Malam belum sepenuhnya turun, tapi langit sudah menggelap seperti disiram tinta pekat. Angin di perbatasan mengaum, menggoyang tenda-tenda kecil yang berbaris rapi seperti tulang belakang naga. Di tengahnya, cahaya lentera menari lembut, menerangi selembar peta yang terbentang di atas meja batu.
“Jadi, kita akan membagi pasukan menjadi tiga kelompok,” ujar Aurelia sambil menunjuk garis lembah di peta. “Tim depan akan memancing mereka masuk ke lembah. Tim kedua akan menunggu di tebing atas, siap meluncurkan panah api. Dan tim ketiga... tugasnya sederhana tutup jalan keluar mereka.”
Ragas mengangguk, jubahnya berkibar pelan tertiup angin malam. “Kamu yakin ingin berada di barisan depan?”
Aurelia hanya menyeringai. “Aku nggak punya kebiasaan manis-manis nunggu di belakang, Jenderal. Lagipula, aku ingin menyambut 'tamu lama' itu secara pribadi.”
Salah satu perwira bersin keras di sudut ruangan. “Maaf, Nona. Kabut malam bikin hidung saya... memberontak.”
Aurelia tertawa kecil. “Kalau kamu bersin pas di tebing nanti, pastikan arahnya ke musuh, ya.”
Tawa pelan pecah di antara para prajurit, meredakan sedikit ketegangan yang menggantung di udara. Tapi di mata Aurelia, ada kilau lain. Bukan sekadar tekad melainkan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Campuran rindu, kecewa, dan... marah.
---
Lembah kabut malam itu seperti tempat yang diciptakan untuk mimpi buruk. Awan tipis menyelimuti bebatuan, menciptakan ilusi bentuk-bentuk aneh. Suara langkah kaki nyaris tak terdengar di tanah basah. Pasukan Aurelia sudah bersiaga di posisi masing-masing.
Aurelia sendiri berdiri di garis depan, mengenakan baju tempur ringan berwarna perak kebiruan, dan pedang tipis tergantung di pinggang. Ia menatap ke depan, menanti gerakan sekecil apa pun.
“Angin malam ini bau... seperti hujan, tapi juga seperti jebakan,” gumamnya.
Di sebelahnya, seorang prajurit muda mencoba memaksakan senyum. “Kamu selalu bicara puitis waktu gugup, Komandan?”
Aurelia melirik dengan ekspresi datar. “Bukan gugup. Aku hanya... mempertimbangkan apakah aku perlu membawa dua pedang, atau cukup satu buat memukul kepalanya nanti.”
Prajurit itu langsung menegakkan tubuh. “Baik, Komandan! Catat: sarkas dan siap berkelahi. Aman.”
Suara burung hantu terdengar tiga kali. Sandi dari atas tebing musuh sudah masuk ke zona lembah.
Aurelia memberi isyarat. Pasukannya diam, menyatu dalam kabut. Langkah-langkah samar mulai terdengar... semakin dekat. Bayangan muncul satu per satu gerak mereka cepat dan senyap seperti roh hutan.
Lalu sebuah suara.
“Masih suka roti gulung?” suara itu ringan, tapi menghantam jantung Aurelia seperti palu.
Ia membeku. Itu... bukan mimpi. Bukan kenangan. Itu suaranya. Lazden.
Aurelia melangkah ke depan, perlahan, sampai akhirnya bayangan itu menjadi sosok utuh. Laki-laki dengan rambut panjang diikat ke belakang, wajahnya keras dan teduh dalam waktu yang bersamaan. Tapi matanya... mata itu tetap sama. Menyimpan kenangan masa kecil dan luka yang tak pernah sembuh.
“Aku kira kau mati,” ujar Aurelia pelan.
“Aku juga kira kamu akan tumbuh jadi pemilik kedai teh, bukan panglima perang.”
“Kedai teh butuh ketenangan. Aku terlalu keras kepala buat itu.”
Hening sesaat. Lalu Aurelia menyipitkan mata.
“Kenapa kamu di sini, Lazden?”
Lazden menunduk sebentar, lalu mendongak dengan sorot yang sulit dibaca.
“Karena aku muak melihat negeri ini dijalankan oleh orang-orang yang cuma peduli takhta dan simbol.”
Aurelia mencibir. “Dan kamu memilih membunuh yang tak bersalah demi menyuarakan pendapatmu?”
“Aku tidak membunuh orang yang tak bersalah,” ujar Lazden, datar. “Aku menyerang sistem. Tapi mungkin kamu tidak bisa melihat perbedaannya, karena kamu bagian dari sistem itu sekarang.”
Ucapan itu menusuk lebih tajam dari pedang mana pun. Tapi Aurelia tak bergeming.
“Kalau kamu pikir aku akan terisak dan memelukmu seperti masa kecil, kamu salah alamat. Aku di sini sebagai pemimpin pasukan kerajaan. Dan kamu... hanya ancaman yang harus diakhiri.”
Lazden tersenyum miring. “Sayang sekali. Padahal aku datang bukan untuk berperang malam ini. Aku hanya ingin melihatmu... sebelum semuanya dimulai.”
Aurelia menahan napas. “Sebelum apa?”
“Pertunjukan sesungguhnya. Lembah ini hanyalah prolog. Perang sebenarnya akan terjadi... di jantung kerajaan. Dan saat itu datang, kamu harus memilih.”
“Maksudmu?”
“Antara berdiri di pihak mereka... atau bersamaku.”
Aurelia membuka mulut, tapi sebelum kata-kata keluar, Lazden sudah mundur ke kabut, lalu lenyap seperti asap yang tertiup angin.
“Kejar dia!” perintah Aurelia cepat.
Tapi ketika pasukannya bergerak, tak ada satu pun jejak yang tertinggal. Lembah kembali senyap, seolah tadi tak pernah ada siapa pun di sana.
Aurelia berdiri mematung. Dalam satu malam, segalanya berubah.
Bukan hanya soal perang. Tapi tentang pilihan. Dan tentang hati yang tak sempat diberi waktu untuk pulih.