Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Langkah-langkah kuda mereka melambat saat kabut menjadi semakin tebal. Elira menurunkan kerudung kudanya, memicingkan mata. Di hadapan mereka, lembah itu tampak seperti mulut dunia yang tak pernah ingin terbuka gelap, sunyi, dan berbisik lirih seolah tanah itu punya rahasia yang tak ingin terganggu.

Mirell turun lebih dulu. Sepatu botnya menjejak tanah kering dan pecah seperti kulit tua. Ia mengangkat tangannya dan meletakkannya di permukaan tanah.

“Tanah ini... tidak mati. Tapi juga tidak hidup.” Suaranya rendah, penuh kehati-hatian.

“Seperti jiwanya direnggut,” balas Elira. “Mungkin saat perang, mungkin sebelum itu.”

Tiba-tiba, dari balik kabut, terdengar suara dentingan besi logam yang saling beradu. Elira reflek menarik pedangnya.

“Siapa di sana?” teriaknya.

Seseorang muncul perlahan. Sosok pria muda, mengenakan jubah compang-camping dengan mata hitam pekat. Di tangannya, tergenggam sebuah belati panjang yang menyala samar kehijauan. Aura di sekitarnya terasa seperti serpihan masa lalu yang belum selesai.

“Aku tidak akan menyerang,” ucapnya. Suaranya serak, seolah bertahun-tahun tak berbicara.

“Siapa kamu?” tanya Mirell.

“Namaku... Zareth. Penjaga reruntuhan. Aku seharusnya mati saat perang terakhir.” Ia menatap keduanya dalam. “Tapi karena darah kalian... aku hidup kembali.”

Elira dan Mirell saling menatap. “Darah kami?” tanya Elira curiga.

Zareth mengangguk. “Kalian adalah keturunan Kael dan Aurelia. Nama yang masih digemakan tanah ini. Darah mereka... mengandung segel terakhir yang mengunci pintu kematian Dinasti Hitam.”

“Apa maksudmu... ‘mengunci pintu kematian’?” bisik Mirell.

Zareth menghela napas. “Dahulu, ibumu bukan hanya pahlawan. Ia juga penjaga Pactum Sanguinis perjanjian darah yang dibuat untuk menyegel roh terakhir dari Dinasti Hitam. Tapi segel itu tak bertahan selamanya. Dan kini... roh itu mulai bangkit.”

Elira mencengkeram pedangnya. “Kalau begitu, kenapa kau masih hidup?”

Zareth menunduk. “Karena aku... adalah pengkhianat dari kedua sisi. Aku menyelamatkan ibumu dalam diam, tapi darahku tercemar oleh bayangan. Aku hidup... karena belum ditebus.”

Sunyi. Hanya kabut dan detak jantung mereka.

Mirell akhirnya bicara, “Kalau kau memang mau menebus, maka bantu kami menemukan makam itu. Sebelum roh itu menemukan kita lebih dulu.”

Zareth tersenyum tipis, seperti orang yang baru saja diberi satu kesempatan terakhir. “Ikuti aku. Tapi ingat satu hal: di dalam makam, bukan hanya roh yang bangkit. Kenangan pun ikut terbuka.”

Elira dan Mirell mengikuti Zareth ke dalam jantung lembah. Mereka tidak tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil, bukan hanya membawa mereka mendekati makam... tetapi juga mendekati kebenaran pahit yang disembunyikan oleh Kael dan Aurelia hingga akhir hayat mereka.

Dan kali ini, bayangan masa lalu bukan hanya datang dalam mimpi.

Ia hidup. Ia menunggu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags