunya, mencoba memahami kekhawatiran yang tersembunyi di balik desakan itu. Di satu sisi, ia ingin menenangkan ibunya. Namun di sisi lain, ia juga ingin mempertahankan prinsipnya.
"Bu, kalau menikah hanya karena tekanan sosial, apa itu akan menjamin kebahagiaan? Aku engga mua menikah hanya karena usia atau karena orang bilang begitu. Aku ingin menikah karena aku benar-benar yakin dan siap dengan pernikahan itu sendiri." Tutur Naisha. Ibunya terdiam. Ada kesedihan di mata wanita itu, tapi juga pengertian yang perlahan tumbuh.
"Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, Naisha. Kalau kamu udah menemukan seseorang, kasih tahu ibu, ya?"
"Insyaallah bu. Kalo aku udah nemuin seseorang yang tepat." Ucap Naisha tersenyum kecil. Di luar, hujan masih saja turun. Namun, di dalam hatinya, Naisha merasa bahwa perjalanannya baru saja di mulai.
*****
Malam itu sepulangnya dari rumah orangtuanya, Naisha duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Usia 30 tahun ternyata membawa banyak pertanyaan yang sebelumnya tak pernah benar-benar ia pikirkan. Bukan sekadar tentang menikah atau tidak, tapi lebih kepada apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup.
Apakah ia benar-benar belum siap menikah? Atau hanya takut menghadapi perubahan? Apakah hidupnya selama ini hanya tentang mengejar pencapaian, tanpa memikirkan sisi lain dari kebahagiaan?
Ia pun mulai berdiskusi dengan teman-temannya untuk mencari perspektif baru. Keesokkan harinya, sebelum pergi ke acara keluarganya, Naisha pergi ke kantor sahabatnya, Dea, seorang psikolog keluarga.
"Menurut kamu, pernikahan itu gimana sih, Dea?" tanya Naisha saat bertemu dengan sahabatnya, Dea.
"Zar, pernikahan itu bukan hanya sekadar tentang status atau memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi juga tentang kesiapan berbagi hidup dengan seseorang, dalam suka maupun duka. Kalo kamu masih ngerasa ragu, itu wajar. Jangan maksain diri hanya karena tekanan." Jawab Dea menyesap kopinya sebelum menjawab
"Tapi di usia aku sekarang ini, aku mulai bertanya-tanya. Apa aku yang terlalu egois sama hidup aku sendiri? Apa aku terlalu nyaman sendiri sampe lupa mempertimbangkan pernikahan?" tanya Naisha menatap Dea dengan serius
"Itu pertanyaan yang bagus. Tapi inget, menikah itu pilihan, bukan kewajiban. Kalo kamu pengen menikah, pastikan karena kamu betul-betul siap, bukan karena takut terlambat." Jawab Dea bijak
Namun, refleksi Naisha diuji kembali saat acara keluarga besar berlangsung. Di ruang tamu yang penuh dengan suara tawa dan obrolan, beberapa tante Naisha mulai mendekatinya.
"Naisha, kapan nih nyusul Aira? Masa adenya udah nikah, kakaknya belum?" tanya tante Laila dengan nada menggoda
"Iya, kamu kan udah mapan, cantik, sukses lagi. Apa lagi yang kurang?" tambah tante Farida
"Belum ada jodohnya, tante." Jawab Naisha tersenyum, mencoba mengendalikan perasaannya
"Ah, jangan pilih-pilih loh, Naish. Kadang yang terbaik itu bukan yang sempurna, tapi yang mau berjuang bersama. Ibu kamu katanya udah punya beberapa kenalan yang bisa dikenalin ke kamu." Ujar tante Sari semangat
Naisha melirik ibunya yang tersenyum kecil, tampak setuju dengan kata-kata mereka. Setelah acara selesai, Naisha berbicara dengan ibunya di dapur.
"Bu, kenapa harus sampe ngenalin aku ke laki-laki sih? Aku kan bisa cari sendiri kalo emang pengen nikah." Ucap Naisha dengan nada lelah
"Ibu cuman pengen bantu kamu, Naisha. Kamu kan terlalu sibuk sama kerjaan, gimana kalo jodoh kamu ada di luar sana tapi kamu engga sempet ketemu sama dia?" jawab ibunya
"Ibu, tolong ngertiin aku dong. Aku ingin menikah karena aku benar-benar ingin, bukan karena orang lain mengharapkannya," kata Naisha, kini lebih tegas.
Ibunya terdiam, tetapi Naisha bisa melihat kekecewaan di wajah wanita itu. Di malam itu, Naisha kembali merenung. Apakah ia mempertahankan prinsipnya atau mulai membuka diri? Pertanyaan yang kini semakin sulit untuk dijawab.
*****