Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Fajar belum sepenuhnya merekah saat Elira menaiki kuda perangnya. Baju kulitnya sederhana, tapi sabuk hitam keperakan melingkar di pinggangnya simbol keluarga Kael, sang komandan legendaris. Mirell duduk di belakangnya, menggenggam erat gulungan peta dan catatan kuno yang semalam mereka temukan.

“Ke timur?” tanya Elira, membiarkan kudanya melangkah pelan menuruni jalan berbatu istana.

“Ya,” jawab Mirell. “Ada reruntuhan di perbatasan Terundra. Orang-orang menyebutnya Lembah Bisik. Konon, tanah di sana tidak menumbuhkan apa-apa sejak Perang Kelam terakhir. Tapi catatan ini menunjukkan bahwa makam tertua Dinasti Hitam yang dikira telah lenyap berada di bawahnya.”

Elira menarik napas panjang. “Tempat kematian... dan mungkin kebangkitan.”

Mereka melewati gerbang utama. Para prajurit memberi hormat, tapi tak satu pun dari mereka tahu bahwa dua perempuan muda itu membawa beban sejarah yang belum selesai. Dunia memandang mereka sebagai putri kebanggaan, tapi tak tahu bahwa mimpi-mimpi mereka mulai diganggu bayangan yang sama dari masa lalu orang tua mereka.

Belum jauh dari perbatasan kota, seekor burung gagak hitam bertengger di dahan, menatap lurus ke arah mereka. Tak bergerak. Tak berkedip. Elira melirik Mirell, dan keduanya saling paham: ini bukan pertanda biasa.

“Aku merasakan sesuatu,” bisik Mirell. “Kita tidak sendirian.”

Mereka mempercepat langkah kuda, menyusuri jalur tua yang dikelilingi hutan. Akar-akarnya menjalar seperti jari-jari tangan yang mengintai dari dalam tanah. Angin meniupkan bisikan, dan di antara suara itu, Elira mendengar satu kalimat dalam bahasa lama yang hanya dikenal oleh para penjaga warisan:

"Darahmu akan membuka pintu yang tak bisa ditutup kembali."

“Berhenti!” Elira menarik kendali. “Kau dengar itu?”

Mirell menggenggam lengan kakaknya. “Aku juga mendengarnya. Tapi tidak dari luar... itu di pikiranku.”

Tiba-tiba, dari balik pohon, muncullah sosok berjubah hitam dengan wajah tertutup kain. Dia tak membawa senjata, tapi tubuhnya dilapisi bekas luka dan simbol tua dari masa Perang Kelam.

“Apa yang kalian cari di jalan ini?” suara lelaki itu berat, seperti gemuruh petir tua.

“Elira dan Mirell dari Eltherion,” jawab Elira tegas. “Kami mencari jejak yang tertinggal... dan kebenaran yang disembunyikan.”

Lelaki itu tertawa pendek. “Maka bersiaplah kehilangan lebih dari yang pernah kalian miliki. Karena kebenaran... bukan milik siapa pun. Termasuk kalian.”

Ia menghilang dalam kabut yang datang tiba-tiba, meninggalkan aroma logam dan rasa dingin di tengkuk mereka.

“Elira,” kata Mirell, suaranya nyaris gemetar, “apa menurutmu... kita barusan bicara dengan bayangan masa lalu Ayah dan Ibu?”

Elira mengangguk pelan. “Atau... dengan musuh yang belum pernah mereka kalahkan.”

Langit timur perlahan terbuka, tapi kabut tetap menutup jalur mereka. Jalan ke Lembah Bisik baru saja dimulai dan mereka belum tahu bahwa jejak yang mereka kejar bisa menuntun pada akhir dari kedamaian yang mereka kenal.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags