Tahun-tahun berlalu seperti arus sungai yang lembut, meninggalkan bebatuan kenangan yang tak pernah hilang sepenuhnya. Lembah Bisik kini tak lagi sunyi. Kabutnya yang dulu menggulung kelam, kini hanya tinggal embun tipis di pagi hari yang sejuk. Pohon-pohon kembali tumbuh, bunga-bunga liar menari di bawah sinar matahari yang hangat.
Di atas bukit kecil yang menghadap ke lembah, berdiri sebuah rumah dari batu putih dan kayu pinus. Aroma kue hangat dan bunyi tawa anak-anak mengisi udara. Di sana, Elira duduk di balkon kayu, rambutnya longgar, mengenakan jubah sederhana berwarna langit sore. Di tempatnya, duduk Mirell, yang tengah membaca lembaran puisi dengan nada lirih dan penuh kasih.
“Putri kita semakin cerdas,” ujar Elira sambil memandangi halaman belakang, di mana dua anak perempuan berlari-lari mengejar kupu-kupu. "Kau melihat cara Aluna menggunakan batu untuk memancing cahaya? Ia tak membutuhkan tongkat, hanya pikirannya."
Mirell tersenyum kecil, menyimpan puisinya. “Dan Mira... dia mulai bertanya tentang bintang seperti dulu aku bertanya padamu.” Ia menatap langit. “Seolah dunia tak lagi menyimpan luka.”
Elira menggenggam tangan Mirell. "Dunia tak pernah benar-benar sembuh. Tapi kita belajar berjalan di atas lukanya. Dan membiarkannya tumbuh menjadi taman."
Dari penerbangan, lonceng kecil berbunyi—pertanda tamu datang.
Seseorang muncul dari balik pagar: lelaki tua tergeletak hijau, membawa tongkat, dengan mata yang masih bersinar seperti dulu. Zareth. Wajahnya lebih damai, tak lagi dihantui bayangan.
“Elira.Mirell,” sapanya. “Aku datang bukan membawa pesan, hanya rindu.”
Mereka menyambutnya, mempersilakan masuk, dan duduk bersama di ruang keluarga. Di atas perapian, tergantung lukisan tua: Kael dan Aurelia—tertawa, saling menatap seperti dua senja yang tak pernah redup.
Zareth menatap lukisan itu lama. “Mereka... tak pernah benar-benar pergi, bukan?”
“Tidak,” kata Mirell. “Mereka hidup di setiap keputusan kita. Di setiap tawa anak-anak kami. Di setiap pagi yang tidak lagi penuh rasa takut.”
Zareth menyeruput tehnya. “Tahukah kalian... segel itu tidak hanya menyegel roh. Ia juga menyegel kenangan.”
Elira menoleh, mengangkat alisnya. “Kenangan?”
“Ya,” Zareth menatap ke dalam. "Ada satu kenangan yang belum kalian lihat. Tentang pertempuran terakhir Kael dan Aurelia. Tentang pengorbanan yang jauh lebih dalam dari apa yang pernah diceritakan sejarah."
Lalu, dia mengangkat tangannya. Sebuah cahaya muncul, membentuk ilusi—fragmen terakhir dari masa lalu. Mereka melihat Kael, terbaring terluka parah, berdiri di depan Aurelia yang terjatuh.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik Kael dalam ilusi itu.
“Tapi jika kamu tetap di sini, kamu akan mati juga,” suara Aurelia terbata.
“Lebih baik mati bersamamu... daripada hidup di dunia yang tak mengenal namamu.”
Cahaya itu memudar. Air mata mengalir di pipi Elira. Mirell memeluknya diam-diam.
“Terima kasih,” bisik Elira pada Zareth.
Zareth hanya tersenyum. "Waktu telah menghapus banyak hal. Tapi cinta seperti itu... tetap abadi."
---
Malam itu, langit penuh bintang. Di atas rerumputan, Aluna dan Mira tidur dalam pelukan ibunya, sementara cerita tentang dua pahlawan terus diceritakan. Tentang bagaimana cinta bisa menyelamatkan dunia. Tentang bagaimana dua anak manusia bisa mengubah nasib.
Dan ketika malam benar-benar hening, ketika hanya suara jangkrik dan desir angin terdengar...
Di antara bintang-bintang itu, tampak dua cahaya bersatu, melayang pelan, seolah saling berpegangan.
Mereka bukan legenda.
Mereka adalah awal dari segalanya.
Musim demi musim berlalu, dan rumah kecil di bukit itu tumbuh seiring waktu. Tanah yang dulu saksi bisu peperangan kini menjadi kebun penuh bunga liar, herbal langka, dan pepohonan yang ditanam oleh tangan Elira dan Mirell sendiri. Mereka tak sekadar membangun tempat tinggal, tetapi rumah—sebuah tempat di mana jiwa-jiwa yang letih akhirnya menemukan pulang.
Di ruang belajar yang hangat oleh cahaya lilin dan jendela kaca patri, Aluna kini berusia sepuluh tahun. Ia mencatat sesuatu di buku lusuh peninggalan ibunya, membuat sketsa tentang glyphs pelindung. Mira, adiknya, duduk di sebelahnya sambil menyusun batu-batu kecil menjadi pola bintang.
“Kau tahu, Mira,” kata Aluna. “Mama bilang... dunia pernah hampir hilang karena orang-orang melupakan bahwa cinta juga bisa menjadi perisai.”
Mira mengangguk. “Tapi sekarang kita punya mereka. Kita tak akan melupakannya.”
Di luar, Elira sedang memanggang roti sementara Mirell menyusun kayu bakar. Ada damai dalam kesederhanaan itu. Tidak lagi ada pedang yang perlu ditarik, tidak lagi ada segel yang harus diperbarui—hanya keluarga yang tumbuh di bawah langit yang bersih.
Mereka berdua masih menyimpan buku-buku tua dari masa lalu, tapi kini tersimpan rapi dalam lemari kaca. Cerita-cerita tentang Kael, Aurelia, dan sejarah dinasti yang dulu mengatur hidup mereka kini menjadi bagian dari dongeng malam untuk anak-anak mereka—bukan untuk menakuti, tetapi untuk mengingatkan dari mana mereka berasal.
Dan ketika malam datang dan semua tertidur, Elira kadang duduk di depan jendela, memandangi bulan. Kadang ia berbisik, “Ibu… Ayah… kalian benar. Cinta memang menyelamatkan segalanya.”
Mirell akan datang memeluknya dari belakang. “Dan akan terus menyelamatkan,” bisiknya.
---
Beberapa tahun kemudian, sebuah surat datang dari lembaga sihir yang dulu menjadi pusat kekuasaan. Mereka ingin mengundang Elira sebagai pemimpin kehormatan baru, dan meminta Aluna mengikuti ujian masuk. Tapi Elira menolak dengan lembut.
“Waktuku untuk bertarung telah usai,” tulisnya. “Kini, aku memilih membesarkan cahaya kecil yang akan menerangi dunia dengan cara mereka sendiri.”
Aluna tumbuh menjadi penulis dan penjaga pusaka keluarga, sementara Mira lebih memilih jalan penyembuh—menggunakan sihir alami yang ia kembangkan sendiri.
Zareth, yang kini tinggal di desa bawah bukit, menulis kronik tentang semua yang pernah terjadi. Bukunya diberi judul: “Dari Dinasti hingga Damai: Kisah Cinta yang Menyegel Kegelapan.”
---
Pada ulang tahun pernikahan mereka yang ke-20, Elira dan Mirell mengadakan perayaan kecil. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir. Ada lagu, tarian, makanan sederhana… dan ada seutas janji yang tak pernah pudar:
“Kita tidak hanya mengalahkan kegelapan,” ucap Mirell di hadapan semua, “kita juga membuktikan bahwa dua jiwa yang terluka bisa menyembuhkan dunia... dan membangunnya kembali.”
Di malam itu, langit kembali cerah. Tiga bintang paling terang bersinar berdampingan di atas lembah: simbol bagi Kael, Aurelia, dan semua jiwa yang memilih cinta di atas kekuasaan.
Dan di bawahnya, kehidupan terus berjalan.
Tak ada akhir untuk cerita yang ditulis dengan hati.