Sepuluh tahun sejak Elira dan Mirell berdiri di depan makam orang tuanya, dunia tampak tenang di permukaan.
Namun di sisi lain kerajaan, di tempat yang bahkan peta kuno enggan menyebut namanya, sesuatu mulai bangkit dari tidur panjang.
Di tengah reruntuhan kota yang pernah diluluhlantakkan perang, seorang pria tua bersorban hitam menatap ke arah utara. Di tangannya tergenggam liontin tua tertulis lambang Eltherion, kerajaan tempat Kael dan Aurelia pernah berdiri.
“Keturunan mereka sudah besar,” bisiknya, “tapi darah yang tertumpah belum pernah ditagih.”
Di belakangnya, para pemuda bertopeng baja mulai berkumpul, mengangkat panji dengan simbol baru—ular yang melingkar di sekeliling bintang yang terbelah.
Sementara itu, di ruang arsip perpustakaan kerajaan, Mirell membuka buku tua yang disegel. Di balik lembaran kusam itu, satu kalimat menyala dalam tinta tak biasa:
"Kematian bukanlah akhir... hanya gerbang menuju utang yang lebih dalam."
Elira, yang tengah menjalani pelatihan dengan para pengawal istana, merasa getaran aneh dalam angin. Seolah medan perang memanggilnya kembali bukan karena ia ingin bertarung, tapi karena dunia tidak membiarkan darah pejuang beristirahat terlalu lama.
Dan kali ini...
Mereka harus memilih: melanjutkan warisan orang tua mereka atau menciptakan jalur baru dalam sejarah.
Langit malam di ibu kota Eltherion tidak pernah sepenuhnya gelap. Lampu-lampu lentera menggantung di sepanjang jalanan batu, memantulkan kilau keemasan di permukaan kanal dan gang-gang sempit. Tapi malam ini, awan menutupi bulan. Suara burung hantu pun enggan bersuara.
Di ruang istana bagian timur, Elira sedang berdiri diam di depan jendela. Matanya menatap jauh ke utara, ke arah pegunungan yang membelah perbatasan.
“Apa kau mendengarnya lagi?” Mirell masuk pelan, membawa satu gulungan kertas berdebu.
Elira mengangguk perlahan. “Seperti suara... genderang. Tapi samar. Di ujung mimpi, seolah ada pasukan yang bangkit dari tanah.”
“Ini bukan kali pertama,” gumam Mirell, membuka gulungan. “Dan mimpi kita... mulai menyatu.”
Elira berpaling. “Kau juga?”
Mirell mengangguk. “Aku melihat ibu. Tapi dia tak berbicara. Dia berdiri di tengah ladang penuh tombak patah, sambil menatapku seperti ingin memperingatkan sesuatu.”
Mereka terdiam. Di antara mereka ada warisan yang lebih dalam dari sekadar darah jiwa yang tertanam dari dua sosok pejuang besar, yang kini seolah mencoba mengirim pesan dari balik kematian.
Mirell membentangkan gulungan di meja. Teksnya dalam bahasa tua, tetapi sebagian bisa dibaca:
"Ketika bintang tak lagi setia di langit, dan bayangan menari di balik cermin air, darah pertama akan menjadi kunci pembuka perang terakhir."
“Ini ditulis oleh penjaga arsip terakhir dari Dinasti Hitam,” bisik Mirell. “Yang lenyap dua abad lalu. Tapi... kenapa ramalan ini ditemukan di perpustakaan Eltherion?”
Elira mengepalkan tangan. “Karena sejarah kita tidak pernah benar-benar kita miliki sepenuhnya. Mungkin Ayah dan Ibu tahu, tapi mereka memilih melindungi kita dari kebenaran.”
“Dan sekarang,” lanjut Mirell, “kebenaran itu mengejar kita.”
Di luar istana, dari menara pengawas tertinggi, seorang penjaga melihat kilatan aneh di langit utara bukan petir, bukan bintang jatuh. Tapi simbol merah yang membentuk mata terbuka... lalu lenyap dalam kedipan mata.
Malam itu, tak ada yang benar-benar tidur.
Dan dua darah warisan dari Kael dan Aurelia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.