Tangga menuju makam berkelok menurun, dingin dan lembap, seolah tidak pernah tersentuh cahaya. Dindingnya dipenuhi ukiran yang samar: sosok-sosok bertopeng, bunga teratai, dan lambang matahari bersilang bulan. Elira menyusuri ukiran itu dengan jemarinya.
“Itu lambang Dinasti Hitam... dan yang ini, lambang keluarga kita,” gumamnya lirih.
“Tempat ini menyimpan lebih dari sekadar mayat,” sahut Zareth. “Ia menyimpan ingatan yang tak bisa dilupakan.”
Begitu mereka mencapai dasar, sebuah lorong besar terbuka. Di ujungnya, sebuah gerbang batu terukir ukiran dua sosok: pria dan wanita yang saling membelakangi Kael dan Aurelia.
Mirell melangkah maju, meletakkan tangannya di pintu.
Saat itu juga, dinding bergetar pelan. Kabut hitam tipis merayap keluar dari celah, dan mata Elira tiba-tiba menjadi gelap.
---
Di Dalam Ilusi
Ia berdiri di padang rumput yang hangus. Api menjilat langit, dan sosok ibunya Aurelia berlutut dengan pedang patah. Di depannya, Kael berdarah, tangannya terulur pada sesosok bayi.
“Kita harus sembunyikan mereka...” suara Aurelia gemetar.
Kael mengangguk lemah. “Jika mereka tahu... kalau darah kita menyatu... segel itu akan pecah.”
Elira ingin berteriak. Ingin bertanya. Tapi tubuhnya tak bergerak.
Kemudian sosok lain muncul: seorang lelaki berjubah gelap, dengan mata bersinar merah—roh Dinasti Hitam.
“Aku akan menunggu... sampai garis keturunan kalian sendiri datang membebaskanku.”
---
Kembali ke Kenyataan
Elira tersentak. Tubuhnya gemetar, napas memburu.
“Kael dan Aurelia menyembunyikan sesuatu... tentang kita,” gumamnya.
Mirell menggenggam tangan Elira. “Aku juga melihatnya. Kita... adalah segel terakhir. Itulah kenapa roh itu belum bisa keluar.”
Zareth mengangguk pelan. “Jika dia bisa merasuki tubuh kalian, ia akan hidup kembali dalam bentuk baru. Lebih kuat.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Elira, suaranya lirih namun tegas.
“Temukan Batu Lentera. Itu adalah artefak terakhir yang bisa memperkuat segel. Tapi dijaga oleh Bayang-Bayang Tanpa Nama. Roh yang tidak pernah dikenang, karena mereka bukan pahlawan... dan bukan juga penjahat.”
Elira dan Mirell saling pandang. Mereka tahu ini bukan hanya tentang menyelamatkan dunia. Ini tentang membebaskan masa lalu dari luka, dan memberi arti baru pada warisan yang mereka bawa.
“Ayo,” bisik Mirell. “Kita teruskan langkah ini. Tidak sebagai bayangan orang tua kita… tapi sebagai cahaya yang mereka tinggalkan.”
Dan begitu gerbang makam terbuka, kabut pun berhembus… menyambut dua pewaris darah dan satu jiwa yang menebus dosanya.
Langkah mereka baru dimulai. Tapi cahaya kecil telah menyala.
---