Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Stalkers (Segera Terbit)
MENU
About Us  

Sudah lewat pukul satu pagi.

Angin dini hari menyusup pelan ke balik semak-semak tempat mereka bersembunyi. Namun, benar-benar kosong. Kuburan masih sunyi. Tak ada satu pun bayangan mencurigakan. Tak ada langkah. Tak ada pergerakan.

Askara mendesah dalam hati, gusar.

“Kemana mereka? Harusnya mereka muncul dari tadi, dua jam lalu.” pikirnya sambil terus menatap pemakaman dengan pandangan waspada.

Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, bercampur rasa cemas yang makin menumpuk. Apa mereka tahu kami sedang mengintai? Tapi nggak mungkin, ini rencana rahasia. Hanya kami yang tahu.

Di sebelahnya, Adit mulai gelisah, sementara pak polisi yang ikut berjaga mulai kehilangan kesabaran.

“Ra, sampai kapan kita nunggu kayak gini, hah?” Suaranya mulai meninggi, menggambarkan kejengkelan yang sudah menumpuk.

Askara menoleh cepat, lalu menjawab setengah gugup.”E-eh, mungkin sampe subuh, Pak.”

Pak polisi menggeleng pelan. Dia mengusap wajahnya, lalu menatap Askara dengan sorot tajam.

Berikut versi yang lebih natural dan sesuai karakter polisi yang sedang mengintai di kuburan tengah malam.

“Astaga, ini semua benar-benar di luar nalar. Saya ini polisi, bukan pemburu hantu. Tapi sekarang? Duduk begini tengah malam, di kuburan, nungguin sesuatu yang bahkan nggak masuk logika. Kamu yakin ini bukan cuma imajinasi kamu aja? Saya mulai mikir, saya yang waras apa kamu yang gila.”

Suasana makin tegang. Pak Dayat mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Raut wajahnya sudah bukan sekadar kesal, tapi marah.

Askara terdiam. Tapi dalam benaknya, ada sesuatu yang terus mendorongnya untuk bertahan. Dia menatap pekuburan Fitri sekali lagi.

“Aku yakin mereka bangkit. Aku tahu apa yang aku lihat malam itu bukan mimpi pak.” Ucap Askara. “Sebenarnya” lanjutnya lirih “kalau kita bongkar aja kuburan Anita, Ifal, atau Anggara,  mungkin kita bisa buktiin semuanya.”

Polisi itu langsung memotong. “Nggak. Udah cukup. Keluarga mereka udah nolak mentah-mentah dan kita nggak punya hak untuk memaksa. Kamu tahu itu?”

Askara kembali menunduk, menatap tanah kosong di depannya.
Pikirannya kusut, dadanya sesak.

Semua rencana seperti berantakan. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Dia mulai bertanya-tanya sendiri, Apa benar dia sudah terlalu jauh? Atau semua orang memang belum siap melihat kebenaran?

Pukul dua dini hari.

Udara begitu dingin, menusuk tulang. Tak ada suara manusia. Hanya bisikan angin dan gesek dedaunan bambu yang bergoyang pelan.

Anita berjalan seorang diri menyusuri hutan bambu yang sunyi. Sepatu lusuh terpasang di kakinya, melangkah tanpa tujuan yang pasti. Matanya kosong, tapi dalam hatinya, ada gejolak.

Dia ingin mencari William. Namun langkah kakinya justru menuntunnya ke rumah Askara.

Tanpa sadar, tubuhnya bergerak mengikuti kebiasaan lama. Tempat itu telah begitu melekat dalam ingatannya, tempat di mana ia dulu sering menaruh setangkai mawar putih di bawah jendela kamar. Kini, meski niat dan hatinya telah berubah, ingatan itu masih menuntunnya, seperti bayangan yang tak bisa ia tinggalkan.

Sesampainya di depan rumah Askara. Rumah itu tampak remang, tidak banyak cahaya lampu yang menyinari. Tak ada suara. Hanya kesunyian yang menggantung pekat di udara.

Anita melangkah perlahan menuju jendela kamarnya, tempat yang dulu sering ia datangi diam-diam. Tapi kali ini, tak ada bunga. Tak ada kerinduan. Yang ada hanyalah penasaran, apakah Askara ada di kamarnya atau tidak. Dia berniat untuk mengubah Askara menjadi sama seperti dirinya jika dia ada disana.

Ketika tangannya menyentuh jendela itu, ternyata tidak terkunci. Jendela terbuka sedikit dengan bunyi berdecit pelan. Di balik kaca itu, hanya ada kekosongan.

Kamar itu, kosong. Tak ada Askara.

Hati Anita mencelos. Matanya melebar sedikit, seperti tak percaya. Ke mana dia? Bukankah dia selalu ada di sini malam-malam seperti ini?

Rasa penasaran mengalahkan logikanya. Anita mengangkat tubuhnya, masuk perlahan melalui jendela. Dia ingin melihat lebih jauh, tempat yang dulu pernah ia kagumi dan kini ia benci.

Kamar itu sederhana. Dindingnya dipenuhi poster musik. Meja tulisnya berantakan, begitu juga lemari pakaian yang terbuka setengah. Bau kertas, parfum lelaki dan sedikit debu tercium samar di udara.

Namun tiba-tiba, Sebuah suara memanggil dari luar kamar.

“Askara? Kamu udah pulang, Nak?”

Suara seorang wanita.

Ibu Askara.

Anita membeku. Matanya terbelalak. Jantungnya yang sudah lama tak berdetak kencang terasa bergetar.

Sial.

Dia panik, lalu cepat-cepat menyelinap ke kolong tempat tidur, berharap tidak ketahuan. Dia bisa saja melarikan diri melewati jendela. Namun dia ingat kalau wanita itu mungkin saja bisa menjadi mangsa pertamanya malam ini.

Pintu kamar terbuka. Lampu dinyalakan.

Ibu Askara berdiri di ambang pintu, menyapu pandangan.

“Hmm, nggak ada siapa-siapa. Mungkin dia masih di kuburan.” gumamnya pelan.

Ia berjalan ke jendela dan menatap ke luar, lalu menghela napas sebal.

“Dasar anak pelupa. Selalu saja lupa nutup jendela.”

Tapi sebelum ia sempat menutup kaca jendela, sebuah bayangan meluncur cepat dari bawah ranjang.

Anita.

Dengan gerakan halus namun mematikan, ia mendekat dari belakang. Tatapannya terpaku pada leher sang ibu.

Taring-taringnya keluar perlahan, berkilat tajam dalam cahaya lampu kamar.

Tanpa ragu, ia menerkam.

“Aaaargh!” jerit Ibu Askara. Tapi jerit itu segera tercekik oleh rasa lemas yang menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.

Anita menggigit dan menghisap dengan rakus. Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya. Napas sang ibu tersendat. Matanya memudar. Badannya melemas dan akhirnya terjatuh tak berdaya ke lantai.

Anita menyeringai puas. Perutnya hangat. Kekuatannya kembali, membara di setiap sendi.

“Selamat tidur, Ibu Askara. Sampai ketemu lagi, kalau kamu bangkit nanti.”

Ia melangkah pelan keluar kamar, menelusuri lorong dengan pandangan lapar.

Di ruang tengah, ia melihat seorang pria tertidur di kursi sambil menggenggam remote TV. Televisi masih menyala dengan suara pelan.

Ayah Askara.

Anita menyeringai lagi.

“Kebetulan sekali. Mangsa empuk.” bisiknya penuh kenikmatan.

Ia melangkah mendekat, ringan seperti bayangan. Taringnya kembali mencuat. Dan dalam sekejap, leher Ayah Askara menjadi korban berikutnya.

Satu gigitan.

Satu hisapan panjang.

Tubuh sang ayah merosot, tak bergerak, tak bernyawa.

“Tenang saja, Ayah dan Ibu, kalian bakal bangkit lagi. Kita bakal ketemu lagi jadi satu keluarga.”

Anita melangkah keluar rumah dengan santai. Pintu depan tertutup pelan di belakangnya.

Malam kembali sunyi. Namun kali ini, bukan hanya kesunyian yang menyelimuti rumah Askara, tapi kematian.

Anggara menyusuri hutan bambu dengan langkah perlahan, udara dingin malam membelai wajahnya yang pucat. Dia hendak kembali ke rumah, tempat di mana nenek dan adiknya tinggal, dua sosok yang kini ia incar sebagai korban selanjutnya. Tapi langkahnya terhenti saat matanya menangkap sepasang kekasih yang sedang duduk mesra di samping pohon rindang, diterangi cahaya remang dari lampu taman yang menggantung di kejauhan.

Si pemuda tampak sibuk mengelus tubuh pacarnya, sesekali melontarkan rayuan murahan khas pria tak tahu batas. Si gadis berulang kali menolak dengan gerakan tangan dan gelengan kepala, tapi sepertinya dia menikmatinya walaupun si pemuda terus memaksa.

“Sasaran empuk.” bisik Anggara seraya tersenyum miring. Ia mulai mengendap, menyatu dengan gelapnya bayangan pohon, langkahnya nyaris tanpa suara. Kedua sejoli itu masih terlalu tenggelam dalam dunia mereka sendiri, tak menyadari bahaya yang sudah sangat dekat.

“Hei, bang. Kalau mau mesum, jangan di sini.” ucap Anggara tiba-tiba, berdiri tegak di belakang mereka.

Keduanya tersentak. Si pemuda buru-buru berdiri, sementara si gadis menoleh dengan wajah pucat.

“Heh, Kamu siapa?” hardik si pemuda dengan marah, mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya ke arah Anggara. Tapi Anggara menghindar dengan mudah. Tangannya yang dingin dan kuat menangkap lengan si lelaki, memelintirnya ke belakang hingga terdengar suara sendi berderak.

“Argh! Ampun, bang! Ampun!” jerit pemuda itu, tubuhnya dipaksa membungkuk kesakitan. Tapi Anggara tak memberinya kesempatan. Ia mencengkram kepala si pemuda, lalu menghantamkannya ke batang pohon dengan keras.

BUG!

Tubuh si pemuda jatuh terkapar. Si gadis berteriak histeris. “AAAHH!”

Tanpa memperdulikannya, Anggara membuka mulutnya lebar-lebar. Sepasang taring tajam menyembul dari balik gigi-giginya. Ia menancapkannya ke leher si pemuda, menghisap darahnya yang mengalir deras.

Sang gadis terpaku, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat, tangannya menutupi mulutnya dan air mata mulai menetes di pipi. Dengan perlahan, ia memundurkan tubuh, mencoba menjauh dari kekasihnya yang tengah sekarat. Namun tak disangka, kakinya tersandung undakan tanah kecil di belakangnya.

DUG!

Dia jatuh terduduk, memandangi kekasihnya yang kini lemas tak bergerak. Anggara mendonggakkan wajahnya, darah menetes dari ujung bibirnya. Tatapannya kini tertuju padanya, penuh kelaparan dan haus yang tak terkendali.

“Jangan bang, ampun” bisik gadis itu, nyaris tak terdengar.

Namun Anggara mulai melangkah mendekat. Si gadis berusaha bangkit dan berlari, namun baru saja ia berdiri, tangan Anggara sudah lebih cepat menangkap kakinya dan menyeretnya kedepan.

“Jangan kabur.” desis Anggara, matanya menyala.

Gadis itu menjerit dan meronta. “Tolong! Lepasin aku! Tolong!”

Namun tak ada siapa pun di sana. Hanya gemerisik daun dan desir angin yang menyaksikan kebrutalan malam itu.

Anggara menjambak rambut gadis itu, menarik kepalanya ke atas hingga sejajar dengannya. Si gadis menangis, memohon dalam kepanikan. Tapi semua itu tak berarti.

Dengan satu gerakan cepat, taring Anggara kembali menancap di lehernya. Tubuh si gadis mengejang, lalu melemas dalam pelukannya.

Malampun kembali sunyi.

Ifal menyusuri jalanan sepi komplek perumahan dengan langkah gontai. Tatapannya kosong, pikirannya kacau. Ke mana dia harus pergi? Semuanya terasa asing, meski samar-samar dikenal.

Sebuah rumah hijau berpagar hitam menarik perhatiannya. Ada rasa familiar, tapi ingatannya kabur. Kepalanya nyeri saat mencoba mengingat. Wanita yang sempat hadir dalam mimpinya sekilas muncul kembali. Wajahnya tak ia kenali, padahal itu ibunya saat ia masih manusia.

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia melangkah lagi, perlahan, menyusuri gelap. Ia bukan siapa-siapa sekarang. Tak punya tempat pulang.

Malam itu begitu sunyi. Tak ada satu pun manusia yang berkeliaran. Lampu jalan temaram tak mampu mengusir kesunyian yang menyelimuti. Hingga dari kejauhan, ia melihat kerlip lampu kecil dari sebuah gerobak nasi goreng. Seorang pria paruh baya mendorongnya dengan langkah santai, tak menyadari bahwa malam itu akan berbeda dari biasanya.

Ifal menghampiri gerobak tersebut. “Bang, nasi gorengnya satu ya.” ucapnya, mencoba terdengar biasa.

Ia tak tahu apa yang mendorongnya memesan makanan, mungkin sekadar penasaran. Apakah tubuhnya masih bisa menerima makanan biasa, seperti saat ia masih jadi manusia? Atau benarkah satu-satunya yang bisa dikonsumsi kini hanyalah,  darah?

Si penjual, tanpa curiga, mengangguk dan mulai memasak. Aroma bawang putih dan nasi yang ditumis menguar di udara. Sementara itu, pandangan Ifal mulai terpaku pada leher si penjual. Ia tak sadar, tatapannya terlalu tajam dan dalam.

“Eh, ada apa bang?” tanya si penjual, sedikit risih.

“Ah, nggak, bang. Hehe.” jawab Ifal cepat, memalingkan wajah.

Tak lama kemudian, sepiring nasi goreng hangat disodorkan kepadanya. Namun, saat menatapnya, perut Ifal mual. Nasi yang dulu begitu menggoda kini tampak seperti gumpalan lendir menjijikkan. Warna dan aromanya seperti busuk. Ia menelan ludah, mencoba menepis rasa jijik yang menyeruak dari dalam tubuhnya.

“Bang, kok nggak dimakan? Ada yang salah ya?” tanya si penjual sambil memperhatikan ekspresinya.

Tersentak, Ifal akhirnya menyendok satu suapan dan mencoba memakannya. Begitu nasi menyentuh lidahnya, reaksi tubuhnya langsung menolak.

HOEK!

Ia memuntahkan nya. Rasa lembek, bau anyir dan sensasi terbakar di lidah membuat tubuhnya terguncang. Makanan biasa, kini terasa seperti racun.

Si penjual membelalak, kaget dan khawatir. “Bang, nggak apa-apa?”

Ifal menggeleng pelan. Ia lalu mendekat, menatap si penjual dengan mata yang mulai memerah. “Mau tahu kenapa, Bang? Sini, aku bisikin.”

Si penjual, meski ragu, mendekat. Dan dalam sekejap, Ifal mendekatkan tubuhnya dan berdiri ke depan. Dia menggigit telinga si penjual.

“Aw! Bang! A, awww!”

Jeritan itu menggema di jalanan yang sepi. Darah meresap ke lidah Ifal, hangat dan pekat. Sensasi itu menyebar dari mulut ke tenggorokan, menggetarkan seluruh tubuhnya. Ini, ini yang dia cari. Ini, makanan sejatinya.

Dengan napas memburu, Ifal melepas gigitannya dan mencengkeram leher si penjual. “Maaf, Bang.” gumamnya lirih.

Si penjual meronta. Napasnya tertahan oleh cekikan. Tangan gemetar memukul sendok ke piring di dekatnya.

TENG, TENG, TENG!

Suara logam menggema, namun tak ada yang datang.

Jalanan tetap sunyi.

Ifal membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan taring yang kini menjelma bagian dirinya. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia menancapkannya ke leher si penjual. Suara jeritan terakhir lenyap dalam desiran angin malam, seolah malam pun turut menutup mata.

Pukul empat pagi. Masih belum ada tanda-tanda mencurigakan di area pemakaman. Askara dan Adit sudah nyaris tak kuat menahan kantuk, meski kepanikan di dada belum benar-benar padam. Kecemasan terbesar Askara bukan pada si pembongkar makam, melainkan saat kejujurannya tidak dipercaya. Pak Dayat tampak gelisah, berusaha sabar, walaupun matanya tampak berat dan tubuhnya mulai letih.

Akhirnya, pak Dayat bangkit dari posisi sembunyi dengan helaan napas kesal. Wajahnya menunjukkan penyesalan karena mempercayai bocah sepolos Askara.

“Kalau sampai setengah lima tidak terjadi apa-apa, saya anggap ini semua buang-buang waktu.” gumamnya. “Dan kamu, akan saya bawa ke kantor polisi pusat untuk diperiksa.”

Askara tak bisa berkata-kata. Tubuhnya kaku, tenggorokan tercekat. Rasa bersalah mulai menari di pikirannya, sampai kemudian.

Pukul empat lebih lima belas. Kabut perlahan menebal, seolah ada sesuatu yang mengendap di udara. Suasana pekuburan berubah lebih dingin, lebih sunyi, lebih menakutkan dari biasanya. Aroma tanah basah mencuat, menambah getir suasana.

Dari kejauhan, sosok seseorang muncul perlahan. Awalnya ragu, namun kemudian melangkah mantap ke dalam pemakaman. Wajahnya sulit terlihat jelas dalam kabut, tapi gerak-geriknya mencurigakan, matanya celingukan, seolah sedang mencari sesuatu.

Askara menegang. Napasnya tertahan. “Pak, coba kesini, lihat itu!” bisiknya sambil menunjuk ke arah sosok misterius.

“Siapa itu? Dia lagi ngapain?” tanya Pak Dayat pelan, menyipitkan mata ke arah yang ditunjuk Askara sambil kembali bersembunyi.

Langkah sosok tersebut terus menuju sudut gelap pemakaman, ke arah dua gundukan tanah tanpa nisan. Hanya batu kecil sebagai penanda. Ia berdiri diam, menatap lama ke arah kuburan itu, seakan mengenal siapa yang dikubur di sana.

Perlahan, Askara menyipitkan matanya. “Itu, itu William. Atau, Willie?”

Dia tidak yakin. Wajah mereka terlalu mirip. Dia sudah lupa ciri khas apa yang membedakan keduanya.

“Askara, dia orang yang ngebongkar kuburan?” Pak Dayat bertanya dengan nada cemas.

“Saya nggak yakin pak, dia bukan orang yang saya lihat ngebongkar kuburan malam itu.” bisik Askara.

“Terus, siapa dia?” tanya polisi, suaranya mulai terdengar tegang.

“Mungkin, dia orang yang mukulin saya. Tapi.” Askara menahan napas, keraguan terbit di matanya. “Tapi bisa juga dia yang nyelametin saya waktu itu.”

Wajah polisi mengeras. “Jangan main-main, Askara. Dia siapa?” Suara pak Dayat naik satu oktaf.

“Dia yang mukulin saya.” jawab Askara akhirnya dengan cepat. Walaupun masih ada keraguan di hatinya.

Tanpa menunggu lagi, polisi itu melompat keluar dari persembunyiannya. “Kamu yang di sana! Berhenti!”

Sosok yang mereka kira Willie itu terkejut. Ia refleks menoleh, lalu bersiap lari.

DOR!

Suara tembakan memecah udara. Pelurunya tidak mengenai tubuh, tapi jatuh tepat di depan langkah si pemuda, membuatnya membeku ketakutan. Pak Dayat sudah menodongkan pistol ke arahnya.

“Jangan lari! Jangan bergerak! Kalau kamu melawan, aku tembak.”

Pemuda itu diam. Tubuhnya gemetar.

Suara tembakan itu menggema hingga ke perkebunan milik ayah Askara, tempat dimana Anita sedang melangkah pulang setelah menghabisi nyawa kedua orang tua Askara. Ia menghentikan langkahnya, kepala terangkat waspada.

“Suara tembakan?” Ada yang tidak beres, pikirnya.

Ia mengikuti arah suara, melintasi batas ladang dan pemakaman, lalu mendapati seorang polisi menodongkan senjata ke arah pemuda yang berdiri kaku.

Anita menyipitkan matanya, mengenali sosok itu. William. Senyum tipis muncul di wajahnya, sosok yang ia cari akhirnya muncul.

Namun, ada yang mengganggu pikirannya.

Kenapa ada polisi? Sedang apa dia?

Merasa ada yang tidak beres dengan William. Anita mencoba mengendap-endap ke arah polisi tersebut. Niat hati untuk melumpuhkannya dan menyelamatkan William.

Pak Dayat terus menodongkan pistolnya sambil melangkah maju ke arah depan, dia tidak menyadari kalau dibelakangnya sedang di intai oleh Anita.

Anita menunduk, menyusuri pinggiran bayangan dan mengendap.

Tatapannya tajam. Tangannya mengepal, siap menerkam. Dia harus melumpuhkannya. William harus diselamatkan.

Sementara itu, dari balik semak, Askara dan Adit masih mengintai. Tiba-tiba Adit menunjuk dengan tangan gemetar.

“Ra, itu siapa?” bisiknya panik.

Askara menoleh dan darahnya terasa membeku.

“Itu, Anita.”

“Hah?! Hantu Anita?!”

“Bukan.” ucap Askara lirih. “Dia bukan hantu, dia Vrykolakas.”

Adit nyaris jatuh terduduk. “Jadi, kamu nggak bohong, Ra?”

“Yaa, nggak lah.”

Tanpa menunggu lagi, Askara bergerak jongkok keluar dari tempat persembunyian.

“Mau ke mana, Ra?” Adit menahan lengan sahabatnya.

“Mau nyergap dia. Kita harus hentikan dia sebelum dia nyerang Pak Dayat. Biar beliau fokus tangkap Willie, atau siapapun itu.”

Adit menelan ludah. “Gila, kamu serius?”

Askara tidak menjawab. Matanya menajam. Ini saatnya mengambil risiko, demi menyelamatkan nyawa, demi menghentikan malam dari menjadi lebih berdarah.

Adit terus memandang Askara. Matanya tak berkedip, seolah takut kehilangan satu detik pun dari gerak sahabatnya. Namun di dekat mereka, di balik gelap dan kabut pekat, ada sosok lain yang sedang mengintai, menunggu saat yang tepat untuk muncul dari persembunyiannya.

William, yang berdiri kaku di tengah pekuburan, tiba-tiba menangkap seseorang di balik polisi. Matanya terbelalak. Sosok yang muncul dari balik kabut membuat jantungnya tercekat, Anita.

Pak Dayat yang melihat perubahan mendadak di wajah William, menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia memutar tubuhnya ke kiri, membuat Anita beringsut menghindar ke kanan. Ketika polisi mengarah ke kanan, Anita dengan sigap berpindah ke sisi lain. Dia cekatan, seperti bayangan yang menari di balik cahaya.

Begitu polisi mencoba menoleh ke belakang, Anita melesat ke depan. Secepat kilat, dia meloncat dan mencengkram punggung polisi. Kuku-kukunya yang tajam menembus seragam. Satu tangan merangkul leher, tangan lainnya mencengkram pinggang. Mereka bergumul. Tubuh polisi berguncang ke kiri dan kanan, mencoba melepaskan diri. Tapi Anita tak mengendurkan cengkeramannya.

Taring-taringnya yang runcing kini mengintip dari balik bibir. Suara geraman lirih keluar dari tenggorokannya.

“Arrgh.” desis Anita, sebelum menggigit leher polisi.

“A, apa ini?! Lepas!” Polisi itu meronta, dia menembak ke segala arah, namun gigitan itu telah mengunci, dia menancap kuat di leher pak Dayat. Darah mengalir dan kekuatan pak Dayat menghilang perlahan. Dia terjatuh seketika.

Askara yang menyaksikan hal itu, terpaku. Napasnya tercekat. William pun menatap kejadian itu tanpa bisa berkata apa-apa.

Anita melepaskan gigitannya. Darah masih menetes dari taringnya. Ia menoleh dan matanya bertemu dengan Askara yang sedari tadi sudah mencoba mendekat, tubuhnya bergetar.

“Askara?” suara Anita terdengar hampir seperti bisikan.

“Anita!” teriak Askara dengan kemarahan yang tak bisa lagi dia pendam. Dia menghampiri dengan berlari, lalu menjatuhkan tubuh Anita ke tanah.

“Dasar monster. Kamu udah bunuh Fitri dan sekarang kamu bunuh orang lagi. Emang monster biadab.”

Askara kini berada di atas Anita, kedua tangannya mengepal. Dia siap menghantam wajah gadis yang dulu ia kenal, yang kini hanya terlihat seperti bayangan kelam dari masa lalu.

Namun ketika ia menatap wajah Anita yang penuh darah, rautnya berubah. Mata Anita berlinang. Bibirnya gemetar. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang ingin pecah.

Waktu seperti berhenti.

“Jangan, jangan pasang wajah seolah-olah kamu pantas dikasihani.” bisik Askara dengan suara parau.

Tangannya yang tadi mengepal berubah, kini terangkat hendak menampar. Tapi sebelum sempat mengenai Anita, sebuah suara memanggil namanya.

“Askara!” suara Adit panik, ketakutan.

Askara menoleh. Pandangannya langsung membeku.

Di sana, beberapa meter dari tempatnya berdiri, Askara melihat Adit telah keluar dari persembunyian dan kini ditawan oleh seseorang yang sangat dikenalnya.

Willie.

Adit berdiri membeku. Tubuhnya gemetar hebat, matanya membelalak penuh teror. Willie berada di belakangnya, satu tangan mencengkeram bahu Adit dengan kekuatan mencengkeram baja, sementara tangan lainnya menyentuh lehernya. Jemarinya dingin seperti tangan mayat, tidak sepenuhnya hidup, tapi sangat nyata. Namun, bukan itu yang membuat Adit tak mampu bergerak.

Willie membisikkan sesuatu ke telinganya. Suaranya rendah tapi tajam seperti pisau.

“Kalau kamu berani ngelawan, siap-siap aja kepala kamu pisah sama badan.”

Ancaman itu tidak terdengar oleh Askara, tapi cukup untuk membekukan darah Adit. Napasnya tercekat. Lututnya nyaris tak mampu menopang tubuh. Terpaku. Lemas. Tak berdaya.

“Willie…?” gumam Askara, rahangnya mengeras.

Adit mencoba bicara, tapi hanya desis tertahan yang keluar. “T-tolong…”

“Lepasin dia, brengsek!” teriak Askara.

Willie hanya menatapnya, datar dan dingin. Sebaliknya, ia menekan kuku-kukunya lebih dalam ke bahu dan leher Adit. Adit meringis, tubuhnya nyaris roboh.

Tiba-tiba, terdengar tawa pelan dari bawah. Askara menunduk. Anita, dengan mata berkaca-kaca dan senyum getir, tertawa pelan.

“Hehehe, akhirnya kita bisa barengan lagi, Ra.”

“Aku nggak akan pernah jadi monster kayak kamu!” teriak Askara, penuh amarah dan luka.

“Aku juga nggak minta hidup lagi, Tapi aku nggak punya pilihan.”

“Terserah, yang pasti, kamu bukan Anita. kamu itu monster.”

Dalam hitungan detik, Willie bergerak cepat dan mematikan. Taringnya menancap dalam di leher Adit. Darah memancar. Bola mata Adit sempat membesar sebelum tubuhnya terhuyung dan jatuh tak bergerak.

Willie menghisap darah melalui mulutnya, senyum puas terlihat tatkala dia berhasil menghisap semua darah Adit.

“Satu lagi berhasil dibangkitkan.” Ucapnya, ketika Adit dihempaskan begitu saja ke tanah.

“Dasar keparat!” pekik Askara. Ia hendak bangkit, namun kaki kirinya ditarik paksa ke bawah.

Anita mencengkram pergelangan kakinya. Genggamannya kuat.

“Lepasin!”

“Nggak! Aku nggak bakal biarin kamu pergi lagi!” teriak Anita, genggamannya makin erat.

“Sial…”

Askara menatapnya, mata yang penuh amarah, kebencian dan luka yang belum sembuh. Di balik wajah pucat Anita, ia masih melihat bayangan gadis yang dulu selalu hadir di saat ia kesulitan. Tapi sekarang, yang ada di hadapannya adalah monster. Musuh. Pengkhianat.

Kakinya satunya terangkat tinggi, siap menghantam kepala Anita yang masih tersungkur di bawah.

Namun…

Ingatan itu muncul, saat Anita menolongnya, tertawa bersamanya, membantunya dikala pelajaran sekolah membuatnya terpuruk.

Keraguan menyelusup. Ragu yang mencabik amarahnya.

“Kenapa berhenti?” suara Anita parau tapi menantang. “Ayo, Ra. Tendang aku. Bunuh aku sekalian!”

Askara menggertakkan gigi. Lalu kakinya menghantam tanah di samping kepala Anita.

DUG!

Tanah bergetar, debu mengepul.

“Sialan...” desisnya, suaranya berat dan tercekik emosi.

Ia menoleh cepat ke arah Adit yang masih terkapar tak berdaya. Mengacuhkan Anita. Jantungnya berdetak semakin keras. Waktu hampir habis. Dia terpojok, lagi.

William berlari ke arah Askara dengan niat untuk membantu.

“Berhenti di situ, William.” seru Willie sambil mendonggakkan kepala dan menjulurkan tangan. Tatapannya tajam, tak ada lagi keraguan dalam suaranya.

“Jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu. Ini urusan antara teman-teman Askara. Giliranmu bakal datang, nanti.”

William terdiam, tapi ia tetap menjawab, suaranya bergetar oleh ketegangan yang ditahan.

“Hentikan, Willie. Ini semua salah. Kamu bakal nyulut api kebencian antara Manusia dan Vrykolakas lagi.”

Willie terkekeh pelan. “Nggak ada yang salah, William. Sebagai kakakmu, aku cuma menjalankan keinginan ayah dan ibu.”

“Berhenti bicara soal mereka!” balas William, suaranya meninggi. “Semua ini bukan tentang mereka! Ini semua keinginan kamu sendiri!”

“Adikku yang bodoh!” geram Willie, langkahnya berat namun mantap mendekat.

“Kalau kamu nggak percaya aku ngelakuin semua ini demi orang tua kita, maka kamu harus sadar satu hal, kamu cuma bisa bertahan hidup dengan menghabisi manusia. Meminum darah mereka.” Suaranya menekan, penuh keyakinan yang mengancam.

“Jangan lindungi mereka kalau kamu nggak mau binasa!” lanjutnya tajam, matanya menyala dalam gelap.

“Berhenti halangi para Vrykolakas membongkar makam. Jangan cegah Anita menyerang Askara. Dan berhenti lari dari rencana kebangkitanku. Ini takdir kita, William!”

Willie kini berdiri tepat di hadapan adiknya, menatap dalam.

 

“Kamu itu Vrykolakas, makhluk malam yang haus darah. Bukan manusia. Kita musuh mereka, bukan bagian dari mereka. Mengertilah, adikku yang bodoh.”

William tertunduk. Tak menjawab.

Askara masih tertahan oleh Anita, tapi wajahnya bingung. Hatinya terpecah, antara membalas dendam atau mendengarkan percakapan dua saudara itu yang kian memanas.

“Sejujurnya.” William akhirnya bersuara, lirih tapi tegas. “Aku memang ingin menjadi seperti ayah dan ibu. Tapi bukan kayak kamu yang mewarisi kebencian mereka. Aku pingin punya keluarga kayak mereka, hidup dalam kasih sayang, bukan dendam. Aku pingin punya pasangan. Aku pingin punya keturunan. Aku mewarisi cinta mereka, bukan amarahnya.”

Semua yang hadir terdiam. Bahkan Willie menegang sejenak mendengar jawaban William.

“Waktu aku bertemu Anita.” William melanjutkan. “Aku ngerasa dialah orangnya. Sejak pertemuan pertama, aku jatuh hati padanya, tapi...”

Suara William tercekat. Tenggorokannya terasa sesak. Tapi Willie tak memberinya ruang untuk diam.

“Tapi apa?” desaknya, tajam.

“...Tapi kamu malah mengubahnya.” jawab William akhirnya. “Aku ingin menciptakan kehidupan baru. Keturunan dengan darah manusia. Karena aku tahu, rasanya menjadi keturunan Vrykolakas seperti kita, sangatlah menyakitkan. Karena itu, kita berbeda, Willie. Itulah alasan aku pergi, karena jalan kita nggak bakalan pernah sama.”

Diam. Sunyi sesaat menyelimuti pemakaman itu.

“Kalau gitu.” suara Willie memecah keheningan. “Buat apa kamu datang ke kuburan ini? kamu mau ngebongkar kuburan Fitri?”

William menggeleng pelan, wajahnya berubah sendu.

“Nggak, bukan. Fitri nggak bakalan bangkit lagi, aku bisa merasakannya. Aku kesini, hanya untuk berpamitan sama ayah dan ibu.” Lanjut William. “Mereka di kubur disini, kan?” Wajahnya menoleh ke belakang, tempat orang tuanya beristirahat dalam keabadian.

Askara tercengang ketika mendengar penjelasan William. Harapannya untuk bisa melihat Fitri hidup kembali hancur seketika.

Sementara itu Anita hanya berdehem, matanya sempat membelalak, diliputi rasa bersalah ketika tahu Fitri benar-benar mati. Ia tahu, dialah penyebabnya.

Askara menatap Anita dengan kebencian yang membara.

“Ini semua gara-gara kamu.” desisnya. “Kamu yang bunuh Fitri. Aku nggak bakalan pernah maafin kamu!”

Kali ini tak ada keraguan dalam dirinya. Tangan Askara mengepal, lalu menghantam wajah Anita berkali-kali. Meski tak berdarah, wajahnya memerah dan membiru.

“Berhenti, Askara!” seru William sambil berlari mendekat, lalu menarik Askara menjauh dari Anita.

Tangan William mencengkeram kuat, mencoba menahan emosi yang mulai meledak di wajah Askara.

Willie hanya berdiri mematung, membiarkan William menyelamatkan Anita. Orang yang diam-diam disukai oleh adiknya.

“Lepasin!” bentak Askara, berusaha melepaskan diri dari genggaman William. Tapi William tak goyah.

“Enggak, Ra! kamu nggak bisa ngelakuin ini!” suaranya tegas, nyaris putus asa

“Jangan sakiti dia. Dia nggak bersalah. Aku yang harusnya kamu salahin.”

“Dia udah bunuh Fitri, brengsek!”

Anita hanya bisa terpaku. Kata-kata Askara seperti pisau yang mengiris pelan-pelan ke dalam hatinya. Air matanya mengalir tanpa suara.

Lalu, ia meraih tangan Askara yang hendak menghantam lagi. Menggenggamnya erat.

Askara tersentak. Tapi sebelum bisa bereaksi lebih jauh, Anita mendorong tubuhnya dengan kekuatan mengerikan. Askara dan William terhempas bersamaan ke belakang.

“Woooaa!” teriak mereka bersamaan saat jatuh ke tanah.

Kekuatan Anita sangat luar biasa, efek dari darah manusia yang telah ia minum. Membuatnya lebih kuat dari batas normal.

Dengan gerakan gesit, ia bangkit dari tanah lembab dan berlumpur. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berlari menuju bagian terdalam pemakaman, masuk ke dalam hutan bambu yang gelap dan sunyi. Meninggalkan semua orang di belakang.

“Anita! Tunggu!” William cepat berdiri dan berlari mengejarnya.

Sementara Askara hanya bisa tertegun. Napasnya berat. Matanya perlahan menoleh ke arah lain, ke arah Adit yang masih terkapar, namun dia mencoba mengerakan tangganya.

“To-long, Ra.” Ucapnya dengan susah payah.

Adit masih hidup, dia sekarat. Askara menghembuskan napas lega untuk sesaat, dia segera berlari meraih sahabatnya. Mengabaikan kehadiran Willie yang sedari tadi masih saja memperhatikan dia.

Willie tersenyum kecil. Ada kepuasan di sana. Senyuman licik yang menyimpan rencana busuk.

“Percuma saja kamu nolongin dia, Ra.” ucap Willie santai. “Racun aku udah mulai ngalir dalam darahnya. Nggak lama lagi, dia bakal jadi seperti aku. Atau mungkin, seperti Fitri.”

“Ra, sakit.” Pekik Adit lirih dan memelas, hampir seperti bisikan.

“Tapi, kalau kamu mau nolongin temanmu yang sekarat itu, bisa saja. Aku punya cairan penawarnya dari Alfred. Tapi ada syaratnya.”

“Katakan!” seru Askara tegas, matanya menatap lurus ke arah Willie.

“Kamu harus membantu aku bertemu dengan orang tuaku.”

“Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Alis Askara mengernyit, bingung.

“Ifal pernah bilang padaku, kalau kamu bisa merasakan orang-orang yang akan mati. Benar nggak?”

Seketika itu Askara terdiam. Bayangan akan sosok-sosok yang pernah muncul sebelum kematian mereka, Anita, Ifal, Fitri, berkelebat kembali di pikirannya. Dalam kasus Ifal dan Fitri, ia bahkan merasa seolah hadir di tempat asing yang belum pernah ia datangi.

“Dari cerita itu, aku yakin.” lanjut Willie. “Kamu punya kekuatan istimewa untuk ngerasain hawa kematian dan kebangkitan.”

Askara masih terdiam, menanti penjelasan selanjutnya.

“Aku tanya sama kamu.” Willie mendesak. “Apa kamu pernah ngerasa seseorang yang mau mati datang sama kamu atau kamu tiba-tiba berada di tempat asing buat ketemu sama mereka?”

Askara terbelalak, pertanyaan itu tepat seperti apa yang dia alami, ia tanpa sadar mengangguk pelan.

“Hebat. Itu adalah kekuatan untuk masuk ke alam kematian.” gumam Willie. “Aku butuh kekuatan itu. Aku ingin kamu bantu aku bertanya pada arwah orang tuaku di alam sana.”

“Aku nggak bisa ngelakuin hal kayak itu. Alam kematian? apaan itu, jangan bercanda.”

“Aku serius. Dengan bantuan kekuatan Vrykolakas, kamu bakal ngalamin kematian satu kali dan saat itu terjadi, kamu bisa menemui arwah dan menanyakan apa yang perlu aku tahu.”

“Jangan bodoh. Aku nggak mau jadi seperti kalian.”

“Kalau gitu, kamu uda siap liat Adit mati?” Willie terkekeh sinis, sementara Adit terlihat makin melemah.

“Oh iya.” lanjutnya sambil menyeringai. “Aku juga berencana membentuk koloni Vrykolakas di desa ini. Aku akan memangsa mereka satu per satu. Desa ini akan jadi sarang kami. Sisanya? Bankai.”

Saat itu, Adit tiba-tiba jatuh berlutut. Kakinya lemas, tubuhnya kehilangan tenaga dan wajahnya meringis kesakitan.

“Adit, kamu nggak apa-apa?” tanya Askara panik, mendekat satu langkah.

“Sakit, Ra.” gumam Adit lirih.

“Hahaha, sepertinya efeknya mulai terasa. Sebentar lagi dia akan mengalami kematian pertama. Cepat, buat keputusan!” Willie mendesak.

“Tunggu.” ujar Askara cepat. “Kalau aku bersedia jadi seperti kalian, aku juga punya syarat.”

“Katakan.”

“Jangan sentuh desa ini. Jangan ubah siapa pun. Dan pergi sejauh mungkin dari sini. Selamanya.”

Willie tertawa kecil. “Mudah. Memang itu rencanaku kalau kamu mau bantu aku..”

“Kalau begitu, kita sepakat.”

Adit menatap samar ke arah Askara. Ia terlalu lemah untuk bicara. Willie melangkah mendekat.

“Sembuhin Adit dulu.” ujar Askara dengan nada tegas.

Willie mengeluarkan botol kecil berisi cairan kuning dari sakunya. “Kamu bisa kasih ini sama dia. Maka efek transformasinya bakal hilang.”

Askara menerima botol itu, tanpa tahu kelicikan di balik senyum tipis Willie. Ia segera meminumkan cairan itu ke mulut Adit. Beberapa saat kemudian, tubuh Adit mulai tenang. Wajahnya menghangat, napasnya teratur kembali.

“Gimana? Aku jujur, bukan?”

Askara mengangguk pelan, walau enggan.

“Sekarang giliranmu.”

Askara ragu. Ketakutan menyelimutinya. Dia tahu, jika ini dilakukan, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Tapi demi Adit, demi orang-orang yang ia sayangi dan demi desanya, ia harus melakukannya.

Sebelum mendekat pada Willie, Askara sempat membisikkan sesuatu ke telinga Adit. Ia menyuruh Adit menyimpan sedikit cairan itu dan memberikan padanya nanti jika dirinya dalam kondisi sekarat.

Adit mengangguk lemah. Willie sedikit curiga, tapi mengabaikannya.

Askara berdiri di depan Willie. “Dekatkan kupingmu.” Ucap Willie. “Aku bakal bisikin pertanyaannya lalu siapa arwah yang harus kamu tanya dan apa cirinya.”

Askara mengangguk. Kemudian dia dekatkan telinganya. Suara bisik-bisik terdengar samar. Sesekali bola mata Askara terbelalak lebar. Kemudian diakhiri dengan anggukan.

Setelah itu dia memiringkan lehernya. Mempersilahkan Willie mengigitnya.

“Lakukan dengan cepat.” ucapnya mantap.

Senyum iblis terbit di wajah Willie. Ia langsung menancapkan taringnya ke leher Askara. Saat itu juga tubuh Askara membeku. Dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Bola matanya terbelalak sebelum perlahan menutup, tubuhnya lunglai dan jantungnya berhenti berdetak.

Di antara hidup dan mati, Askara merasa melayang. Darahnya terasa mendidih, tubuhnya ringan seperti kapas tertiup angin. Segalanya memburam. Ia tak lagi bisa merasakan apapun, hanya kehampaan yang membungkus kesadarannya. Matanya menutup sempurna.

Namun tak lama kemudian, kelopak matanya terbuka perlahan. Dia terbangun di dunia yang ia tak kenal, lagi-lagi, Askara berdiri di tempat yang pernah ia lihat sebelumnya: sebuah padang pasir luas, membentang tanpa batas, dengan matahari menyengat terik tapi tidak membuatnya panas serta bangunan aneh berdiri kokoh menjulang di tengahnya. Bangunan itu seperti sebuah gudang tanpa barang. Hanya kumpulan manusia.

Ia berdiri tepat di depan pintu masuk bangunan itu. Di sekelilingnya, orang-orang dengan langkah gontai, wajah tanpa ekspresi, memasuki bangunan tanpa suara. Di dalamnya, ratusan, bahkan jutaan manusia berbaris rapi dalam diam, mengenakan pakaian cokelat lusuh. Mereka seperti menanti sesuatu, entah keputusan, entah takdir.

Askara terdiam memandangi semua itu. Dia menyapu pandangan matanya kesetiap sudut ruangan. Kemudian matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya. Fitri.

“Fitri?” teriaknya sambil berlari mendekat.

Gadis itu tak bergeming. Ia berdiri dalam barisan, memandangi sebuah tembok bangunan dengan jendela-jendela kecil, tempat sinar matahari berusaha menyelinap masuk ke sela-selanya.

Askara menyentuh pundak Fitri untuk memaksanya menoleh.

“Askara?” Seketika Fitri terbelalak. Mata mereka saling bertemu. “Kamu, kenapa bisa ada di sini?”

Askara tersenyum samar, penuh rasa syukur bisa melihat wajah Fitri lagi, meski dalam suasana yang belum bisa dijelaskan oleh akalnya.

“Aku juga nggak tahu. Tiba-tiba aku udah ada di tempat ini.”

Fitri menarik napas dalam. Tatapannya sendu.

“Kalau kamu sampai di sini, artinya kamu udah mati, Ra.”

Askara tercekat. “Hah? Emangnya, tempat apa ini?”

“Ini, alam kematian. Persimpangan antara alam hidup dan alam akhirat.” jawab Fitri lirih. “Sebelum kita diputuskan untuk masuk ke surga atau neraka, kita menunggu di tempat ini.”

Askara menelan ludah, tak menyangka bahwa ucapan Willie selama ini ternyata bukan bualan. Ia benar-benar berada di alam kematian. Dengan napas tercekat, ia menyapu pandangannya, menyaksikan jutaan manusia berdiri berbaris dalam diam, menatap lurus seolah menunggu sesuatu.

“Ra?” panggil Fitri.

“Oh, maaf aku melamun. Aku keinget sesuatu, Fit. Aku kesini bukan karena aku mati, tapi untuk mencari seseorang.”

“Siapa?”

“Orang tua Willie.”

Fitri menatap heran, dia tidak mengenal Willie.

“Willie? Siapa dia?” Tanyanya.

“Dia makhluk yang berniat ngehancurin desa Tatar Loka Kumayan. Rencananya, mengubah seluruh warga di sana jadi Vrykolakas. Penghisap darah.”

“Astaga.” Fitri refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya menegang, sorot matanya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. “Kalau yang kamu bilang benar, itu artinya semua warga disana dalam bahaya?”

“Betul. Jadi aku buat perjanjian sama dia. Kalau aku bisa mencari orang tua Willie disini, dia berjanji bakal pergi dari desa.” Askara menjelaskan dengan napas memburu.

“Kalau gitu, kamu bisa bertanya sama penjaga gerbang.” katanya sambil menunjuk podium tinggi di depan mereka. Seorang pria terduduk di sana, memeriksa tumpukan kertas dan menstempel satu per satu nama.

Di belakangnya ada sebuah gerbang yang dibaliknya ada jembatan yang bercahaya keemasan menuju tempat yang tak berujung. Ada beberapa orang yang melewatinya setelah menerima sebuah surat dari si penjaga gerbang.

“Kamu lihat di belakangnya?” lanjut Fitri.

Askara mengangguk.

“Itu jalan menuju alam berikutnya. Aku sendiri lagi nunggu nama aku dipanggil. Kamu bisa tanya apakah orang yang kamu cari udah ngelewatin gerbang itu atau belum.”

“Kalau gitu, temani aku!” Askara mengajak Fitri mendekat ke podium. Pria penjaga itu memiliki wajah menyeramkan, dingin dan tak bersahabat. Matanya melotot, gurat keriputnya jelas. Seperti tokoh menyeramkan di film-film horor yang pernah Askara tonton.

“Sedang apa kalian disini? Menyingkir! Kalian menghalangi antrean.” ucapnya datar, namun suaranya tegas.

Fitri melangkah maju. “Maaf, kami ingin bertanya. Apa Anda sudah memanggil nama…”

Ia menoleh ke Askara, menyadari ia tak tahu nama yang dicari.

“Namanya Mr. Berg dan Mrs. Stille.” lanjut Askara.

“Ciri-cirinya?”

“Si Pria punya gigi taring ompong di sebelah kanan. Si wanita punya tanda hitam di pipinya.”

Penjaga itu mendesah kasar. “Hei, ada jutaan jiwa di sini. Jutaan ciri seperti itu. Mana kutahu kalau kamu nggak menyebutkannya lebih spesifik.”

Askara menatap Fitri, saling berpandangan dalam keheningan yang penuh kepasrahan. Ia sadar, dirinya tak memiliki informasi lebih rinci dari Willie.

“Oh iya tuan.” Sebuah ide perlahan muncul di benak Askara. “Mereka bukan manusia. Mereka Vrykolakas.”

Si penjaga seketika terdiam, matanya menyipit.

“Kenapa nggak bilang dari tadi! Gerbang ini hanya untuk manusia. Selain itu, kami buang ke tempat lain.”

“Kemana?” Tanya Askara antusias.

Dengan gerakan lambat dan kaku, si penjaga melambaikan telunjuknya. Udara di depan mereka beriak, seperti kertas tipis yang di gunting menjadi dua, lalu membentuk sebuah portal panjang yang memancar cahaya temaram kebiruan.

“Ke sana.” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.

Di balik portal itu, terlihat sosok-sosok asing berdiri membeku dalam kegelapan. Makhluk-makhluk aneh itu berjajar rapi, menatap kosong ke depan.

“Kamu cari di sana. Semua makhluk non-manusia dikumpulkan di sana, mereka akan dimusnahkan.”

Askara dan Fitri menatap dalam. Portal itu bagaikan celah menuju kehampaan.

“Cepat masuk! Jangan hambat antrian!”

Askara melangkah maju tanpa ragu, namun Fitri menahannya.

“Ra, kamu yakin?”

“Aku harus nyelamatin semua orang, Fit.”

“Kalau gitu, aku ikut ya.”

Askara terkejut sekaligus tersentuh, dia merasa senang ada Fitri yang akan menemaninya, tapi si penjaga mencegah Fitri.

“Nona, kalau kamu masuk, kamu nggak bisa kembali. Kamu nggak bisa masuk surga atau neraka. Kamu akan jadi makhluk non-manusia.”

Fitri menegang. Ragu. Tapi Askara menatapnya lembut.

“Kamu di sini aja, Fit.”

“Tapi…” Ucap Fitri.

“Bagaimana denganku?” potong Askara. Dia bertanya pada si penjaga, tanpa menunggu kalimat Fitri selesai.

Penjaga melihat dengan seksama tubuh Askara, dari kepala hingga kaki. “Kamu belum sepenuhnya mati ya. Masih di antaranya.”

“Aku lagi sekarat.”

“Kalau begitu kamu masih punya pilihan untuk hidup atau mati. Lihat tanganmu.”

Askara menunduk. Di punggung tangannya, tergambar jam pasir yang tadi tak ada.

“Kalau gambar jam pasir itu menghilang, kamu akan mati sepenuhnya. Kalau kamu mati di dalam sana, kamu nggak bisa kembali. Tapi kalau kamu berhasil keluar tanpa melewati gerbangku, kamu bisa hidup lagi. Tekan gambar jam pasir itu untuk membuat portal. “

Askara menggigit bibir. Ragu mulai menyergapnya.

“Ra, aku ikut ya.” Fitri kembali memohon.

“Nggak, Fit. Kamu udah dengar tadi kan. Kenapa kamu masih mau ikut?”

“Soalnya aku pingin sama Ifal.”

Askara tercekat. Hatinya menegang.

“Hah? Maksud kamu?”

“Ifal, dia bukan manusia lagi kan. Kalau dia mati, dia akan masuk ke tempat itu. Dan aku, aku nggak mau masuk surga atau neraka sendirian tanpa dia. Lebih baik aku hidup di kehampaan sama dia.”

Askara terdiam. Ada kegelisahan yang menggumpal di dadanya yang tak bisa ia sembunyikan. Gadis yang diam-diam ia sukai ternyata masih menyimpan perasaan terhadap orang lain, bahkan setelah kematian memisahkan. Ia tak habis pikir, bagaimana cinta Fitri pada Ifal bisa sebegitu dalam, begitu kuat hingga menembus batas alam.

Sedikit demi sedikit, rasa cemburu merayap dan membakar hati Askara, meski tak ia tunjukkan lewat kata-kata. Namun dibalik itu semua, sorot mata Fitri, tenang dan penuh keyakinan, mengirimkan sinyal yang sulit dibantah: bahwa ia telah memilih dan pilihan itu bukan Askara.

Akhirnya Ia mengangguk pelan. Lalu menggenggam tangan Fitri.

Bersama, mereka melangkah ke dalam portal.

“Gadis bodoh.” gumam penjaga itu saat portal tertutup kembali.

Berbagai makhluk aneh berkeliaran di tempat itu, dari hantu-hantu lokal dengan rupa mengerikan, sampai sosok-sosok asing yang menyerupai alien. Semua berdiri diam, terjebak dalam hening yang membuat bulu kuduk merinding.

“Gimana kita nyarinya, Ra? Banyak banget makhluk di sini.” gumam Fitri, matanya menyapu sekeliling dengan gelisah dan ketakutan.

“Kita cari yang mirip manusia, terus tanya langsung. Siapa tahu mereka Vrykolakas.” jawab Askara sambil maju perlahan.

“Tapi, itu bakal makan waktu banget.”

“Emangnya waktu masih berlaku di tempat kayak gini?”

Fitri terdiam. Ia baru sadar, di dunia ini, waktu serasa berhenti. Tidak ada detak, tidak ada perubahan. Semuanya statis.

Akhirnya, mereka mulai pencarian. Menyusuri kerumunan makhluk-makhluk menyeramkan yang menatap kosong ke arah entah ke mana. Tak ada ekspresi, tak ada suara, hanya tatapan hampa yang mengambang di udara kelam.

Di kejauhan, mereka melihat sekumpulan makhluk berwujud manusia.

“Kayaknya itu, Fit. Yuk, kita samperin.” ucap Askara, mulai berlari kecil.

“Permisi, apa kalian dari bangsa Vrykolakas?” tanya Askara saat mereka mendekat.

Salah satu makhluk menoleh perlahan dan menggeleng pelan.

Askara menghela napas, lalu melanjutkan pencarian. Mereka menemukan lagi sosok mirip manusia, tapi kali ini punya tanduk melengkung seperti domba.

“Ayo, tanya mereka juga.” kata Askara.

“Permisi, kalian dari bangsa Vrykolakas?” Fitri mencoba bertanya.

Makhluk itu menggeleng, tapi tangannya perlahan menunjuk ke depan, ke arah sekelompok makhluk lain yang berdiri diam.

“Terima kasih.” ucap Fitri ramah. Tapi makhluk itu hanya menatap kosong, tak memberikan reaksi apa pun.

Mereka mengikuti arah yang ditunjukkan, lalu bertanya pada makhluk-makhluk baru yang mereka temui.

“Permisi, apa kalian Vrykolakas?”

Salah satu pria di antara mereka mengangguk pelan. Askara dan Fitri langsung antusias.

“Apa kalian tahu Mr. Berg dan Mrs. Stille?” tanya Askara penuh harap.

Sosok itu tidak menjawab, hanya diam menatap kosong. Askara pun menjelaskan ciri-ciri orang yang mereka cari.

Tanpa sepatah kata, makhluk itu menunjuk dua sosok yang berdiri mematung tak jauh dari sana, menatap kosong ke depan.

Ketika mereka mendekat, Askara langsung menyadari, wajah pria itu sangat mirip dengan Willie dan William.

“Pak, apa Anda Mr. Berg? Ayahnya Willie dan William?” tanya Askara pelan.

Sosok itu sempat terperanjat, menoleh, tapi kemudian wajahnya kembali datar. Tidak berkata apa pun.

“Ra, sepertinya bener deh, dia ayahnya.” bisik Fitri.

Askara maju selangkah, lalu mengulurkan tangannya ke wajah pria itu. “Permisi, Pak, maaf ya.”

Perlahan, ia membuka mulut pria itu. Di dalamnya terlihat taring, hanya satu, taring satunya ompong.

“Fit, bener! Ini dia orangnya!” seru Askara, matanya bersinar.

“Tuan, aku mau tanya sesuatu.” ucap Askara serius. Pria itu mengangguk pelan, seolah paham.

“Aku disuruh Willie buat tanya, sebenarnya, Tuan pingin anak-anak Tuan jadi pembunuh umat manusia atau melanjutkan hidup sebagai makhluk berketurunan, kayak kalian?”

“Ra, pertanyaan macam apa itu?” tanya Fitri bingung.

“Itu prinsip hidup Willie dan William. Mereka pingin tahu apa yang diinginkan orang tua mereka.”

Mr. Berg menunjuk angka dua dengan jarinya.

“Dia pilih nomor dua, Fit. Berarti dia pingin anak-anaknya hidup dan berkembang biak, bukan jadi pembunuh.” ujar Askara dengan senyum lega.

Tapi senyum itu langsung hilang ketika di belakang Mr. Berg muncul sosok wanita. Tatapannya tajam. Ada tanda hitam di pipinya. Ia menunjuk angka satu, membasmi manusia.

“Mrs. Stille.” bisik Fitri. “Itu ibu mereka. Dia pilih nomor satu.”

Askara mengangguk. Kebingungan muncul di wajah mereka berdua.

“Ra, terus kita harus gimana?”

Askara menatap keduanya bergantian, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku, bakal milih berdasarkan pilihanku sendiri.”

“Kamu mau bohong?”

Askara mengangguk pelan. “Ya.” Mereka berjalan menjauh. “Sekarang, kita kembali.”

Mereka menyusuri kerumunan untuk mencari tempat yang agak lapang agar bisa membuka portal keluar.

Namun langkah Askara terhenti.

Tatapannya membeku. Matanya terbelalak.

“Mamah? Papah?” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Di antara kerumunan itu, berdiri dua sosok yang sangat ia kenal. Wajah yang tak mungkin ia lupakan seumur hidup.

Fitri menyadari perubahan ekspresi Askara. “Ada apa, Ra?”

Askara menunjuk ke depan. Fitri mengikuti arah telunjuknya.

“Mereka, orang tua kamu?” tanyanya pelan.

Askara tak menjawab. Ia hanya mengangguk, dengan mata yang tak mau lepas dari dua sosok yang berdiri mematung, menatap hampa ke depan.

“Kalau mereka ada di sini, itu artinya, nggak mungkin, nggak mungkin. Mereka Vrykolakas?” gumam Askara pelan, jantungnya berdegup kencang. Masih berusaha mencerna apa yang dia lihat. Kakinya melangkah pelan, berat seperti diseret oleh suatu benda.

“Mah? Pah?” panggilnya lirih, menatap dua sosok yang berdiri mematung. Tangannya terangkat, mencolek pelan lengan pria di hadapannya, mencoba memastikan bahwa mereka nyata. Saat keduanya menoleh, detak jantung Askara berhenti sejenak. Wajah mereka, tidak salah lagi.

Itu benar-benar mereka. Orang tuanya.

“Kenapa, kenapa kalian ada di sini?” suaranya nyaris pecah. Perasaan tak percaya dan nyeri bercampur jadi satu. Matanya mulai berair, tapi dia menahan. Menahan agar air mata itu tak jatuh.

Namun kedua orang itu hanya menatap kosong. Tak ada kata, tak ada ekspresi. Seolah tubuh mereka ada, tapi jiwanya telah hilang entah ke mana. Hanya mata mereka, mata yang tetap tertuju pada Askara, yang membuat semuanya terasa makin menyakitkan.

Askara menunduk sejenak. Dia melirik ke arah jam pasir di pergelangan tangannya. Masih ada waktu. Tanpa pikir panjang, dia menekannya. Sebuah portal terbuka perlahan di hadapannya, membelah ruang gelap seperti menggunting alam.

“Ayo, Fit. Kita pergi sekarang.” katanya cepat, menatap Fitri lalu kembali ke orang tuanya.

Dia menggenggam tangan kedua orang tuanya, mencoba menyeret mereka keluar. Fitri mengangguk, ikut melangkah. Tak ada lagi suara penjaga yang memperingatkan mereka, atau mungkin mereka sengaja mengabaikannya.

Askara melangkah duluan ke dalam portal, diikuti Fitri. Namun saat dia hendak masuk, tubuhnya terpental ke belakang. “Aduh.” Dia terjatuh.

Fitri seperti membentur dinding kaca yang tak terlihat. Dia tertahan, tak bisa melewati batas cahaya portal. Hanya Askara seorang yang berhasil menyeberang.

“Fit? Mah? Pah?” Askara menoleh panik. Suaranya bergetar.

Fitri bangkit dari lantai. “Kayaknya, kita nggak bisa ikut, Ra.” katanya lemah disebrang sana.

“Nggak mungkin. Kita harus keluar bareng-bareng!” Askara melompat kembali masuk kedalam portal, menghampiri Fitri dan orang tuanya. Mengabaikan portal di belakangnya.

“Sudahlah, Ra. Aku nggak apa-apa, Ingat kata si penjaga, cuma kamu yang bisa keluar.” Fitri berdiri dan menatapnya dalam. “Kamu harus pergi.”

“Tapi…”

“Berjanjilah satu hal.” potong Fitri cepat. “Katakan ke Ifal, aku nungguin dia di sini.”

Air mata mulai menetes di pipi Askara. Dia menggigit bibir, berusaha menahan tangis. “Aku, nggak bisa ninggalin kalian. Kalian semua berarti buat aku.”

Fitri tersenyum tipis. “Kamu lebih penting dari kami, Ra. Kamu masih harus nyelametin orang-orang desa.”

Saat mereka masih berdebat, portal di belakang Askara mulai mengecil. Cahaya perlahan menghilang, seperti dua tirai yang bertaut metutup perlahan.

“Ra, lihat!” teriak Fitri sambil menunjuk ke belakangnya.

Askara menoleh cepat. Matanya terbelalak. “Nggak, mungkin!”

“Cepat pergi! Ini kesempatan terakhir kamu!” suara Fitri penuh dorongan, tapi juga kepedihan.

Namun Askara tetap mematung. Dia tak sanggup.

Tanpa diduga, Fitri menabraknya dan mendorong tubuh Askara masuk ke dalam portal dengan sekuat tenaga.

“Selamat tinggal, Askara.” suaranya melengking. Dia berteriak. “Bilangin ke Ifal, aku cinta dia!”

Suara Fitri perlahan menghilang saat portal menutup sepenuhnya. Hening. Air mata Askara jatuh perlahan, namun tidak ada kata diantaranya. Hatinya remuk, hancur mengetahui nasib apa yang akan menimpa orang yang dia cintai. Lalu…

Askara terduduk. Napasnya terengah. Di sekelilingnya hanya kabut tipis dan suara napasnya sendiri. Dia berada di depan si penjaga.

“Oh, kamu kembali.” gumam si penjaga. “Urusanmu sudah selesai?”

Askara menoleh dengan mata sembab. Dia mengangguk pelan, lalu berdiri perlahan, menatap penjaga itu dengan tekad yang menyala di matanya.

“Gimana caranya aku bisa balik ke alam dunia?”

“Dengarkan suara orang hidup yang memanggil namamu. Ikuti suara itu. Kamu akan tahu jalannya.”

Tanpa banyak berpikir, Askara memejamkan mata. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang kacau. Dalam gelap kesadarannya, ia membayangkan sosok Adit memanggil-manggil namanya, seperti seseorang yang berusaha membangunkan temannya dari tidur panjang.

Anehnya, bayangan itu terasa semakin nyata. Suara Adit kini terdengar jelas di telinganya, seolah berasal dari dekat... sangat dekat.

“Ra! Askara! Jangan mati dulu, Ra!” Suara Adit memanggilnya.

“Askara, ayo bangun!”

Dia menegakkan kepala. Suara itu terdengar makin jelas. Dia mulai berjalan, mengikuti arah suara itu, perlahan namun pasti.

“Ra! Cepat bangun!”

Langkahnya semakin cepat. Dia merasakan cahaya terang membelah gelap seperti celah di langit. Suara Adit terdengar dari sana. Dia membuka mata dan melihat cahaya itu, itulah pintu keluarnya.

Askara melompat masuk ke dalamnya dan tiba-tiba,

Dia batuk-batuk. Napasnya sesak. Kelopak matanya bergerak pelan, lalu terbuka. Wajah Adit yang menatapnya khawatir menyambutnya.

“Ra!” Adit menahan bahu Askara. “Syukurlah.” dia tersenyum lega.

Sementara itu, suara batuk Askara membuat Willie menoleh.

“Apa, dia hidup lagi?” Willie menatap Askara yang baru terbangun di kejauhan dengan mata terbelalak.

“Nggak mungkin, dia harusnya udah mati! Gimana dia bisa?”

Pandangan Willie beralih ke Adit yang masih menggenggam botol kecil, penawar. Wajahnya mendadak penuh kemarahan. “Kamu, kamu yang!” Dia berlari dan menerjang hendak menyerang Adit. Tapi sebelum sempat mendekat, Askara berdiri menghadang.

“Cukup, Willie.”

Willie terhenti. Napasnya memburu.

“Aku udah ketemu orang tuamu di alam kematian.” suara Askara tenang, tapi dalam. “Mereka, memilih prinsip William. Bukan punyamu. Mereka nggak mau kalian jadi pembunuh umat manusia. Mereka pingin kalian hidup, berkembang biak, meneruskan generasi kalian dengan cara yang benar.”

Willie membeku. Raut wajahnya perlahan berubah. Napasnya mengendur. Dia terdiam lama, lalu terkekeh kecil, getir.

“O, jadi begitu.” katanya pelan, berusaha terdengar tenang.

“Baiklah, nggak masalah.”

Willie tersenyum kecil. Namun ada sesuatu yang kelam dalam senyumnya, bukan ketulusan, tapi ancaman tersembunyi.

“Tapi, gimana kalau aku nggak mau ngelakuinnya?”

Askara dan Adit langsung menegang.

“Apa? Kamu nggak bisa begitu!” seru Askara, nadanya berubah jadi penuh amarah. “Kamu udah janji! Jangan ingkar, Willie!”

Willie menatapnya datar. “Siapa peduli? Lagian, siapa yang bisa ngehentiin aku?”

“Tentu saja kami akan ngehentiin kamu!” Adit maju selangkah, penuh tekad.

Willie berbalik, kemudian menoleh perlahan ke belakang. Tatapan meremehkan terpancar dari matanya. “Kalian?” Dia tertawa kecil. “Mana bisa. Haha”

“Hei, tunggu!” Teriak Askara. Tapi suara itu belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba, tubuh Askara dan Adit melemas. Kaki mereka goyah, seperti kehilangan kekuatan. Dalam sekejap, mereka terhuyung dan terjatuh ke tanah.

“Ugh, a-apa ini.” desah Adit.

Perut mereka terasa seperti diremas dari dalam, nyeri yang menyiksa menjalar ke dada. Kepala mereka berdenyut hebat, berputar dan seolah terbakar. Pandangan mulai buram. Dunia berputar, menyempit jadi kabut.

Willie berdiri di atas mereka dengan wajah puas. Senyumnya makin lebar, menyeringai seperti iblis.

“Askara, Askara.” gumamnya sambil berjalan mendekat. “Kukira kamu cukup pintar untuk tahu tipuanku, tapi ternyata kamu sama bodohnya kayak William.”

Dia jongkok, mendekatkan wajahnya ke arah Adit yang mulai kehilangan kesadaran. Dia meraih botol kecil yang tergeletak di depannya.

“Kalian kira, penawar ini bisa nyelamatin kalian?”

Suara Willie terdengar pelan. Dia mengangkat botol kecil kosong yang sebelumnya dipegang Adit. Cairan kuning itu tinggal tetesan.

“Oh, tidak.” lanjutnya sambil tersenyum menyeringai. “Ini cuma penawar dengan dosis kecil. Sekadar memperlambat, bukan menyembuhkan. Cepat atau lambat, tubuh kalian bakal jadi seperti kami.”

Matanya menyala dengan kegembiraan yang jahat.

Senyum licik menghiasi wajahnya, seolah ia menikmati penderitaan di hadapannya.

Lalu pandangannya berpindah, menatap Askara yang tengah berlutut di tanah, tangan menggenggam perutnya, meringis kesakitan. Napasnya berat. Wajahnya pucat.

Willie menyipitkan mata, lalu berbisik pelan,

“Kamu kira aku bakalan mau tunduk sama harapan orang tuaku? Hah. Aku bukan William dan aku bukan kamu. Aku, punya jalanku sendiri.”

Willie berdiri tegak. Suaranya menggelegar.

“Jalanku adalah memusnahkan umat manusia dan menggantinya dengan bangsa Vrykolakas! Dunia ini akan jadi milik kami! Kebangkitan Vrykolakas.”

Tawa Willie menggema dalam gelapnya malam.

Askara terjatuh. Tubuhnya lemas. Matanya perlahan memudar, cahaya dalam bola matanya meredup. Napasnya berat, terputus-putus. Busa putih mengalir dari sudut bibirnya.

Lalu, gelap.

Semuanya menghilang.

Hening.

Dan tiba-tiba,

Matanya terbuka.

Dia terbaring di tanah berpasir yang familiar namun asing. Cahaya matahari menyoroti sekelilingnya.

“Tidak mungkin, aku di sini lagi?” bisiknya lirih. Suaranya sendiri terasa jauh.

Dia bangkit perlahan. Kepalanya berdenyut, tapi tubuhnya mulai pulih. Matanya menyapu seluruh tempat itu, hamparan alam kematian, tempat ia pernah berada sebelumnya. Suasana begitu sunyi, namun ramai, tapi mencekam. Makhluk-makhluk tak dikenal bentuknya berbaris rapi, rupa mereka tak wajar, seperti mimpi buruk yang jadi nyata.

Bentuk mereka sungguh mengerikan. Beberapa di antaranya memiliki tubuh seperti manusia, namun penuh dengan kejanggalan yang mencolok. Ada yang bertanduk melengkung seperti domba, menjulur dari pelipis hingga hampir menusuk langit. Kulit mereka kusam, keabu-abuan, menampakkan urat-urat besar yang berdenyut liar di bawah permukaannya. Wajah mereka menyerupai manusia, tapi terlalu panjang, terlalu sempit, seolah-olah tangan kasar telah menariknya tanpa belas kasihan.

Tubuh mereka membungkuk, dengan tangan yang lebih panjang daripada kaki, sehingga jari-jarinya yang runcing hampir menyeret di tanah. Beberapa makhluk memiliki mulut yang tak berhenti bergumam dalam bahasa yang tak dimengerti, sementara yang lain menatap kosong, sepasang mata hitam legam tanpa kilau kehidupan.

Dalam lamunannya yang ketakutan, Askara membayangkan: bagaimana jika makhluk-makhluk ini adalah wujud jiwa-jiwa yang kehilangan bentuk manusianya? Tersesat, terdistorsi, tertolak oleh alam dunia maupun alam kematian. Mereka adalah saksi bisu dari nasib yang tak pernah dipilih, Vrykolakas dan makhluk-makhluk berbentuk aneh lainnya, menunggu giliran untuk dilemparkan ke dalam kehampaan untuk dilenyapkan.

Askara menelan ludah. Napasnya gemetar.

Diantara makhluk yang tak dapat dideskripsikan, sosok itu berdiri di antara barisan Vrykolakas.

Dia mengenal wajah itu, tapi mata itu… bukan mata Fitri yang dulu. Apa kamu, masih Fitri yang aku kenal? bisik Askara dalam hati.

“Fitri?” suara Askara tercekat, dia memanggil untuk memastikan penglihatannya.

Fitri tidak menoleh kearahnya, diam. Tidak ada tanggapan.

Askara merinding. Ia berlari kecil menghampiri sosok itu, namun tiba-tiba, dari arah depan, terdengar suara teriakan lantang memecah keheningan.

“Kalian, Vrykolakas! Maju satu per satu. Masuk ke dalam api dan lenyaplah!”

Askara spontan menoleh ke arah suara itu. Detik itu juga, dadanya berdegup kencang tak karuan. Matanya membelalak. Ia tersentak oleh kesadaran kalau dia berada di alam kematian. Dan yang lebih mengerikan, ia berdiri di antara barisan para Vrykolakas.

“Apa aku sudah mati? Apa aku bukan manusia lagi?”

Paniknya melonjak, menggulung seperti ombak liar yang menyeretnya ke dalam kepastian yang belum siap dihadapi.

BERSAMBUNG…

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Save Me
970      589     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
Dalam Satu Ruang
189      131     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Little Riding Hood Alternative Universe
439      294     1     
Short Story
Little Riding Hood yang harus dihadapkan pada sebuah perintah. Ia tak mampu berkutik untuk melawan karena ia hanya anak pungut, namun perintah yang sederhana itu adalah sebuah ketakutan yang tak mampu digambarkan dengan kata-kata. Pic Source : -pexels.com/@stacey-resimont-183655 -rs9seoul Edited with : -Picsart Cerita ini diikutsertakan untuk mengikuti thwc18
Nina and The Rivanos
10432      2518     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1963      1106     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Tic Tac Toe
561      445     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
13 AGUSTUS
611      413     0     
Short Story
Resonantia
547      420     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3606      1120     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Manusia Kaset
361      234     0     
Short Story
Sudah lama Darto menghilang terutama saat ditagih hutang. Sekalinya muncul pun ia susah buat ditagih hutangnya. Tapi pada akhirnya Darto benar-benar tak pernah lagi muncul. Kemanakah ia?