Lorong menuju Batu Lentera membentang dalam ke perut bumi. Dindingnya tidak hanya dingin, tapi juga seperti bernafas menghembuskan napas lembut yang mengandung aroma tanah basah, darah kuno, dan kenangan yang terkubur.
Langkah Elira bergema pelan. Di belakangnya, Mirell menggenggam pedangnya erat. Zareth dan Aven mengikuti dalam diam, seolah menyadari bahwa tempat ini tidak bisa diganggu dengan suara, atau sejarah akan bangkit secara paksa.
Mereka tiba di persimpangan pertama. Dinding batu bercahaya samar, membentuk ukiran-ukiran dari masa lalu.
Sebuah suara lirih menggelegar bukan suara manusia, bukan juga roh.
"Untuk memperoleh lentera dari cahaya yang terlupakan, keturunan darah suci harus melewati tiga ujian: Kejujuran Jiwa, Kesetiaan Hati, dan Pengorbanan Tertinggi.”
Udara menegang. Lantai lorong terbelah menjadi tiga jalan berbeda.
“Kita berpisah,” kata Aven dengan tenang. “Setiap ujian hanya bisa dilalui oleh orang yang terpilih oleh darah dan takdir.”
Zareth tampak gelisah. “Ini jebakan. Ini terlalu familiar... seperti sihir kuno milik Dinasti Hitam.”
“Tapi juga bagian dari segel,” balas Aven. “Tanpa melewatinya, Batu Lentera hanya akan jadi batu mati.”
Elira memilih jalan ‘Kejujuran Jiwa’. Mirell memilih jalan ‘Kesetiaan Hati’. Zareth dan Aven tinggal di tengah, menjaga lorong utama.
---
Elira – Jalan Kejujuran Jiwa
Ia melangkah ke dalam lorong berkabut. Setiap langkahnya menyalakan simbol-simbol aneh di dinding.
Tiba-tiba… ia melihat sosok ibunya, Aurelia, berdiri di tengah kabut, mengenakan jubah perak, dengan tatapan lembut dan luka di dadanya yang belum mengering.
“Elira…” ucap suara yang sangat ia rindukan.
“Ini… ilusi,” gumam Elira, mencoba keras tak jatuh dalam nostalgia.
Tapi Aurelia tersenyum dan mendekat.
“Kau menyalahkanku, bukan? Karena meninggalkanmu? Karena memilih perang dibanding keluargaku sendiri?”
Elira terdiam.
Lalu ia menangis. “Aku tak pernah marah karena kau memilih perang. Aku marah… karena aku tak pernah cukup kuat untuk memahamimu.”
Seketika, kabut lenyap. Sosok Aurelia berubah menjadi cermin.
Dan di dalam cermin itu… Elira melihat dirinya sendiri dengan semua luka, dendam, dan ketakutan.
Cermin bergetar… dan pecah menjadi cahaya, meninggalkan satu ukiran:
"Kejujuran membuka jalan menuju kekuatan yang sejati."
---
Mirell – Jalan Kesetiaan Hati
Lorongnya gelap total. Hanya suara langkahnya yang terdengar. Tiba-tiba, cahaya menyala dan menampilkan gambaran:
Elira… sekarat, tubuhnya dikelilingi bayangan hitam.
Suara gaib berbisik:
"Satu jalan menyelamatkan dia. Satu jalan menyelamatkan dunia. Pilih."
Dua pintu muncul. Kiri: “Selamatkan Elira”. Kanan: “Kunci Dinasti Hitam untuk selamanya”.
Mirell terdiam. Bibirnya gemetar.
Ia mencintai Elira. Tapi ia tahu... jika ia memilih cinta, dunia akan runtuh.
Air matanya jatuh. Ia berjalan ke kanan.
Begitu ia menyentuh pintu, bayangan Elira berubah menjadi cahaya yang membentuk ukiran: "Kesetiaan bukanlah tentang siapa yang kau lindungi, tapi tentang kebenaran yang kau pegang teguh."
Dan suara Elira terdengar lembut, bukan dari ilusi tapi dari batinnya sendiri.
"Aku bangga padamu, Mirell."
---
Kembali ke Lorong Utama
Elira dan Mirell kembali hampir bersamaan. Wajah mereka pucat, tapi mata mereka... lebih kuat dari sebelumnya.
Zareth menatap mereka dengan penuh hormat. Aven untuk pertama kalinya tersenyum tulus.
Lantai altar berguncang. Sebuah batu besar perlahan muncul dari tanah: Batu Lentera, bersinar lembut dengan cahaya jingga keemasan.
Tapi ketika Elira hendak menyentuhnya, sebuah bayangan hitam besar meledak dari langit-langit gua.
"Kalian terlalu lambat…"
Sosok berjubah gelap, dengan wajah tersembunyi oleh topeng dari tulang, melayang di udara. Suaranya mengguncang dinding.
“Segel sudah retak. Dan Batu Lentera… akan jadi milikku.”
Aven berdiri di hadapan Elira dan Mirell. “Pergi. Lindungi batu. Aku yang akan menahan dia.”
Elira menggenggam Batu Lentera yang mulai melebur dalam cahaya.
Mirell menatap Aven. “Kau tahu dia siapa?”
Aven hanya menatap kosong ke langit-langit.
“Dia kakakku. Pewaris sebenarnya… dari Dinasti Hitam.”