Pagi datang tanpa ketukan. Tapi bunyi genta kuil dari kejauhan sukses bikin Aurelia membuka mata dengan malas. Selimut masih membungkus sampai dagu, dan dia bersumpah masih mencium aroma roti gulung yang dia rebut semalam.
“Ugh… kenapa dunia ini harus punya pagi?” gerutunya, memeluk bantal seperti lagi nyari semangat hidup.
Tapi suara ketukan pintu bikin semua kemalasan langsung kabur.
Tok tok tok!
“Aurelia, upacara pelantikan sebentar lagi dimulai. Jangan bilang kamu ketiduran lagi kayak tahun lalu!”
Itu suara Kak Liana, pengasuh yang juga merangkap sebagai sistem pengingat manusia. Suaranya kayak alarm... kalau alarm punya trauma masa kecil.
“Iyaaa… iyaaa!” balas Aurelia setengah teriak, lalu bangkit dengan gaya zombie. Tapi begitu berdiri di depan cermin, ekspresinya langsung kaku.
“Ya ampun... rambutku kayak bekas pertarungan naga,” katanya sambil menarik ujung rambutnya yang kusut total.
Setengah jam kemudian, Aurelia keluar dari kamar dengan jubah putih bersulam emas penanda status sebagai putri dari Klan Ardhana. Tapi matanya masih ngantuk, dan bibirnya diem-diem ngunyah kue kecil yang ia selundupkan dari dapur.
Sementara itu…
---
Di sisi lain lembah, Kael juga bersiap. Tapi beda dari Aurelia yang drama pagi-pagi, Kael justru berdiri tenang di atas batu, ditemani angin pagi dan satu burung gagak yang bertengger santai di bahunya. Serius banget, kayak tokoh utama di film kolosal. Tapi jangan salah, dia lagi ribut… sama dirinya sendiri.
“Kenapa semalam gua kasih tuh roti gulung terakhir?” gumamnya dengan ekspresi menyesal yang... nggak penting, tapi lucu.
“Ah, lebay,” katanya pada dirinya sendiri, tapi nada bicaranya kayak ogah ngakuin dia beneran mikirin Aurelia sejak tadi malam.
Kael lalu melangkah ke aula pelantikan. Hari ini, dia bakal diangkat sebagai pewaris Klan Arkana klannya sendiri yang terkenal keras, dingin, dan anti-senja-senja club. Sayangnya, dia malah hobi nongkrong sama cewek yang hidupnya kayak puisi.
---
Upacara pun dimulai. Dua klan besar berkumpul: Klan Ardhana dan Klan Arkana. Keduanya berdiri di sisi berseberangan, tapi auranya udah kayak matahari dan bulan saling tarik, tapi nggak bisa berdampingan... secara terang-terangan.
Aurelia berdiri anggun, tapi matanya menyapu kerumunan.
Kael juga berdiri gagah, tapi sesekali melirik ke arah bangku tamu kehormatan.
Dan mata mereka pun bertemu sekilas, tapi cukup buat jantung bertepuk sorak di dalam dada masing-masing.
“Dia masih hidup…” bisik Aurelia dalam hati.
“Dan masih suka roti gulung,” pikir Kael, nyengir kecil.
Tapi dunia nggak seromantis lamunan mereka. Karena saat nama-nama pewaris diumumkan, dan para tetua mulai bicara soal perjodohan antar klan untuk memperkuat aliansi… nama Kael disebut.
“Kael Arkana akan dijodohkan dengan…”
Semua mata tertuju ke arah panggung. Beberapa gadis dari klan lain udah siap pura-pura pingsan kalau namanya disebut.
Kael sendiri mulai dag-dig-dug nggak karuan. Dalam pikirannya: tolong jangan Selene, jangan Putri Naira, apalagi yang suka manggil aku ‘kak Kael’ pake suara cempreng...
“…Aurelia Ardhana.”
Duar...!!
Kael refleks mendongak.
Aurelia refleks megang kue gulung yang hampir jatuh.
Seluruh aula refleks hening.
Sampai akhirnya suara batuk tetua memecah sunyi.
“Harap tenang. Ini perjanjian lama, bukan dadakan.”
Aurelia melirik ke arah Kael dengan ekspresi campur aduk. Kaget? Iya. Senang? Hmm... mungkin. Tapi yang pasti, dia langsung bisik pelan sendiri:
“Jangan-jangan semesta beneran bercanda…”
Kael menoleh, mata mereka ketemu lagi. Kali ini lebih lama. Nggak ada senyum, tapi juga nggak ada penolakan. Cuma tatapan… penuh kode.
Dan Kael pun nyengir pelan sambil bisik ke arah bawah napas, “Wah... ini sih beneran lebay.”
Tapi kali ini nadanya nggak menggoda, malah kayak... senang tapi malu-malu.