Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Fajar di perbatasan tak pernah benar-benar indah. Langitnya kelabu, dinginnya menggigit, dan aroma asap dari dapur umum bercampur bau besi tanda bahwa perang sudah dekat.

Aurelia berdiri di depan tendanya, mengenakan jubah ringan dan rambut dikepang satu sisi. Sepasang mata cokelatnya menatap ke kejauhan, seolah bisa menebak seberapa besar gelombang musuh yang akan datang hari ini. Ia menyesap teh hangat dari cangkir perak hasil rampasan diplomatik dari perjamuan kerajaan yang membosankan.

“Kalau ada roti gulung tiap hari di sini, aku bakal mikir ulang soal jadi panglima tetap,” gumamnya, menyeringai kecil.

Belum sempat ia menelan tegukan terakhir, langkah kaki cepat menghampiri.

“Komandan Aurelia!” teriak seorang perwira muda. “Jenderal Ragas sudah menunggu di tenda pusat.”

Aurelia mengangkat alis. “Ragas? Siapa pula itu? Nama-nama jenderal sekarang makin terdengar seperti judul lagu kolosal.”

Perwira itu tersenyum canggung. “Dia... jenderal pasukan utara, Nona. Katanya penting.”

Dengan malas ia meletakkan cangkir dan mengambil sabuk pedangnya. “Baiklah. Mari kita lihat siapa yang merasa lebih senior dariku hari ini.”

---

Tenda pusat militer jauh lebih besar dan berlapis dua. Di dalamnya, beberapa peta besar terbentang di atas meja kayu. Ada aroma khas tinta basah dan peluh para perwira yang belum tidur tiga hari. Tapi hanya satu orang yang mencuri perhatian Aurelia.

Tinggi. Tegap. Wajahnya kaku seperti baru keluar dari ukiran batu. Tapi matanya Aurelia memicing. Ada sesuatu yang aneh. Familiar.

“Komandan Aurelia,” ucap pria itu, nadanya berat tapi tenang. “Aku Ragas.”

Aurelia nyaris menjawab formal, sampai kemudian satu kenangan lama menerjang pikirannya seperti ombak.

“Kamu... tunggu kamu dulu pernah—”

“Nyolong apel di belakang kuil waktu kita umur tujuh?” potong Ragas, kali ini tersenyum tipis.

Aurelia membelalak. “Kamu?! Aku pikir kamu diculik penjaga kuil dan dijadikan penjaga candi!”

“Dikira biksu sih. Padahal aku cuma kabur buat makan ketela.”

Seluruh ruangan terdiam sejenak. Beberapa prajurit saling menatap, bingung apakah mereka harus tertawa atau pura-pura serius.

Aurelia tertawa. “Dunia ini kecil banget, ya. Atau memang hidup ini cuma skenario drama kolosal yang terlalu niat.”

Ragas terkekeh, tapi segera kembali menatap peta. “Sayangnya, sekarang bukan waktunya bernostalgia. Dua hari lalu, pasukan kita diserang di titik pengintaian timur. Dan... pemimpin mereka bukan orang sembarangan.”

Ia membuka gulungan sketsa yang tergambar dengan tinta hitam. Wajah laki-laki itu tergores tegas matang, penuh luka perang, dan sorot mata yang tajam.

Aurelia mendekat, dan jantungnya seperti ditarik paksa.

“Ini... ini enggak mungkin.”

“Namanya sekarang Agram. Tapi dulu... dia dikenal sebagai Lazden.”

Aurelia mundur satu langkah. Nama itu memukul kenangan lama seorang anak laki-laki yang suka memetik bunga liar dan memberinya dengan malu-malu. Seseorang yang berjanji akan jadi kesatria, lalu menghilang begitu saja setelah malam pembakaran kuil.

“Dia masih hidup?” bisik Aurelia, nyaris tak percaya.

“Dan sekarang memimpin pasukan bayangan. Mereka bergerak cepat, tak terlihat, dan sudah membantai dua barak kecil.”

Aurelia menahan napas. “Lazden? Jadi musuh?”

“Bukan cuma musuh. Dia mengincarmu.”

Seketika tenda itu menjadi sunyi. Bahkan bunyi kerikil dari sepatu perwira pun tak terdengar.

Ragas melanjutkan, “Besok malam, mereka diperkirakan menyerang titik perbatasan barat. Kita harus memukul balik sebelum itu.”

Aurelia menatap peta, rahangnya mengeras.

“Kalau dia pikir aku masih anak perempuan yang bisa ditinggalkan di bawah hujan waktu kecil, dia salah besar,” ujarnya dingin. “Kita beri sambutan yang pantas.”

“Dengan strategi yang tepat, kita bisa menjebak mereka di lembah kabut.”

Aurelia mengangguk. “Susun rencana malam ini. Aku akan pimpin sendiri barisan depan.”

Setelah semua bubar, Aurelia berdiri di luar tenda, menatap langit yang kini mulai berwarna jingga.

Langkah kaki menghampiri. Ragas berdiri di sampingnya.

“Kamu baik-baik saja?”

Aurelia tersenyum kecil. “Nggak juga. Tapi aku udah terlalu jauh buat balik.”

“Kalau kamu butuh waktu—”

“Waktu hanya bikin aku mikir, dan itu berbahaya. Mending kita fokus. Satu malam lagi.”

Mereka terdiam. Angin membawa aroma rerumputan terbakar dari kejauhan. Di seberang sana, pasukan bayangan bersiap. Dan di antara mereka, Lazden anak laki-laki dari masa lalu membawa dendam yang belum selesai.

Aurelia mengepalkan tangan, dan untuk pertama kalinya sejak mendarat di tanah perbatasan, wajahnya benar-benar serius.

“Besok... aku akan bertemu dia. Entah sebagai musuh... atau seseorang yang ingin aku tanya, kenapa dia pergi tanpa pamit.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags