Aurelia masih belum bisa move on dari pengumuman tadi. Bahkan sampai saat jamuan makan dimulai, dia masih bengong sambil menatap mangkuk sup herbal yang keburu dingin.
“Kalau terus dipelototin, supnya bisa balik jadi bahan mentah, tahu,” ujar Kael pelan, duduk tepat di sampingnya.
Aurelia mendesah, malas menanggapi. Tapi Kael tetap santai, bahkan langsung mengambil satu roti gulung di piring dan menggigitnya pelan.
“Eh!” seru Aurelia refleks, menepis tangan Kael, “Itu... roti terakhir!”
Kael menoleh dengan senyum setengah menang. “Lah, bukannya kita sekarang tunangan? Berarti roti gulungku juga... roti gulungmu, kan?”
Aurelia memutar bola mata. “Ujar orang yang baru kemarin bilang aku lebay,” sahutnya sinis, meskipun pipinya sedikit memerah.
Kael terkekeh pelan. “Itu bukan salahku. Ekspresimu waktu rebutan roti lebih dramatis dari pertarungan dua pendekar agung.”
“Kalau aku punya jurus pukulan angin sepuluh ribu arah, udah kugunakan ke kamu dari tadi,” ujar Aurelia sambil pura-pura mengacungkan sendok.
Kael tertawa lagi. Tapi kemudian keduanya terdiam sejenak. Bukan karena kehabisan bahan bicara, tapi karena kenyataan baru ini masih agak absurd untuk dicerna.
Tunangannya adalah Kael Arkana. Cowok yang dingin tapi nyebelin, ngeselin tapi... selalu hadir di waktu yang pas.
Aurelia diam-diam mencuri pandang. Rambut Kael agak acak, tapi pas di bawah cahaya lentera, wajahnya terlihat... lumayan banget.
" Aduh, jangan baper aurelia ingat jaga image" ucapnya didalam hati
Sementara itu, Kael juga curi pandang. Entah kenapa, Aurelia malam ini kelihatan beda. Mungkin karena lampu, atau mungkin karena dia nggak lagi nyuruh orang buat nyicipin sup pahit warisan keluarganya itu.
“Jadi...” Kael mulai bicara pelan, “Kamu oke dengan perjodohan ini?”
Aurelia menoleh cepat. “Maksudmu...?”
“Ya, kita. Dijodohkan. Di depan seluruh klan. Di tengah acara jamuan. Dengan roti gulung sebagai saksi,” ujar Kael sambil menatap roti di tangannya.
Aurelia menahan tawa. “Kalau semesta bisa ngomong, mungkin dia juga bingung kenapa kita.”
“Menurutku,” Kael berkata sambil menopang dagu, “karena cuma kamu yang berani jambak aku waktu kecil.”
Aurelia membulatkan mata. “Itu karena kamu nyolong bunga matahariku!”
“Dan kamu bilang bunga itu bisa ngomong,” ujar Kael sambil menahan tawa.
“Itu karena aku masih tujuh tahun!” ujar Aurelia, kesal, tapi ekspresinya bikin Kael makin geli.
Senyap beberapa detik. Tapi bukan canggung. Lebih ke... hangat.
---
Tiba-tiba, suara langkah tergesa masuk ke aula, memecah keheningan.
Seorang pengawal membawa surat bercap merah cap rahasia kerajaan. Semua tetua berdiri. Suasana berubah.
“Surat perintah darurat dari Istana Utara,” kata salah satu tetua dengan wajah tegang. “Ada... ancaman dari utara. Dan salah satu dari pewaris harus dikirim.”
Mata para tetua beralih ke arah Kael dan Aurelia.
Mereka saling berpandangan. Roti gulung pun mendadak terasa hambar.