“Kalau ada roti gulung tiap hari, aku mikir ulang deh…”
Aurelia masih setengah bercanda waktu ngomong itu di akhir pertemuan tadi sore. Tapi ternyata, beberapa jam kemudian, saat semua orang mengira urusan selesai, tetua-tetua tua itu malah datang bawa berita yang lebih dramatis daripada operan roti gulung hangat.
“Aurelia akan berangkat malam ini ke Barisan Utara,” ujar Tetua Ervas dengan nada serius kayak lagi umumin hasil ujian akhir.
Aurelia mengangkat kepala dari piring makan malamnya, sepotong roti masih menggantung di mulut. “Eh?”
Kael hampir nyedak. “Barusan kamu bilang ‘berangkat malam ini’ sambil... senyum?”
“Keputusan bersama,” tambah Tetua Nira. “Ini menyangkut strategi besar. Dan Aurelia adalah satu-satunya yang pernah mengakses catatan strategi dari era sebelumnya.”
Aurelia pelan-pelan menaruh roti gulungnya. “Sumpah ya, niat bercanda tadi tuh nggak minta dikabulin secepat ini, lho.”
Kael melotot ke arah tetua. “Nggak bisa! Ini, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum sempat ngobrol tentang... ya pokoknya belum sempat, deh!”
“Kael,” ujar Aurelia pelan, dengan mata setenang embun pagi, “aku nggak bakal pergi kalau ini cuma urusan kecil. Tapi kamu tahu kan? Kadang, roti gulung juga harus dikorbankan demi nusa dan bangsa.”
Kael mengerang frustrasi. “Kamu lagi-lagi nyelipin humor di tengah tragedi! Aku nggak ngerti kenapa itu bisa kamu lakuin terus.”
“Insting bertahan hidup,” ujar Aurelia sambil berdiri. “Kalau nggak gitu, bisa stres duluan.”
Tiba-tiba, dari balik tirai, muncul Veylan. Masih misterius seperti biasanya. Rambutnya yang panjang dan ikal tergerai acak, dan jubah hitamnya membuat siluetnya seperti kabut yang bisa ngomong.
“Keputusan ini tidak keliru,” ujarnya, tanpa permisi.
Kael mengangkat alis. “Wah, kamu munculnya kayak NPC yang nggak bisa ditebak. Bisa nggak sih kasih kode dulu?”
“Medan utara sedang bergerak,” lanjut Veylan, acuh. “Dan hanya sedikit orang yang tahu arah kabut perang itu akan berbelok.”
Aurelia mendesah. “Terus terang, kamu bikin pusing dan penasaran dalam satu kalimat.”
Kael menggeleng. “Aku beneran nggak rela. Tapi kalau kamu harus pergi, janji satu hal…”
Aurelia menatapnya. “Apa?”
Kael mendekat, mencondongkan tubuh sedikit sambil menatap serius. “Kirim roti gulung dari medan perang. Aku mau bukti kamu masih hidup.”
Aurelia tertawa. “Deal. Tapi kamu siapin selai stroberi. Roti aja nggak cukup.”