Read More >>"> Cinta Yang Abadi (bagian 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Yang Abadi
MENU
About Us  

 

Harus darimana aku mulai mengisahkannya? Jika kamu ingin tahu semuanya itu mustahil, karena aku sendiri yang mengalaminya pun samar-samar mengingatnya. Semuanya berawal  dari kurang lebih tiga tahun lalu, saat dimana aku harus merasakan kembali sebuah perasaan yang sejatinya  membuat kita bahagia dan selalu bahagia. Ya, itulah cinta.

                Aku adalah type lelaki pembosan dan mungkin juga membosankan. Acapkali pacaran bagiku hanya sebuah permainan rasa, yang rasa itu kapanpun bisa pudar dengan mudahnya. Maka, tak heran jika aku belum pernah berpacaran lama, apalagi hitungan tahun. Menurut perhitungan kasarku mungkin paling lama tiga-empat bulan.

                 Namun berbeda dengan perempuan yang akan kuceritakan padamu ini. Dia lain. Dia special dan aku ingin selalu membuatnya tetap special. Ya, dia special. Dari sini aku tahu, ternyata tidak hanya martabak yang special. Hatiku terpaut dari sekitar tiga tahun lalu bahkan sampai detik dimana saat aku menulis kisah ini.

                Perempuan inilah yang membuat rasa itu kembali hadir dalam hatiku. Yang entah dalam beberapa tahun belakangan pergi kemana. Mungkin ditimbun oleh rasa kecewa dan perasaan lain yang selalu bertentangan. Yang sekaligus juga membuatku untuk pertama kali merasakan cinta pada orang yang sama dalam jangka waktu lama. Tiga tahun!

                Nama perempuan itu adalah Namza El-Asima. Aku sering memanggilnya: Bidadari, cinta, cantik dan yang lainnya. Nama samaran? Tentu saja! Aku takut jika kupakai nama aslinya kamu akan kepo dan mencari nama aslinya di internet, dan ketika kamu tahu bahwa dia memang special kamu akan mendekatinya.

 Aku khawatir kamu akan merebut dia dariku? Haha.. lelucon yang buruk. Jika kamu berpikir seperti itu, kamu salah besar! Karena yang benar adalah aku khawatir kamu ditolak mentah-mentah olehnya! Karena dia adalah perempuan yang tidak mudah untuk kamu taklukan, melebihi susahnya menaklukan gunung semeru, you know? So, stop!  Jangan coba-coba atau kamu akan sakit.

                Seperti yang sudah kamu baca di atas, bahwa kisah ini bermula pada tiga tahun lalu, saat dimana aku sudah tidak bisa lagi membendung perasaan yang sudah bergejolak dalam hati, itu tak bisa dihentikan, bahkan jika ditutupi. Bak ketika kamu merebus air dan titik didihnya sudah berada di atas, kamu tidak bisa membendung air itu untuk meluap dari panci, pilihannya hanya satu. Matikan apinya!

                Maka, begitupun dengan perasaan yang sudah mendidih dalam hatiku itu. Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan Asima tanggapi dengan perasaanku, aku hanya perlu mengungkapkannya! Karena aku sudah muak mengingu cinta yang terlalu berlebihan. Aku tak peduli jika kenyataannya Asima tidak merasakan apa yang kurasakan, karena sejatinya cinta itu hadir bukan karena saling mencintai tapi karena adanya rasa nyaman yang dirasakan. Walaupun kata novel ‘kata hati’ jika sekaligus dicintai itu akan lebih membahagiakan.

                Entah pada hari apa, tanggal apa, bulan apa, dan tahun berapa. Aku tak tahu dan juga tak ingin tahu. Aku hanya peduli pada perasaan yang kian hari kian menyiksaku karena terus mendidih dalam hati yang hanya sedikit daya tampungnya untuk rasa yang satu ini. Maka dari itu kami tak pernah ada ‘anniversary’-an gitu.

                “Aku cinta kamu, Asima,” kataku dengan bibir bergetar waktu itu.

                Hening. Hanya suara degup jantungku yang semakin cepat kudengar.

                “Maaf. Aku hanya ingin menyampaikannya saja, Asima. Aku tahu. Ini tidak sepantasnya aku katakan padamu.”

                Tidak pantas? Kamu tahu kenapa aku mengatakan itu? Ya, karena Asima saat itu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Namun seperti yang aku katakan sebelumnya, aku menyampaikan itu tidak menuntut balas. Namun hoki! Asima menyunggingkan senyumnya padaku! Senyum malu-malu perempuan, kamu tahu!? Senyum yang menyiratkan ‘juga’ di dalamnya!

                “Rebut aku, Tiar!” jawabnya lirih dengan menunduk

                Oh Tuhan! Terima kasih Kau ciptakan Asima! Kamu tahu? Itu sangat indah! Bahkan dengan bahasa ‘rebut’-nya itu. Kamu mungkin beranggapan caraku menyampaikan cinta sangat tidak romantis dan biasa. Ya, aku mengakui itu. Karena kisah ini tidak mengisahkan seperti halnya Dilan yang menyampaikan cintanya  secara unik di atas materai dalam novel ‘Dilan’, tidak seperti cara romantis Esok menyampaikan cintanya pada Lail saat dia sudah menciptakan kapal besar untuk membawa semua orang di bumi ke luar angkasa dalam novel ‘Hujan’, tidak seperti cara romantis Regha pada Jen dengan mengatakan ‘will you marry me?’ dalam novel ‘Call It Love’,  tidak seperti cara heroik menyampaikan cinta ala Ikal pada  A Ling dengan melewati laut yang angker dalam novel ‘Maryamah Karpov’ , dan juga cerita romantis dalam novel lainnya.

                Ya, kisah ini tidak seromantis itu. Tapi kisah ini hanya menceritakan sebuah ‘kesederhanaan “, yang dalam ‘kesederhanaan’ itu ada begitu banyak kebahagiaan dan kenyamanan yang tercipta. Karena untuk kami, dengan perasaan ‘cinta’ itu sendiri sudah membuat kami serasa paling bahagia di dunia ini.

                Kami memulai lembaran hari-hari bahagia kami. Namun tidak mudah, aku harus merebut Asima! Mungkin perlu aku ceritakan sedikit padamu kenapa aku harus merebut Asima agar tidak terjadi salah paham hingga kamu menganggap kami ‘berselingkuh’. Walaupun aku tidak peduli jika kamu beranggapan seperti itu. Toh anggapan itu tak akan merubah rasa cintaku pada Asima.

Asima adalah peremuan cantik berkulit putih, tidak hanya itu, sikapnya pun selalu membuat orang betah melihatnya. Dalam Bahasa Al-Qur’an sering dikatakan dengan Qurrota A’yun . Maka tak heran jika banyak laki laki yang menyukainya.

Sangat beruntung bisa disukai oleh perempuan yang disukai banyak lelaki. Kataku dalam hati

Namun meskipun cantik dia adalah perempuan yang jutek dan cuek, sangat susah untuk mendekatinya—bahkan teman-teman lelakinya, termasuk aku dulu—dia sangat menjaga harga dirinya sebagai wanita, dia sangat menghargai wajah cantiknya dengan tidak banyak melakukan hal yang banyak menyita perhatian orang. Seperti sengaja berjalan-jalan ke mall atau tempat lainnya dengan sengaja.

Maka, saat ada seorang lelaki yang bisa mendapatkan cintanya, sangat susah untuk lelaki itu melepaskannya. Dan dalam kasus ini, lelaki ini sangat keras kepala—bahasa keras kepala ini kerap kali jika aku mengatakannya,  Asima pasti akan menjawab ‘kalau gak keras mah bahaya, atuh’—Oke kembali, lelaki ini cinta mati ke Asima. Laki laki itu tidak peduli bahkan jika Asimanya sudah tidak cinta lagi padanya, yang penting dia selalu bersama Asima. Tapi Asima sudah tidak cinta lagi pada lelaki itu, tapi Asima tidak pernah bahkan sampai sekarang mengatakan secara jentre kalau dia memang tidak cinta lagi pada lelaki itu, Asima hanya memberi kode yang biasa—tapi lelaki itu bisa saja tidak mengerti bukan?—maka urusan ini paling susah untuk diselesaikan. Dan lelaki itu selalu memaksa Asima untuk tidak pernah pacaran lagi bersama yang lain. *kok banyak tapinya ya? Gak apa apa, lah.

Itu kenapa aku harus merebut Asima!

                Sudahlah, aku tidak ingin membahas bahasan sensitive itu. Singkat cerita masalah itu beres dan aku dengan Asima hidup bahagia selamanyaa. Wah kecepatan yah?

                Suatu hari aku bersepeda dengan Asima di daerah dago.

“Aku menaaaannnggggg!” seru Asima di depanku

“Aku, kan, engga ngajak balap, As”

“Ah, pokoknya aku menang”

“Iya, deh, kamu, kan,  emang selalu juara di hati aku.”

Dia tersenyum. Ah! Indah sekaliiii. Kebahagiaaan lelaki itu terletak saat dimana membuat orang yang disayanginya tersenyum!

Banyak momentum yang membuatku selalu menjadi orang yang paling bahagia, Asima lah yang membuatnya. Hanya perlu senyumnya, aku akan bahagia.

Suatu hari pada saat libur aku berjalan-jalan mengitari sekolah Asima yang sekaligus ‘mantan’ sekolahku juga, namun tempat itu masih menjadi rumah untukku. Asima menunjukkan bangunan-bangunan baru yang ada di sekolah. Aku terpana. Ternyata sekolah ini semenjak aku keluar jadi semakin luar biasa.

Kami duduk berdua di atas rerumputan yang cukup rimbun namun rapi. Tempat itu berada di lantai atas tepat di depan kelas yang tak berpintu dan berjendela itu.

“Sekolah ini tak pernah berhenti membuatku terkejut As, semakin hari selalu semakin terlihat indah dan cantik,” kataku memecah hening

Asima hanya tersenyum.

“Namun sayang,”

“Sayang apa?

“Sayang kamu, lah, As.”

Asima tertawa. Aku tersenyum simpul.

“Yang bener, ih!”

“Sayang.. keindahan dan cantiknya masih belum bisa ngalahin kamu, As.”

Sekarang pipinya merah merona. Wajahnya ditundukkan menyembunyikan wajah cantiknya.

“Makanya sekolah di sini lagi, Tiar.”

“Engga, ah, takut deket terus sama kamu,”

“Yaudah.” katanya menjadi dingin.

“Kalau terus deket kamu setannya makin banyak. Bahaya!”

“Hahaha.. iya juga, sih.”

Setelah lama berbincang, tenggorokan terasa  kering, kami langkahkan kaki menuju kantin sederhana yang ada di bawah masjid sekolah itu. Asima masuk ke kantin dan membuat sendiri es kelapa dan es jeruk.

“Es jeruk-nya manis, lho, As. Cobain, deh!” kataku

Asima mencobanya. Seregut dan puaaahhh! Asima menyemburkannya ke tanah.

“Ih, jail! Asem gitu!”

“Ah, masa, sih? Oh iyah, kamu engga  sambil lihat wajah kamu, sih.” kataku

“Jadi supaya manis harus sambil ngaca gitu?”

Kami pun tertawa.

“Mau cobain es kelapanya? Ini, mah, beneran manis!” katanya

“Engga, ah, kalau manis nanti giung”

“Emang aku gula!”

“Emang gula,” kataku. “kamu, kan, suka dikerubungin semut.”

“Ih, gak mau!”

“Kalau semutnya aku, gimana?”

Dia tertawa.

“Boleh, boleh.” setelahnya.

Matahari sudah berada di kaki barat kala itu. Kami harus segera meninggalkan sekolah dan pulang. Aku mengantarnya sampai gerbang rumahnya.

“Masuk dulu, yuk!” ajaknya

“Engga, ah.”

“Kenapa?”

“Takut ketemu bapak kamu,”

“Takut kenapa?”

“Takut dinikahin!”

Asima tertawa lagi.

“Lebih bagus, dong!” serunya

“Engga, ah, gak gentle kalau disuruh bapak kamu nikahnya. Nanti aja aku yang bilang ke bapak kamu: Pak! Saya ke sini mau rebut anak bapak dari bapak!” kataku dengan mimik dan gestur ala pahlawan difilm-film. “kayanya kalau gitu lebih gentle, deh.

“Hahaha. Siap, captain! Segera rebut aku!” katanya dengan senyum indah dengan semburat orange senja itu. epic sekali kawan!

Aku mengangguk. Dan selanjutnya hanya suara deru motor meninggalkan rumah itu.

Asima harus pergi waktu itu—lebih tepatnya semua penduduk sekolahnya—Mereka pergi untuk belajar Bahasa inggris di kampung Inggris, Pare, Kediri. Ya, akupun harus menjalani LDR. Hanya dengan modal sinyal kami bisa mengobrol. Namun memang tidak mudah menjalani hubungan jarak jauh, bahkan ketika hatiku sudah dipenuhi dengan beribu kepercayaan yang kupupuk untuk Asima, cemburu itu selalu datang.

Entah jam berapa waktu itu—jam 23.00 tidak salah—saat pertama kalinya aku merasa badanku merasa panas bukan karena sakit meriang tapi karena marah. Aku masih chating  waktu itu dengan Asima.

“Tidur, As. Udah larut.” kataku.

“Iya,se bentar lagi, masih di camp ini, masih ngobrol sama bapak.”

Aku tersentak. Badanku memanas seketika. Degup jantung berdetak tak beraturan. Kujauhkan handphone dari jangkauan tanganku. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. Kubuka lagi riwayat chating-nya, tak ada yang berubah. Gila! Gumamku dalam hati.

“Oh, iya.” balasku dengan malas.

Dan selanjutnya hanya chating-an yang memuakkan untukku. ‘Bapak’ yang dimaksud Asima di sana bukan bapak sedarahnya, namun beliau adalah Pembina sekolah Asima. Selang beberapa waktu aku teringat pada kakak kelasku yang dulupun sama sangat dekat dengan ‘bapak’ yang disebut Asima. Aku segera menyapanya untuk meluruskan beberapa hal.

“Teh, teteh kalau dulu jam segini—waktu itu jam sebelas malam lebih beberapa menit—Suka ngobrol apa aja?” tanyaku langsung pada pokok pembahasan

“Kok, tiba-tiba nanya itu?”

“Gak apa-apa, mau tahu aja.”

“Seinget teteh, teteh gak pernah semalem ini kalau ngobrol sama bapak, Ka—sebutannya padaku—”

Hatiku kembali memanas. Bahkan teteh ini pun tidak pernah semalam ini!? Bah!

“Teteh biasanya suka ngapain aja?”

“Ngobrol biasa aja, Ka. Nemenin bapak. Kalau-kalau penyakit jantungnya kumat,”

Deg! Hatiku sedikit luluh mendengar kata-kata terakhirnya. Aku kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan melalui hidung.

“Walaupun teteh jarang ngobrol, sih, sebenarnya. Cuma ngoprek hp aja, teteh, mah. Hehe.. kadang juga suka pura-pura ngantuk teteh, mah, supaya gak terlalu malem nemeninnya, hehe..”

“Ih, gak bener nemenin teh. Dasar.”

“Da takut, atuh, Ka, kalau kemaleman, mah.

“Haha.. Iya, sih.”

Obrolan kamipun terhenti sampai situ. Setidaknya itu cukup untuk membuatku kembali tenang. Dari dulu bahkan sampai sekarang, ketika kami sudah dipisahkan oleh jarak, daya membuat tenangnya tetap selalu ada untukku adiknya. Aku jadi teringat Asima . aku pun ingin selalu membuat Asima tenang di sisiku.

Kejadian ini mengingatkanku pada beberapa kejadian tahun lalu saat aku dan kakakku mengambil ijazah ke ‘mantan’ sekolahku. Saat itu tepat ketika aku dan kakakku masuk ke kantor guru favoritku, di sana sudah ada guru favoritku duduk di sebuah sofa dengan tiga kursi, beliau duduk di tengahnya dan dikedua sisinya ada kedua teman perempuanku dulu sedang memijat beliau. Aku sudah lazim melihat pemandangan ini, namun lain dengan kakakku. Dia terlihat tercengang.

cabul kitu guru maneh, teh, Boy!” katanya ketika kami dalam perjalanan pulang.

Kamana wae ngomong, teh, bebel!” bentakku

Teu kamana wae. Tinggali, weh, maenya di kantor kosong eweuh sasaha. Eta guru ente sorangan diriung kudua awewe. Nu kitu naon ngaranna ai lain mesum?

Eta teh metode ngakader!” kataku naik darah karena tidak terima dia menjelekkan guruku.

Loba keneh metode kaderisasi nu leuwih alus ti eta!” katanya lebih tegas.

Aku diam. Menggerutu dalam hati. Wajar jika kakakku mengatakan hal itu sebenarnya, karena dia dari tingkat SMP sudah dipesantrenkan di pesantren yang ketat hijabnya antara laki-laki dan perempuan. Namun setelah beberapa tahun, aku mengerti dengan apa yang dikatakannya. Bagaimana ketika aku disuguhi banyak hadist yang menyatakan bahwa tidak boleh perempuan dan laki-laki untuk saling bersentuhan.

Aku merinding. Saat itu guruku menyuguhiku hadis yang mengatakan bahwa—kurang lebih: “Lebih baik menyentuh seribu jarum daripada harus menyentuh kulit seorang wanita yang bukan muhrimnya!”

Aku semakin sadar akan hal itu ketika mengigat kembali saat teteh yang dekat dengan ‘bapak’ itu dulu pernah mencium pipiku! First kiss! Ah! Pengkaderan? Macam apa? Bagaimana yang dikader secara khusus dengan mengobrol sampai malam bisa melakukan hal itu? rasanya semua husnudzonku luntur sudah saat itu. Maka dari itu, mungkin kamu bisa memakluminya kenapa darahku mendidih ketika mendengar Asima masih mengobrol selarut ini.

Mungkin saja, tidak sepantasnya aku melarang Asima untuk ‘berbaur’ dengan yang lain. Namun salahkah juga jika aku menuntut suatu hal yang sudah pula aku lakukan? Menjauhi perempuan dan tidak menyentuh wanita yang bukan mahramku? Toh aku menuntut itu bukan untuk diriku sendiri. Untuk kebaikannya. Aku tidak bisa memberitahu semua mantan ‘temanku’ di sana, jadi aku rasa setidaknya aku bisa memberitahu Asima.

Belum selesai masalah ini, masalah selanjutnya pun datang tanpa menunggu intruksi dari masalah pertama untuk masuk ke dalam hidupku. Oh Tuhan! Susahnya memiliki hubungan yang dipisahkan jarak ini. Keluhku dalam hati.

Datang seorang lelaki yang jago Bahasa Inggris dan gagah dalam kehidupan kami. Ya, guru privat inggrisnya di kampung inggris. Lelaki itu bernama Kamal. Dia jatuh cinta pada pesona yang terhambur dalam diri Asima.

Jika hanya itu aku sedikit pun tidak peduli! Ada banyak lelaki lain yang mencintainya, aku tahu! Namun bukan di sana letak memuakkannya.

“Kamu cinta juga sama a Kamalnya?” tanyaku saat Asima memberitahukan tentang Kamal.

My love just for you, Tiar.”

Jika tidak ada masalah yang mengganjal itu aku pasti akan bahagia setengah mati membacanya.

“Okelah kalo begitu,” jawabku “Itu bacanya harus sambil nyanyi, yah.”

“Haha.. gak mau, ah, suara aku, kan jelek!”

“Cinta yang akan mengubahnya jadi bagus.” jawabku tanpa ekspresi.

Ya, walaupun Asima sudah mengatakannya padaku bahwa cintanya hanya untukku, namun mantan temanku berkata lain.

“Perempuan itu genit orangnya, suka tebar pesona. Manfaatin cantiknya! Padahal aku sudah cerita ke dia kalau aku suka sama guru itu. Katanya dia bilang dia ngedukung, tapi akhirnya nikung!”

“Emang perempuan itu cinta juga sama guru itu?”

“Bilangnya, sih, engga. Tapi nyatanya hampir setiap hari ngobrol sama chatingan. Malah aku pernah lihat kalau perempuan itu pernah ‘sayang-sayang-an’”

“Serius? Masa, sih!? Screenshot, dong, aku lihat!”

“Nanti saja.”

“Aku tunggu. Segera!”

‘Perempuan itu’ di sana adalah Asima. Asima? Genit? Suka tebar pesona? Hey! Sejak kapan? Aku tidak percaya! Namun keadaan segera memaksaku untuk percaya. Semua teman dekatnya ketika aku tanya tentang sikap Asima mereka sama-sama jawabannya: Asima genit!

Oh, hancurkan hatiku, Tuhan! Aku tidak mau merasakan sakit ini.

Ini kenapa aku tidak ingin merasakan rasa cemburu, efeknya benar-benar mengahancurkan.

“Kalau gak cemburu berarti gak cinta.” kata Asima suatu hari.

“Masih ada banyak hal yang bisa nunjukin kalau seseorang cinta selain dengan rasa cemburu.” jawabku.

Beberapa saat setelahnya hp-ku berdering. Ada kiriman screenshot, di bawahnya mantan temanku itu mengatakan.

“Kayanya chating yang sayang-sayang-annya sudah dihapus, tapi adanya ini.” di atasnya sudah ada screenshot obrolan antara Asima dan Kamal.

“Teteh cepet tidur, udah malem.”

“Iya, Mr, teteh tidur, bye.”

“Bye.”

Itu isi screenshot yang dikirimkan. Hatiku memanas, pikiranku kacau. Teteh? Hey! Aku tahu! Hanya orang-orang tertentu yang bisa memanggil Asima dengan sebutan itu! Dan Asima pun menanggapi itu dengan menyebut dirinya sendiri  ‘teteh’ juga. Bah!

Setelah sedikit merasa tenang aku merasa bersalah sampai mengorek privacy Asima sedalam ini, bagaimanapun aku tidak mempunyai hak untuk ini. Ah, cemburu! Kau membunuh akal sehatku!

Sedikitpun aku tidak ingin marah pada perempuan yang aku cintai, maka aku memilih diam dan bersikap dingin saja pada Asima.

Namun Asima merasakan perubahanku.

“Kamu kenapa, Tiar?”

“Gak apa-apa.”

“Gak akan gini!”

“Emang selalu gini, As.”

“Yaudah!”

Entah kenapa, jika perempuan sudah mengatakan kata terakhir itu hatiku tidak bisa lagi menahan marah. Namun aku sudah bulat, tidak akan marah!

“Kenapa jadi marah, As?” aku mencoba bertanya selembut mungkin.

“Tau!”

Aku menepuk jidat dan mengurut dada.

“Iyah karena aku kamu marah. Maaf.”

Sudah seharusnya laki-laki yang berpikir dengan rasional tanpa menggunakan emosional disaat seperti ini bukan?

“Apaan, sih!”

“Jangan marah terus nanti jadi cantik,” kataku. “Nanti cantiknya di depan orang lain bukan di depan aku, gak boleh!”

“Biarin!”

Ah! Percakapan itu kembali menghantuiku. Perempuan itu genit orangnya, suka tebar pesona. Manfaatin cantiknya!

“Iya, silakan!” kutekan tombol enter keyboard dengan keras.

Setelah beberapa lama, hp kembali berdering. Dari Asima.

“Maaf, Tiar. Maaf..”

Pikiranku sudah kacau tak menentu.

“Gak apa apa,” kataku. “Silakan. Kamu harus tampil cantik di depan guru privat itu kan? Aku ngerti, kok. Supaya bisa terus ngobrol dan chating pake ‘teteh-teteh-an’. Silakan.”

“Jadi karena itu sikap kamu berubah.”

“Hahahaha.”

“Maaf, Tiar..”

Kenapa kamu gak ngerti sih!? Celotehku dalam hati. Hey! Ini bukan sinetron yang ketika salah seorang pasangan berselingkuh yang diselingkuhi tidak membutuhkan penjelasan! Ini kisah nyata, bukan sinetron. Aku ingin penjelasan Asima!

“Kenapa gak ngejelasin kenapa ngelakuin itu!? Karena emang bener!?” kataku jengah.

“Bukan gitu, Tiar,” katanya. “Dia belajar Bahasa Sunda sama aku, makanya aku tanggapin.”

“Hahahahahaha.. terus ada sayang-sayang-an juga yah belajarnya!?” aku semakin mengintrogasi.

“Dia emang sempet manggil sayang ke aku, tapi aku engga tanggapin kok, Tiar.”

“Tapi dibiarin aja, karena kamu seneng sama panggilan itu, gitu!?”

“Maaf, Tiar. Aku gak enak buat ngelarangnya.”

“Hahaha.”

“Maaf maaf maaf.”

Aku membeku.

“Aku sudah bilang semuanya sama kamu, selebihnya terserah kamu.” katanya

Hey! Lelaki mana yang akan tega melihat seorang perempuan mengatakan hal itu? Aku kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Menenangkan diri. Asima pasti sangat sedih pada sikapku belakangan ini. Sungguh! Aku merasa menjadi seorang laki laki paling buruk telah membuat Asima bersedih.

“Maaf, As..”

“Aku yang harusnya minta maaf, Tiar.”

“Aku!”

“Yaudah saling memaafkan aja.” Asima menengahi.

“Belum lebaran.” kataku

“Haha.. Makasih karena udah kembali.”

“Ma Aura dulu sebelum Ma Kasih, As.”

“Haha.. iya bener. Ma Aura, Tiar.”

“Ma Asima.”

“Kok, Ma Asima?

“Maunya ke Asima, bukan ke Aura ataupun ke Kasih.”

“Aku juga maunya ke kamu, Tiar.”

Aku tersenyum. Dan gunung yang berisi masalah itupun sudah hancur luluh lantah oleh gempa cinta yang Asima berikan.

Malam itu tangan tiba-tiba gatal ingin menuliskan sesuatu. Penapun mengalun dengan cepat di atas warna putih bersih.

 

 

 

 

 

 

TAK TAHU MALU

Cemburu:

Kau tak pernah ingin berkompromi

Kau sudah seperti jelangkung;

Datang tak diundang dan pergi tak tahu malu

Kau datang;

Datang tak pernah mengenal

Mengenal yang kau cemburui seorang muda atau tua

Teman atau musuh

Bahkan,

Manusia atau benda!

Kau pergi;

Setelah membuatku marah

Membuatku hilang akal.

Kau!

Benar-benar tak tahu malu.

Sudah dua minggu Asima berada di kampung inggris. Rasa rindu sedikit demi sedikit menelusup ke dalam dada. Aku mencoba menahannya, namun sialan! Rasa itu semakin beringas dan aku tak bisa lagi menahannya. Maka aku dapat pelajaran cinta mengenai hal ini: Jangan pernah kamu coba untuk menahan rasa rindu, karena kamu tak akan pernah mampu!

 

 

 

 

 

 

 

 

Rindu

Aku rindu kamu sekarang.

Hari ini,

Hari Senin

Kemudian Selasa,

Rabu,

Kamis,

Jum’at,

Sabtu,

Minggu.

Dan selamanya;

Selamanya kamu milikku!

Aku mencoba mencari-cari kegiatan untuk sekedar menghilangkan Asima dalam pikiran, namun, hei! Aku tak akan pernah bisa berhenti memikirkan bidadari itu! Aku menyerah!

“Aku rindu kamu, Tiar.”

Oh. Ternyata Asima sama-sama merasakannya. Aku tak tega, pasti dia merasakan juga apa yang kurasakan.

“Boleh aja, kok.” kataku santai

“Iyalah, masa gak boleh.”

“Bisa saja gak boleh,”

“Emang kenapa?”

“Karena aku sayang kamu.”

“Hahaha. Gak nyambung!” katanya

“Tapi hati kita udah nyambung kan?”

“Haha.. iya udah.”

“Aman kalau gitu.”

“Aku emang selalu aman kalau deket kamu.”

Aku tersenyum simpul dan kembali mengambil pena.

TERSENYUMLAH!

Aku bahagia

Karena kamu bahagia

Tersenyumlah!

Karena itu menandakan kamu bahagia

Dan  bahagia menurutku

Adalah kebahagiaanmu.

Hanya beberapa hari lagi saat itu sebelum Asima kembali ke Bandung. Sambil menunggu itu aku langkahkan kaki untuk mencari keindahan yang lain selain Asima—gunung—namun sayangnya memang tidak ada yang lebih indah ciptaan Allah selain Asima. Oh, Asimaku, beruntungnya aku.

Sedikit bertafakur ketika menjelajah gunung ini. Aku selalu suka mendaki gunung, dan setiap kali melihat gunung aku selalu terpesona melihat keindahannya dan terkadang melupakan keindahan gunung lain yang pernah aku tapaki. Aku harap kamu beruntung memilikiku Asima, karena kamu berbeda dengan gunung-gunung yang pernah aku tapaki, keindahanmu tak pernah tergantikan!

TIADA DUANYA!

Gunung ke gunung

Keindahan gunung ini membuatku berpaling

Dari gunung lain yang pernah aku tapaki

Gunung ini lebih indah

Aku pun berpaling

Namun tahukah kau?

Banyak wanita yang indah pula

Namun hatiku selalu berkata lain

Kau:

Tentang keindahan

Tiada duanya!

Akhirnya derita rindu saat itu diobati. Asima datang secara mengejutkan ke rumahku—dia sudah mengenal keluargaku dan sebaliknya—

“Tiar! Itu ada Asima.” teriak ibuku

“Ah, isengnya gak asik bu.” timpalku berteriak

“Serius!” kata ibu

“Iyah serius!” tambah suara yang sangat kukenal: Asima!

Aku meloncat. Segera keluar dari kamar. Ah, bodohnya aku membiarkan seorang perempuan mendatangiku. Harap jangan dicontoh para lelaki!

Aku mengatupkan kedua telapak tanganku di dada memberi salam kepada Asima. Dia membalasnya disertai senyuman terindah sedunia, lebih indah dari seorang pramugari dan penjaga kasir di mall-mall  yang sudah dilatih khusus untuk itu! Hey, senyum Asima lebih indah dari senyum mereka, kamu tau kenapa? Karena cinta! Senyumnya disertai cinta!

Saat itu aku izin pada ibuku untuk pergi bersama Asima melepas rindu. Kuajak Asima untuk main ke sekolahku, ke lantai atas. Di lantai atas aku sudah membawa makanan ringan, seblak, dan cimol. Makanan sederhana namun dengan bumbu cinta itu serasa istimewa.

Tanpa sepengetahuan Asima sebelum naik ke lantai atas terlebih dahulu aku mengajak pak Anang—satpam di sekolahku—untuk mengikuti kami secara diam-diam ke atas.

Hayu atuh, pak! Demi kebaikan bersama.”

Rek naon atuh di luhur duduaan, meni di luhur bobogohan teh dinu leuwih alus atuh.”

“Meh irit atuh pak Anang! Hayu, lah! Engke diududan.” kataku

Hayu atuh ai kitu mah.”

“Euhh! Pokona mah mun aya nu mencurigakan langsung gebrak naon weh nya, pak!”

“Siap!”

Di lantai atas itu memang bukan tempat romantis, namun tempat itu selalu membuatku nyaman, apalagi kalau ada Asima di tempat itu.

“Maaf yah gak bilang dulu kalau bakal ke rumah” Asima membuka percakapan

“Iyah, ah, gak bener. Belum kasep nih!”

“Hahaha.. selalu ganteng kok kamu, mah,” katanya. “Aku bawa gantungan nih dari Pare. Maaf Cuma bawa itu oleh-olehnya.”

Wow! Cuma gantungan? Bodoh! Gantungan itu sudah dipegang Asima, itu sangat special! :D

“Apapun yang sudah kamu pegang semuanya pasti jadi special, As.”

Asima tertawa.

“Rindu berat nih sama kamu.” kata Asima

“Aku rindu mama kamu.”

“Ih gitu!”

“Aku bikin puisi buat mama kamu, lho. Dengerin!”

“Harusnya juga buat aku!” katanya cemberut.

Aku langsung mulai berpuisi tanpa menghiraukau cemberutnya.

“Mamah,”

“Ih! Aku dikacangin!”

“Mamah Asima bukan mamah aku.

Makasih (Ma Aura dulu yah?)

Ma mamah aja.

Ma mamah udah lahirin Asima,”

                Asima tertawa. Ah, senangnya.

                “Jangan dulu ketawa. Ini serius” kataku so’ serius

                “Haha iya maaf maaf.”

“Pasti sakit lahirin Asima

Mamah aku juga sama kok bu

Sakit ngelahirin aku

Coba deh curhat berdua,”

“Ini puisi apa, sih?” kata Asima sambil tertawa terbahak-bahak

“Bu, Asima-nya buat aku aja ya!

Daripada Asima bikin ibu sakit lagi

Asima jinak kok bu

Kalau sama aku

Jadi fix ya

Asima buat aku.

Makasih, bu

Ma Aura dulu yah?

Yaudah

Ma mamah aja.”

Asima pun tertawa terbahak-bahak saat itu juga.

“Baru nemu puisi yang kaya gitu, Tiar. Sumpah!” katanya dengan sisa tawanya

“Aku juga baru nemuin orang kaya kamu,” kataku. “Cantik, pintar, menghangatkan, menyamankan, perfect!

“Gombal!”

Kami pun tertawa.

Sore itu benar-benar hangat. Matahari beranjak pergi meninggalkan kehangatan. Dan Asima datang membawa kesejukan.

“Belakangan ini aku suka nonton drama korea loh, Tiar. Suka. Romantis cowonya. Walaupun gak ada yang lebih romantis dibanding kamu, sih.”

“Aku lebih suka nonton kamu.”

“Aku juga lebih suka nonton kamu.”

“Aku kemarin nonton film yang nama pemerannya Asma tapi dipanggil Ashima sama pacarnya.”

“Terus?”

“Yaa.. seterusnya kamu buat aku.”

“Serius, Tiaaarrr!”

“Serius, forever you Asima for me, not Ashima.

Asima pun tertawa.

“Asima..”

“Iya?”

“Bukan gitu jawabnya!”

“Gimana dong?”

“Panggil nama aku lagi, ih!”

“Emang kenapa?”

“Seneng aja denger kamu nyebut nama aku. Karena nyebut namanya beda sama yang lain.”

“Tiar, Tiar, Tiar, Tiar, Tiar, Tiar, Tiar, Tiar.”

Kami pun tertawa terbahak-bahak, dan itu membuat kami kehausan.

“Haus, nih, kamu lupa beli air minum tuh!” protes Asima

“Aku lupa. Terlalu gugup mau jalan bareng  kamu, ingatnya cuma kamu.”

Dia tersenyum dan pipinya merah merona. Namun dia menunduk tetap menghargai harga dirinya sebagai wanita.

“Minum air ludah aku aja, nanti dikumpulin.” usulku

“Ih, jorok!”

“Aku mau air ludah kamu. Tapi langsung dari mulutnya.” kataku secara spontan.

Asima terdiam, lalu menatap wajahku lekat-lekat, begitupun dengan aku. Tak terasa wajah kami kian mendekat, pikiranku kosong, hanya tinggal beberapa senti lagi sampai wajah kami bertemu…. Brak! Kami tercengang dan langsung menundukkan kepala masing-masing. Aku tersenyum getir. Terima kasih, pak Anang.

“Maaf, As.” kataku bergetar.

“Sama-sama.” katanya masih dengan air muka marah atau malu aku tak tahu.

Aku merasa bersalah karena terbawa nafsu waktu itu.

“AAAAHHH!” aku berteriak, Asima melonjak.

“Ada apa?” tanya Asima.

“Ada kamu,” jawabku. “Di hatiku. Selamanya.”

Asima tersenyum kembali dan itu senyum yang paling indah yang pernah aku lihat! As, senyummu, adalah termasuk dalam keajaiban dunia!

Begitulah kisahku bersama sang Bidadari. Kamu bertanya apa akhirnya? Happy, kah? Sad, kah? Biar kukatakan. Kisah ini tak akan pernah berakhir! Kisah cinta ini tak akan berakhir bahkan jika semua yang ada dalam dunia ini berakhir! Tak ada yang abadi kata Ariel? Dia tidak mengenal kami, dia tidak mengenal cinta kami. Cinta kami lah yang abadi!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Anis12

    kak, gimana caranya publish story ya?

    Comment on chapter bagian 1
Similar Tags
V'Stars'
1301      584     2     
Inspirational
Sahabat adalah orang yang berdiri di samping kita. Orang yang akan selalu ada ketika dunia membenci kita. Yang menjadi tempat sandaran kita ketika kita susah. Yang rela mempertaruhkan cintanya demi kita. Dan kita akan selalu bersama sampai akhir hayat. Meraih kesuksesan bersama. Dan, bersama-sama meraih surga yang kita rindukan. Ini kisah tentang kami berlima, Tentang aku dan para sahabatku. ...
Bersama Bapak
634      458     4     
Short Story
Ini tentang kami bersama Bapak. Ini tentang Bapak bersama kami
HER
552      315     2     
Short Story
Temanku yang bernama Kirane sering memintaku untuk menemaninya tidur di apartemennya. Trish juga sudah biasa membuka bajunya sampai telanjang ketika dihadapanku, dan Nel tak jarang memelukku karena hal-hal kecil. Itu semua terjadi karena mereka sudah melabeliku dengan julukan 'lelaki gay'. Sungguh, itu tidak masalah. Karena pekerjaanku memang menjadi banci. Dan peran itu sudah mendarah da...
Ibu Mengajariku Tersenyum
1149      569     0     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Young Marriage Survivor
2672      936     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...
Hujan [COMPLETED]
419      292     5     
Short Story
Jariku mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir. Apa yang sekarang terjadi pada gadis itu? Hidupnya dulu merana, tak tega melihatnya. Gadis itu menghadapi orang-orang yang tak bersahabat. Jika aku menjadinya, lebih baik mati saja. Manusia di dunia ini begitu jahat.
P.E.R.M.A.T.A
1637      836     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
Orang Ladang
922      547     5     
Short Story
Aku khawatir bukan main, Mak Nah tak kunjung terlihat juga. Segera kudatangi pintu belakang rumahnya. Semua nampak normal, hingga akhirnya kutemukan Mak Nah dengan sesuatu yang mengerikan.
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5749      1446     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
117      82     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...