Hujan gerimis turun pelan saat Aurelia berdiri di halaman utama, tepat di depan gerbang timur. Angin malam membawa aroma tanah basah dan wangi kayu dari dapur istana entah kenapa, bahkan di detik terakhir, roti gulung masih kepikiran.
“Ayo, waktunya berangkat,” ucap salah satu penjaga dengan suara pelan.
Aurelia menarik napas panjang. Rambutnya diikat sederhana, jubah perang berlapis kulit tipis sudah terpasang, dan belati warisan keluarganya tergantung di sisi pinggang.
“Eh, tapi serius, Kael belum muncul?” gumamnya, menoleh ke belakang.
“Siapa bilang aku nggak muncul?”
Suara itu muncul dari balik salah satu tiang batu. Dan benar saja, Kael keluar sambil menyeret satu kantong kain besar.
Aurelia mengangkat alis. “Jangan bilang isinya surat cinta.”
Kael menyeringai. “Lebih penting. Bekal.”
Dia membuka kantongnya terdapat roti gulung, selai stroberi, dan... kaus kaki bermotif bebek. Aurelia melongo.
“Kamu serius?”
“Kalau kakimu dingin, konsentrasimu kacau. Dan motif bebek itu... semacam jimat,” ujar Kael, pura-pura bijak sambil menyelipkan satu potong ke tangannya. “Ambil ini, dan jangan dipakai pas rapat perang ya, ntar kamu nggak dianggap serius.”
Aurelia ngakak pelan. “Kamu tuh... bisa aja bikin momen mewek jadi gagal total.”
Kael menatapnya, kali ini lebih tenang. “Kalau aku nggak bisa ikut, setidaknya aku pastiin kamu pergi dengan senyum.”
Dia mencondongkan tubuh, lalu menyentuhkan keningnya ke kening Aurelia sebentar cukup singkat, tapi cukup untuk membuat waktu terasa diam.
“Aku akan pulang,” bisik Aurelia, “dan kalau kamu nggak nyambut aku dengan roti gulung yang lebih enak dari yang ini... aku bakar dapur istana.”
“Deal,” balas Kael pelan.
Aurelia melangkah naik ke atas kuda, diikuti oleh dua pengawal kerajaan dan satu orang bayangan yang langsung menyusul di belakang ya, Veylan, masih seperti kabut, hadir tapi nggak banyak ngomong.
Gerbang perlahan terbuka, dan iring-iringan kecil itu mulai bergerak keluar dari wilayah kerajaan. Sementara itu, Kael berdiri diam di tengah gerimis, matanya menatap sosok yang makin lama makin jauh.
“Jangan terlambat pulang, Aurel,” bisiknya lirih, “aku belum sempat bilang... roti gulung bukan satu-satunya hal yang bikin aku pengin kamu tetap di sini.”
Perjalanan malam menuju utara bukan hal yang mudah. Jalanan berbatu, kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan, dan angin dingin yang menusuk—semua terasa seperti ujian awal sebelum benar-benar masuk medan perang.
Aurelia mengatupkan bibir. Tangannya menggenggam kendali kuda erat-erat. Belum genap satu jam keluar dari istana, tapi pikirannya sudah berkelana jauh. Bukan ke strategi perang. Bukan ke siapa yang akan memimpin pasukan.
Tapi ke satu hal…
“Aku nggak bawa sisir,” gumamnya lirih, sedikit kesal.
“Kenapa? Takut rambutmu jadi senjata rahasia musuh?” sahut suara dari sebelahnya.
Aurelia menoleh. Veylan. Masih dengan ekspresi netral, suara datar, dan sorot mata yang kayak tahu semua rahasia dunia, tapi malas menjelaskan.
“Rambut kusut itu sumber stres, tahu nggak? Kalau lagi pusing dan aku nggak bisa nyisir, aku bisa lebih galak dari komandan,” ujarnya sembari memperbaiki letak jubahnya.
Veylan tidak menjawab. Dia hanya menoleh sekilas lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya.
Sebuah sisir kayu kecil. Sederhana, tapi terlihat kuat dan halus.
Aurelia terdiam. “Kamu serius bawa sisir?”
“Persiapan adalah bagian dari kemenangan,” ujar Veylan kalem.
Aurelia mengernyit. “Kadang aku bingung, kamu itu makhluk mitos apa manajer logistik sih?”
Mereka berdua tertawa pelan, walau tawa Veylan cuma terdengar seperti embusan napas. Di tengah dingin dan gelap, suara itu cukup hangat.
Beberapa waktu kemudian, iring-iringan mereka mulai menuruni lereng. Di bawah sana, cahaya kemah pasukan mulai terlihat. Obor menyala di setiap sudut, dan suara dentingan pedang beradu dengan perisai terdengar seperti simfoni tegang yang menyambut mereka.
“Selamat datang di wilayah perbatasan,” kata Veylan.
Aurelia mengangguk. Napasnya membentuk embun di udara malam.
“Kapan kita mulai bicara taktik?” tanyanya.
“Besok pagi. Malam ini, kamu istirahat dulu. Dan kalau perlu, nyisir.”
Aurelia mendelik. “Lain kali, jangan terlalu jujur.”
Veylan hanya mengangguk kecil, lalu memacu kudanya lebih dulu ke depan.
Aurelia menarik napas dalam. Jauh di dalam dadanya, ada sedikit rindu akan suara Kael yang selalu bisa membuatnya rileks. Tapi untuk sekarang, dia harus jadi versi terbaik dari dirinya bukan sebagai pewaris, bukan sebagai calon pasangan siapa pun.
Tapi sebagai seorang wanita... yang tahu caranya bertarung, berpikir, dan mencuri momen untuk menyisir rambut di antara peperangan.