Bumi Yang Merindukan Bulan
Usiaku kala itu masih 11 tahun, pertemuan yang memalukan jika diingat. Kala itu aku sedang duduk menangis dibawah pohon akasia. Dia mengayuh sepedanya dan mendatangiku. Dia ikut berjongkok di depanku.
“Mengapa kamu menangis, apa karena lututmu yang berdarah?”tanyanya sambil menatapku. Aku masih ingat bagaimana mata bulatnya begitu polos menatapku dengan rasa penasaran yang membuatku terpesona.
“Tidak, aku tidak menangis karena ini,”jawabku dengan sedikit berteriak menutupi rasa gugup sekaligus malu karena ketahuan menangis.
Dia mengernyit heran “Lalu, mengapa kamu menangis? Kata ayah anak laki-laki itu gak boleh cengeng”
“Kamu siapa? Aku gak cengeng. Jangan sok tahu deh!”bentakku.
“Okay, kalau begitu bagaimana kalau kita kenalan saja, namaku Bulan, siapa namamu?”tanyanya sambil mengulurkan tangan tanpa sedikit pun takut dengan bentakanku.
“Aku nggak mau kenalan sama orang yang bukan temanku.”
“Yasudah kalau begitu kita temenan aja. Kamu mau nggak jadi temen aku?”
“Aku hanya berteman dengan orang yang gak bakalan meninggalkan aku.”
“Aku nggak bakalan ninggalin kamu kok,”katanya meyakinkanku.
“ Baiklah kalau begitu kita berteman. Namaku Bumi.”
“Yeyyyy, akhirnya Bumi mau berteman sama Bulan”soraknya.
Aku hanya tersenyum melihat dia begitu gembira.
“Jadi, kenapa tadi Bumi menangis di sini,”tanyanya.
“Ayah dan ibuku akhir-akhir ini sering bertengkar di rumah dan tadi aku mendengar mereka akan bercerai,”jawabku.
“Emang bercerai itu apa ?” tanyanya bingung.
“Bercerai itu artinya berpisah. Ayah dan ibuku nggak bakal bareng-bareng lagi.”
“Oh, yaudah Bumi jangan sedih nanti Bulan bantu deh supaya orang tua Bumi nggak berecai.”
“Bercerai Bulan, bukan berecai,” kataku membenarkan.
“Hehehe. Itu maksut aku. Yaudah kamu jangan sedih lagi ya. Lebih baik kita main di taman aja sambil makan es krim. Kalau aku sedih pasti Bunda aku ngasih aku es krim dan aku nggak sedih lagi.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar celotehan dia dan entah mengapa gadis 8 tahun itu bisa membuat aku melupakan kesedihanku
Entah sudah berapa bulan waktu yang telah kami lewati bersama, dan aku baru tahu bahwa rumahnya ada di depan rumahku dan selama itu pula setiap hari kami bermain bersama. Lebih tepatnya dia yang selalu mengajakku bermain. Dan aku hanya mengikutinya. Ya, aku adalah orang yang pasif dalam berteman dan dia adalah satu-satunya teman yang bertahan bersamaku. Dia adalah bulan untukku, ya persis seperti namaya dia datang memberikan secercah cahaya disaat kegelapan datang padaku. Dengan kecerian dan kesederhanaannya dia datang mencoba menghapus kesedihanku dan membuat hari-hariku tidak lagi gelap.
Jika dulu dia berjanji tidak meninggalkanku, ya dia menepati janji itu. Di sini akulah yang meningggalkannya. Orang tuaku akhirnya bercerai. Dan hak asuh anak diberikan kepada ibuku. Dan aku pun harus pindah bersama ibuku. Meninggalkan Bulan tanpa pamit.
Waktu sangat cepat berlalu sekarang aku sudah berumur 17 tahun. Dan seperti remaja pada umumnya aku pun mulai merasakan indahnya asmara. Ya, aku memiliki seorang pacar. Namanya Mentari. Persis seperti namanya, dia adalah gadis yang luar biasa. Dia begitu bersinar jika dibandingkan dengan teman-temannya. Dia adalah most wanted di sekolah kami. Kecantikannya, keceriannya dan kepopulerannya adalah paket lengkap yang membuat dia pantas menyandang nama itu. Selain itu dia juga berasal dari keluarga kaya dan selalu dilimpahkan kasih sayang. Dan aku dinobatkan menjadi salah satu laki-laki yang beruntung karena bisa mendapatkanya.
Seperti saat ini kami duduk berdua di kantin. Dan seperti biasa kami menjadi pusat perhatian di sini. Bukan kami lebih tepatnya dia. Banyak lelaki yang sedang menatapnya dan berpikir usaha apa yang harus mereka lakukan untuk memenggantikanku agar bisa berada di sisinya. Sedangkan para gadis menatapnya iri akan semua yang dimilikinya.
“Hey, kamu kenapa melamun,” katanya membuyarkan lamunanku.
“Aku tidak melamun Tari, aku hanya mengaggumi kesempurnaanmu.”
“Ihhhhkkk, Bumi apaan sih. Gak usah menggombal dehh,” katanya dengan pipi yang memerah.
“Hahaha, Ciee yang blushing.cie...ciee,” kataku sambil terus menggodanya.
“Ihhhkk Bumi udah dong menggodanya. Nanti aku ngambek nihh, gak mau ngomong sama kamu,” katanya dengan nada manja.
“Iya deh iya. Maaf ya Mentari cantik,” kataku sambil mengusap kepalanya, seolah menyalurkan rasa sayangku dari sentuhanku. “Kamu mau makan apa, biar aku pesenin,” kataku kemudian.
“Aku mau mesen bakso sama jus jeruk aja.”
“Mau berapa porsi?” tanyaku sambil tersenyum jail.
“Ihkk kamu, ya satulah. Emang mau berapa lagi,” katanya sambil memasang muka kesel yang membuatnya terlihat imut.
“Ya kan siapa tahu, kan kamu makannya banyak Yank,” kataku sambil berlari meninggalkannya takut terkena cubitan mautnya.
“BUMI!!!!!!!!!,” teriaknya tanpa sadar yang membuat seluruh isi kantin kembali menatapnya. Dan dia hanya tersenyum kikuk sambil mengatakan maaf. Dan aku hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal di antrian penjual bakso sambil menatap dia yang juga menatapku garang.
Menit-menit berlalu cepat dan aku sudah berada di parkiran untuk menunggu gadis cantikku itu. Ya kami akan pulang dan pergi ke sekolah bersama setiap hari. Realationship goals banget kan.
“Sorry ya aku baru datang. Kamu pasti udah lama nunggu aku kan,” katanya dengan muka bersalahnya yang membuat siapa pun pasti tidak tega untuk memarahinya.
“Nggak papa kok. Janganan seperti ini, nunggu kamu seribu tahun aja aku gak keberatan kok Ay.”
“Ihkk apaan sih gak usah gombal deh, gak ngaruh tahu nggak. Wlekkk.”
“Ohh gak ngaruh ya. Terus kenapa tuh pipi merah-merah,” kataku sambil senyum menggoda.
“Apaan sih aku gak blushing kok. Ini karena efek panas matahari aja.”
“Yang bilang kamu blushing siapa coba. Orang aku cuman bilang kenapa pipi kamu merah kok,” jawabku sambil terkekeh geli.
“Tau ahk, kamu nyebelin aku mau pulang naik angkot aja,” katanya sambil pergi meninggalkan aku yang masih terkekeh geli.
“Emang kamu tahu angkot apa kerumah kamu,” teriakku yang masih setia berada di tempatku tanpa berniat sedikitpun beranjak mengejar dia.
“Ya, aku bisa nanya ke orang-orang kok, lagipula lebih baik aku kesasar daripada pulang sama orang nyebelin kayak kamu,” jawabnya sambil terus berjalan menjauhiku.
“Iya kalau cuman kesasar kalau diculik gimana.”
Dia berhenti sebentar dan aku yakin pasti di memikirkan kata-kataku barusan. Tapi sedetik kemudian dia lanjut berjalan. Walaupun aku tahu bahwa dia sebenarnya takut, ya maklum dia tidak pernah naik angkot sebelumnya, dan aku tahu dia hanya gengsi untuk berbalik menemuiku. Dan aku hanya bisa terkekeh geli dibelakangnya sambil menghidupkan motorku untuk mulai mngejarnya yang berjalan semakin jauh.
“Ojek neng,” kataku sambil menjalankan motorku tepat disampingnya.
Dia masih diam sambil terus berjalan dengan muka cemberutnya yang malah keliatan menggemaskan. Dan melihatnya seperti itu aku kembali menahan senyumku. Takut dia bertambah kesal.
“Happ.” Aku pun menggapai tangannya yang membuat dia akhirnya berhenti berjalan.
“Ciee yang ngambek. Maafin aku ya sayang udah buat kamu kesel. Soalnya muka kamu menngemaskan sih kalau lagi kesel.”
Dia hanya tertunduk diam tanpa berniat menatapku apalagi membalas ucapanku.
“Yaudah sebagai permintaan maaf, gimana kalau aku traktir kamu es krim di kedai es krim kesukaan kamu, dan kamu boleh mesan es krim sepuasnya. Gimana?” Tawarku kepadanya. Dan aku yakin tawaranku pasti akan langsung di respon dengan antusias.
“Beneran ya? Gak bohong kan?” jawabnya antusias dengan mata yang berbinar
“ Yaudah ayok,” katanya lagi dan sedetik kemudian dia sudah duduk manis diboncengan.
Dingg.. donggg... Tebakanku benar bukan. Mengapa setiap gadis bisa sangat menyukai es krim. Tidak Matahari tidak Bulan. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan Bulan ya. Aku pun segera melajukan motorku sebelum aku berpikir macam-macam lagi.
“Ahh segernya.”
Aku mengambil tisu,mengelap pipi dan bibir gadis yang ada di depanku yang belepotan esvkrim. Gadis ini menghabiskan es krimny sekali libas, seperti tidak pernah memakan es krim selama hidupnya.
“Seneng.”
Mentari mengangguk antusias, tapi sedetik kemudian mengerucutkan bibirnya.
“Tapi kurang.”
“Yaudah ini makan punya aku aja. Kamu baru sembuh, gak boleh makan es krim banyak-banyak.” Aku mencubit gemes pipinya. Setelah itu menyuapi es krim yang tadi kupesan.
“Bumi, aku tadi dapat undangan loh dari kak Cecil loh. Kak Cecil yang cantik itu loh. Kamu pasti kenal kok. Dia kan ketua cheers di sekolah kita. Dia juga salah satu most wanted di sekolah kita. Jadi..” dan mengalirlah celotehan panjang Mentari sambil sesekali menyuapkan es krim punyaku yang telah beralih kepemilikan menjadi punyanya ke mulutnya. Aku hanya bisa mendengarkan clotehannya dengan seksama. Mendengarkannya berceloteh riang seperti ini memberkian kebahagian tersendiri untukku. Sampai ketika tidak sengaja mataku menangkap sosok yang kukenal berada di pintu masuk kedai ini.
“Bumi!! Kamu ikut ya?”
“Apa sayang?”
“Ihh. Ikut aku ke pestanya kak Cecil nanti malem.”
“Maaf ya sayang, aku gak bisa. Aku ada urusan keluarga nanti malem.”
“Ihkk. Kamu kok gak bisa terus sih kalau aku ajak ke pesta. Selalu ada aja halangan tiap aku ajakin. Aku tiap ke pesta serasa jomblo terus tahu nggak yank.”
“Maaf deh yank, kali ini memang gak bisa. Gimana sebagai gantinya Minggu kita jalan-jalan ketempat yang kamu mau, kamu mau kan?"
“Yaudah deh,”angguknya pasrah
Dan malam ini, hujan jatuh, pun tak ada kabar dari Mentari. Tak ada satupun balasan pesanku darinya.. Aku berbohong mengatakan kalau aku ada urusan keluarga malam ini. Bukan karena aku tidak ingin menemaninya tapi karena aku merasa tidak pantas untuk menemaninya. Ya dia dan dunianya yang kadang tak bisa kujangkau. Seperti namanya, dia memang ditakdirkan menjadi mentari sementara aku hanyalah bumi, yang mungkin bila aku nekata mendekat seketika aku akan melebur.
Dan seperti biasa, aku hanya bisa beharap dengannya.
Aku duduk termengu di depan meja belajarku. Ku ambil secarik kertas dan mencoba menulis sesuatu. Malam ini, aku merasa ingin menulis sesuatu tentang rindu. Rindu yang tidak tahu ingin kutujukan pada siapa. Tapi entah kenapa tidak satu titik pun berhasil kutorehkan di atas sobekkan kertas itu. Entahlah itu membuktikan kegagalanku dalam mengartikan suatu keinginan.
Kututup bukuku, dan kumasukkan ke dalam laci. Tapi belum sempat kumasukkan, ingatanku memutar kembali ke kejadian tadi siang di cafe, mataku yang tidak sengaja bertubrukan dengan mata teduh yang sudah lama tidak kulihat lagi.
Ya, aku tahu sekarang, aku tahu rindu ini untuknya. Untuknya yang telah menemani aku berjalan dalam gelap tetapi berusaha untuk aku lupakan. Untuknya yang selalu menjadikanku prioritas dan aku hanya menjadikannya pilihan yang kesekian. Dan untuknya yang selalu berjanji tidak akan meninggalkanku tapi telah kutinggalkan tanpa pesan. Di malam ini, ketika hujan sedang derasnya, Bumi merindukan Bulan.
Aku Bumi yang terlalu lelah mengejar Matahari hingga telat menyadari kehadiran Bulan.