Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Kabut pagi masih menggantung rendah ketika langkah kaki Elira menyusuri reruntuhan kuil tua di jantung Lembah Bisik. Setiap dindingnya ditumbuhi lumut, dan tiap ukiran yang terukir di batu seolah menghela napas panjang dari masa lalu. Mirell berada tak jauh di belakangnya, membawa gulungan tua yang semalam mereka temukan di ruang tersembunyi. Zareth memimpin mereka di depan, tapi raut wajahnya tampak lebih gelap dari biasanya.

“Apa kau yakin ini jalannya?” tanya Mirell sambil mengelus nisan patah yang mereka lewati.

Zareth menatap lurus ke depan. “Ini bukan sekadar jalan. Ini... pengakuan.”

Di tengah kuil, terdapat altar batu berbentuk bunga teratai yang terbelah dua. Di sanalah Kael dan Aurelia dahulu membuat sumpah terakhir mereka: menyegel roh Dinasti Hitam dengan darah mereka sendiri. Tapi segel itu kini mulai retak.

Elira menatap altar itu. Kilatan kilat di langit membuatnya melihat bayangan sosok sang ibu, Aurelia, berdiri dengan mata berlinang darah dan bibirnya mengucap mantra pemisah jiwa. Kilatan berikutnya membuat bayangan itu berubah: Kael berdiri di sisi lain altar, menancapkan pedang ke dadanya sendiri untuk menyempurnakan ritual.

“Kenapa kita harus menyaksikan ini lagi?” bisik Mirell, menggigit bibir.

“Sebab kebenaran tidak ingin dilupakan,” jawab Zareth lirih.

Tiba-tiba, tanah bergetar. Dari balik altar, muncullah pusaran cahaya hitam yang berputar pelan, seperti lubang dunia yang mulai menganga. Dari dalamnya, roh itu keluar tinggi, berjubah asap, matanya kosong seperti malam yang tak pernah kenal fajar.

“Akhirnya,” bisik roh itu. “Darah yang hilang kembali. Keturunan penjaga segel... atau lebih tepatnya, pewaris kunci kehancuran.”

Elira melangkah maju. "Kami bukan pewaris kehancuran. Kami adalah warisan harapan."

Roh itu tertawa tawa yang membuat udara membeku. “Kau pikir ibumu dan ayahmu sempurna? Tidak. Mereka mengorbankan banyak hal. Termasuk jiwa-jiwa tak berdosa yang ikut mati karena segel itu.”

Mirell terdiam. Keraguan menyelinap di dadanya. “Apakah mereka... benar-benar melakukannya?”

Zareth menatap keduanya. “Aku tahu kebenaran itu. Aurelia memang menyegel roh ini. Tapi... ia juga menyegel seseorang yang dicintainya. Seorang wanita... bukan Kael. Seorang teman masa kecil. Ia memilih Kael... dan mengorbankan yang lain.”

Elira menoleh cepat. “Kau bohong.”

“Aku tidak bohong,” jawab Zareth. “Kael tahu. Ia juga punya rahasia. Ia bukan keturunan keluarga kerajaan seperti yang dikatakan... Ia putra dari seorang panglima Dinasti Hitam yang membelot. Tapi Aurelia mencintainya, dan demi cinta itulah segel tercipta.”

Tangisan hujan mulai turun dari langit. Langit menangisi sejarah yang kembali terbuka.

Roh itu semakin membesar. “Kalian adalah keturunan darah terang dan darah bayangan. Kalian bukan pahlawan. Kalian adalah dilema.”

Elira memejamkan mata. Ia teringat masa kecilnya. Tawa ayahnya. Pelukan ibunya. Kata-kata semangat yang selalu dibisikkan Aurelia sebelum tidur: "Cintailah dunia, bahkan saat dunia membencimu."

“Aku tidak peduli siapa mereka,” kata Elira perlahan. “Kami tidak dipaksa menjadi siapa pun. Tapi kami memilih.”

Mirell menambahkan, “Dan hari ini, kami memilih menghentikanmu.”

Keduanya berdiri sejajar. Darah yang mengalir dari telapak tangan mereka hasil luka dari ritual yang telah disiapkan Zareth jatuh ke altar teratai.

Seketika, cahaya menyala dari altar. Roh itu berteriak, tapi bukan ketakutan melainkan tawa.

“Kalian membuka segel sejati! Kalian bodoh!”

Namun bukan kehancuran yang terjadi.

Dari dalam pusaran, keluar sosok lain perempuan muda berpakaian putih, bermata teduh. Ia memegang bunga teratai bercahaya. Wajahnya menyerupai Aurelia, namun juga bukan.

“Aku adalah perwujudan pengorbanan,” katanya lembut. “Aku bagian dari cinta yang disegel. Tapi aku bukan dendam. Aku... adalah cahaya.”

Roh Dinasti Hitam menjerit. Cahaya dari bunga teratai membungkusnya, memurnikannya, hingga ia menjadi abu yang ditiup angin.

Semua hening.

Zareth menunduk. “Kini tugasku selesai.”

Ia menghilang menjadi debu, seperti roh yang dilepaskan.

Tahun-tahun berlalu.

Elira dan Mirell pulang ke tanah asal mereka. Mereka menikah dengan dua pria yang dulunya adalah penjaga perbatasan. Mereka membangun rumah dari kayu dan kenangan. Mereka punya anak-anak yang suka berlari di padang luas, bebas dari perang, bebas dari segel dan kutukan.

Pada malam yang sunyi, Elira duduk di beranda, memandang langit bersama putrinya. “Ibu, apakah nenek Aurelia benar-benar pahlawan?”

Elira tersenyum. “Ia manusia. Tapi karena itulah... ia bisa mencintai. Dan karena cintanya, dunia ini bisa bernapas lagi.”

Mirell datang, membawa teh hangat. Anak-anak tertawa di kejauhan.

Masa lalu mungkin berlumur darah. Tapi masa depan... tumbuh dari cinta yang diberi tanpa syarat.

Dan langit malam pun menyimpan semuanya dalam bintang-bintang yang diam, namun tak pernah lupa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags