Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus celah jendela kamar Askara, menerangi ruangan yang masih remang. Namun, di balik selimutnya, Askara enggan bangun. Hari ini Minggu, sekolah libur dan itu alasan terbaik baginya untuk tetap berbaring malas di kasur.
Beberapa kali ibunya mengetuk pintu, menyuruhnya untuk bangun, tapi jawabannya selalu sama. “Males, ah. Ini kan hari Minggu.” Ibunya mendengus kesal, akhirnya membiarkannya.
Di luar, suara burung sesekali terdengar, angin berhembus lembut menggoyangkan tirai jendela. Askara tetap memejamkan mata, tubuhnya masih terasa lelah setelah semalam pulang larut dari pengintaian di rumah Ifal. Namun, ketenangannya terusik.
DRRT! DRRT!, DRRT! DRRT!
Ponselnya bergetar dan berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi. Askara mengerjapkan mata, meraba-raba meja di samping ranjangnya. “Yah, siapa sih, ganggu tidur aja?” keluhnya, setengah sadar.
Di layar, nama Fitri berkedip-kedip. Membuatnya terperanjat dan terduduk antusias. Begitu panggilan diangkat, suara Fitri langsung nyaring terdengar di telinganya. “Askara! Ifal udah sadar! Keadaannya jauh lebih baik. Yuk ke rumah sakit sekarang!”
Raut wajah Askara berubah datar, dia mengerang pelan “Hmmm, Oke.” Mengira kalau Fitri akan mengucapkan selamat pagi atau sejenisnya. Tapi walaupun begitu rasa malas itu berangsur menghilang begitu mengetahui kondisi Ifal membaik.
“Aku otw sama Adit! Siap-siap sekarang juga, ya!”
Klik. Telepon terputus.
Askara duduk di tempat tidur, mengusap wajahnya, masih setengah sadar. Matanya menyapu pandang ke seluruh kamar, lalu sesuatu menarik perhatiannya.
Di lantai bawah jendela, tepat di tepinya yang menghadap ke kebun, tergeletak setangkai bunga.
Mawar putih.
Askara menatapnya lamat-lamat. Napasnya seakan tertahan. Bunga itu masih segar, meski ujung kelopaknya mulai layu. Dahi Askara berkerut. Seingatnya, ayahnya tak pernah menanam mawar putih di kebun.
Dengan jari-jari yang gemetar, ia memungut bunga itu. Aroma samar menyapa hidungnya, aroma kenangan. Seketika, wajah Anita melintas di benaknya. Mawar putih. Lambang kemurnian. Hadiah yang dulu pernah Anita berikan saat ia pura-pura sakit.
Tidak ada penyangkalan kali ini, bunga itu nyata, bisa disentuh. Terlalu akrab untuk dianggap kebetulan. Hanya satu nama yang langsung terlintas di benaknya. Ia melangkah keluar kamar, menyusuri lorong rumah, lalu menemukan ibunya sedang melipat pakaian di ruang tengah.
“Bu... ini Ibu yang taruh bunga di kamar aku?” tanyanya, suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Ibunya mengangkat kepala, bingung. “Bunga? Nggak tuh, emang ada apa?”
“Nggak ada apa-apa.”
Askara kembali ke kamarnya. Jawaban ibunya justru membuat dadanya mengencang. Pikirannya kembali melayang ke satu sosok yang tak lagi ada di dunia ini, Anita. Tapi itu mustahil... bukan?
Sesuatu terasa janggal, tapi justru karena itulah ia merasa perlu mencari tahu. Dia menaruh bunga di atas meja belajar dan melangkah masuk ke toilet untuk mandi.
Tiga puluh menit kemudian, setelah mandi dan berganti pakaian, Askara keluar rumah dengan kemeja flanel biru dan celana hitam. Di tepi jalan, Adit sudah menunggu di mobil. Fitri melongok dari jendela depan dan melambaikan tangan.
“Ayo cepat, Ra!” serunya.
Askara masuk ke mobil tanpa banyak bicara. Suasana di dalam hening, hanya suara mesin yang mengisi ruang.
Setelah beberapa menit, Askara membuka suara. “Tadi pagi… aku nemu bunga di kamarku. Mawar putih.”
Adit langsung melirik ke spion. Fitri terdiam. “Itu bunga favorit Anita.” gumamnya.
“Makanya aneh.” lanjut Askara. “Kamarku dikunci, tapi tiba-tiba ada di bawah jendela.”
Fitri menyipitkan mata. “Kamu yakin bukan kerjaan orang rumah?”
“Udah aku tanya. Nggak ada yang tahu.”
Adit menatap jalan, suaranya pelan. “Mungkin seseorang atau sesuatu ingin kamu ingat sama dia.” Dia lanjut mendengus. “Bisa saja ulah hantu Anita.”
Tatapan tajam Askara langsung memotong ucapannya. “Jangan bercanda, Dit. Nggak mungkin ada Hantu di kamar aku.”
“Yaelah, aku serius.” ujar Adit. “Kamu sendiri yang pernah cerita, kalau Anita ada di mimpi kamu dan bilang “Aku bakal sering datang ke rumah kamu, perhatiin kamu.”
Fitri menggigit bibir. “Itu kan cuma mimpi.”
“Tapi kan tetep aja, bisa jadi itu tanda kalau Anita beneran jadi hantu” Adit berusaha mempertahankan dugaanya.
“Hantu itu nggak ada. Titik.” Ucap Askara tegas.
Adit sontak terdiam. Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Pikiran mereka kini tertuju pada bunga mawar putih. Mawar yang entah bagaimana bisa muncul tanpa jejak. Dan semuanya mengarah pada satu nama. Anita.
Pukul dua belas siang, mobil Sigra hitam berhenti di pelataran parkir rumah sakit. Askara, Fitri dan Adit turun dengan langkah tergesa, hati mereka masih dipenuhi kegelisahan tentang kondisi Ifal. Begitu memasuki gedung, hawa antiseptik langsung menyergap indra penciuman mereka, bercampur dengan suara langkah kaki yang terdengar sayup-sayup di sepanjang koridor.
Sesampainya di kamar perawatan Ifal, Fitri tanpa ragu menarik gorden pembatas dengan cepat.
“Ifal!” serunya, nada suaranya penuh kelegaan sekaligus kegembiraan.
Di ranjang, Ifal tampak lebih baik. Ia duduk bersandar, menerima suapan makan siang dari ibunya. Wajahnya sudah jauh lebih segar, tidak lagi sepucat kemarin. Begitu melihat teman-temannya, senyum lebar merekah di bibirnya, seolah beban yang menyesakkan telah sedikit berkurang.
“Kamu udah baikan?” tanya Fitri, tanpa sadar menggenggam tangan Ifal.
Ifal tersipu, matanya sedikit menghindar. Fitri yang baru menyadari apa yang dilakukannya buru-buru menarik tangannya dan mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya. Pipinya merona, begitu pula dengan Ifal.
Adit, yang sejak tadi memperhatikan, menyeringai lebar. “Eh, eh, ada yang makin akrab nih? hehe” godanya.
Ifal dan Fitri sontak berpaling, wajah mereka semakin merah, ada senyum tipis terlihat disana. Namun, disisi lain, Askara hanya diam. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya terselip di saku celana. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mengusiknya, seperti perasaan curiga jika Ifal dan Fitri sudah menjalin hubungan istimewa, tapi disisi lain dia juga bingung, apakah perasaan curiganya adalah kecemburuan? Askara termenung sekejap, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.
“Aku udah baikan kok.” jawab Ifal akhirnya, suaranya pelan namun penuh kepastian.
Ibu Ifal tersenyum hangat, lalu pamit keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Begitu pintu tertutup, suasana di dalam kamar menjadi lebih santai, meski ada ketegangan yang masih menggantung di udara.
Askara menatap Ifal lekat-lekat. “Fal, sebenarnya kamu kenapa? Kok bisa tiba-tiba sakit parah?”
Ifal menghela napas panjang, ekspresinya berubah ragu. “Aku juga nggak tahu, Aku nggak ingat apa-apa.”
“Hah? Serius? kamu beneran nggak ingat apa-apa? Bahkan pas ke sekolah kayak hantu sangking pucatnya, nggak ingat juga?” Fitri bertanya, suaranya sedikit meninggi.
Ifal hanya mengangguk, tatapannya menerawang kosong.
Askara mengernyit. Ada sesuatu yang janggal. “Kata dokter gimana?” tanyanya lagi, kali ini lebih serius.
Ifal menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. “Dokter bilang aku kekurangan darah. Itu yang bikin aku lemas dan mengalami anemia. Selain itu, ada sedikit amnesia. Jadi, beberapa kejadian aku nggak bisa ingat dengan jelas. Tapi sekarang aku udah lebih baik. Bentar lagi juga boleh pulang.”
Fitri, Adit dan Askara hampir bersamaan menghela napas lega.
Obrolan berlanjut ke sosok misterius yang ditemui Ifal malam itu sebelum ia mengalami amnesia. Askara yang kembali bertanya soal hal itu. Karena dia masih sangat penasaran. Namun, Ifal mengerutkan kening, berusaha menggali kembali ingatan yang terasa samar.
“Anak itu namanya William. Dia anak pindahan dari kota, yang sempat aku curigai karena mondar-mandir bertamu ke rumah Anita. Orangnya ramah dan murah senyum. Dia tanya, Anita kemana? Aku jawab dia di rumah sakit, tapi nggak tau rumah sakit mana. Terus dia pamit, tapi aku cegah dan ajak dia ngobrol di kafe.” Ifal mengusap dahinya, seolah berusaha menangkap potongan ingatan yang kabur.
Askara dan Adit saling berpandangan. Kegelisahan yang mengendap di benak mereka semakin menguat.
“Emang apa yang kalian obrolin disana?” Tanya Fitri penasaran.
“Tadinya aku mau coba cari info soal kedekatan dia sama Anita. Tapi.” Ifal terdiam sesaat, seakan ada sesuatu yang menghalanginya untuk bercerita.
“Hmm, gimana ya ngomongnya, aku bingung.” Ifal memutar bola matanya, mencari-cari kalimat yang tepat agar tidak salah ucap. Teman-temannya yang memperhatikan mengangkat bahu terheran-heran. Menunggu jawaban Ifal. “Ngomong aja, Fal” Desak Fitri.
Ifal kembali menghembuskan napas berat. “Pas di kafe, anak itu ngedeketin hidungnya ke arah leher aku tiba-tiba. Aku sontak terkejut menghindar. Terus dia bilang kalau dia cuman mau nyium wangi aku. Aku merinding, tidak suka dengan sikapnya, akhirnya aku pergi gitu aja. Soalnya aku nggak suka cowok modelan dia. Setelah ngunci di kamar, aku nggak inget lagi.”
“Tunggu, cowok modelan dia? Maksud kamu, homoan? “Adit mencoba melengkapi kalimat Ifal.
Ifal mengangguk mengiyakan. Askara dan Fitri termenung sesaat, menarik napas panjang berusaha mencerna penjelasan Ifal. “Sepertinya memang ada yang harus diselidiki” pikir Askara dalam kepalanya.
Setelah itu, Adit tiba-tiba teringat sesuatu, dia mengatakannya tanpa berpikir terlebih dahulu.
“Oh iya, Fal, kita kemarin malam dateng ke rumah ka” Sebelum kalimat itu selesai, Tep! Askara tiba-tiba menepuk bahu Adit dan menggeleng halus. Seolah mengerti, Adit menghentikan ucapannya dan terdiam menunduk malu.
Ifal menatap mereka berdua dengan alis berkerut. “Kalian kenapa?”
Fitri segera menyela dengan nada riang, berusaha mengalihkan perhatian. “Nggak ada apa-apa kok! Mending kita bahas soal tugas sekolah aja deh!”
Mereka terus mengobrol, meskipun ada rasa gelisah yang masih menyelinap dalam benak masing-masing. Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Adit melirik jam tangannya, lalu berdehem pelan. “Eh, aku harus pulang nih. Mobil mau dipakai Ayah.”
Askara dan Fitri mengangguk paham. Mereka pun berpamitan kepada Ifal dan ibunya yang baru kembali. Saat hendak keluar ruangan, Ifal tiba-tiba memanggil.
“Fitri.”
Fitri menoleh, sedikit terkejut. “Apa?”
Ifal tersenyum kecil. “Hati-hati ya.”
Fitri balas tersenyum. “Kamu juga, lekas sembuh ya.”
Adit, yang melihat interaksi itu, langsung menyenggol bahu Fitri sambil menyeringai. “Wah, wah, ada yang makin akrab, nih hehe!”
Ifal dan Fitri sontak berpaling, wajah mereka memerah lagi. Namun, disisi lain, Askara tetap diam. Matanya menatap lurus ke depan, seolah kejadian itu tak berarti apa-apa baginya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang enggan ia akui.
“Oh iya Ra.” Tiba-tiba Ifal memanggil nama Askara sebelum dia keluar dari ruangan. Askara menoleh ke belakang tanpa berucap.
“Maafin aku ya, nggak bisa nginep buat nemenin kamu.”
“Santai.” Jawab Askara datar sembari melangkah keluar dari ruang perawatan Ifal.
Ifal, Fitri dan Adit saling tatap bergantian. Tidak biasanya Askara bersikap dingin seperti itu.
Perasaan curiga Askara kini berubah menjadi cemburu yang nyata. Kedekatan antara Ifal dan Fitri membuat amarahnya memuncak. Tak seharusnya sahabat terdekatnya memiliki perasaan yang sama terhadap gadis yang ia sukai. Semua terasa rumit bagi Askara, haruskah ia mundur dan membiarkan Ifal mendapatkan hati Fitri? Atau tetap bertahan dan memperjuangkan cintanya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya saat ia berjalan keluar. Ketegangan yang menyelimuti dirinya semakin kuat. Ada satu hal yang harus ia pastikan.
Dengan tekad yang mendalam, ia memutuskan untuk kembali ke ruangan Ifal. Saat berpapasan dengan Fitri dan Adit, ia berhenti sejenak dan berkata dengan suara tegas.
“Kalian duluan aja ke mobil. Aku lupa, ada yang harus aku obrolin sama Ifal.” ucapnya, tanpa menunggu jawaban.
Adit yang melihatnya, langsung menggoda jahil. “Jangan kelamaan, Ra. Nembak Ifalnya.”
Askara hanya mengangkat bahu sambil mengucapkan “cih” dan berlari cepat meninggalkan mereka. Fitri dan Adit saling pandang, ingin bertanya ada apa, tapi Askara sudah terlalu jauh. Mereka akhirnya tidak peduli dan melanjutkan langkah menuju mobil.
Begitu sampai di bilik perawatan Ifal, Askara melihat sahabatnya yang terkejut melihat kedatangannya. Matanya menatap tajam, seolah siap menyampaikan sesuatu yang penting.
Askara mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku pingin pastiin satu hal, Fal. kamu suka sama Fitri, kan?”
Ifal terkejut, terlihat bingung dan canggung. “Kenapa nanya gitu?”
Askara tak bisa menahan perasaan yang membuncah. “Soalnya aku juga suka sama dia.”
Jantung Ifal seketika berhenti, dadanya sesak dan hati terasa terhimpit. Ia menunduk, tak tahu harus berkata apa. Perasaannya campur aduk.
“Tapi aku nggak bisa ngungkapin.” lanjut Askara dengan suara gemetar.”Tiap kali deket sama dia, bibir aku serasa terkunci, aku gugup. Tapi pas aku lihat kamu sama dia, aku... aku cemburu.”
Ifal terdiam, menatap selimut yang menutupi kakinya. “Aku juga suka sama dia, Ra. Tapi jujur aja, aku belum jadian sama dia.”
“Kenapa?” tanya Askara, frustasi. “Kalau kamu suka, kenapa belum jadian?”
Ifal terdiam lama, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Dia bingung, tak tahu harus mulai dari mana. Kejujuran yang ingin dia ungkapkan bisa jadi akan menyakiti hati sahabatnya. Namun, semakin lama dia diam, semakin berat rasanya.
Di tengah kesunyian, ponsel Askara bergetar di saku celananya. Pesan dari Adit muncul di layar: “@Askara, cepetan. Mobil mau dipake nih. Ntar aku kena omel ayah.”
Askara melirik sejenak ke ponselnya, lalu mengabaikan pesan itu dengan sengaja. Pandangannya kembali tertuju pada Ifal, serius. “Aku nggak tahu siapa yang bakal dapetin Fitri.” lanjutnya, suaranya tegas namun penuh ketegangan. “Tapi kalau salah satu dari kita dapet, ini bakal ngerubah segalanya, Fal. Persahabatan kita, semuanya.”
Ifal menatapnya dengan ragu. “Maksud kamu apa?”
Askara menarik napas berat. “Kalau aku nggak ambil tindakan, bukan berarti aku diem. Aku cuman lagi nyari waktu yang tepat. Tapi kalau kamu duluan yang mulai, terus kamu yang dapetin Fitri. Aku nggak jamin masih bisa sahabatan sama kamu.”
Ifal hanya menghela napas, jarak yang melebar di antara mereka mulai terasa. Dada Askara mulai sesak, dia sudah tidak nyaman berada di ruangan Ifal. Akhirnya ia berbalik untuk pergi.
“Tunggu, Ra!” teriak Ifal, menahan sahabatnya. “Kalau kamu nggak mau lagi sahabatan sama aku gara-gara Fitri. Itu artinya, aku nggak boleh dapetin dia. Gitu bukan maksud kamu?”
Askara berhenti sejenak dan menoleh. Wajahnya terlihat kaget, namun tekadnya tetap kuat. “Maaf, Fal. Perasaan aku sama dia udah nggak bisa berubah. kamu juga mungkin sama. Jadi nggak ada lagi yang bisa kita lakuin selain ‘itu’. Aku cabut ya.”
Tanpa menunggu jawabannya, Askara berjalan cepat keluar dari bilik itu, meninggalkan Ifal yang hanya bisa menatap kepergiannya, dengan rasa yang samar, terluka, bingung dan tak tahu bagaimana melanjutkan segalanya. Persahabatan mereka dan perasaan terhadap Fitri akan mengikuti alur yang tak bisa mereka kendalikan.
Dengan hati yang kacau, Askara memilih menjauh. Ia melangkah cepat, seolah ingin meninggalkan perasaan itu di belakang.
Tanpa banyak kata lagi, mereka akhirnya meninggalkan rumah sakit dan melangkah keluar menuju parkiran. Matahari mulai merunduk di ufuk barat, mengiringi langkah mereka yang dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan yang belum terjawab.
Langit mulai berubah warna, rona jingga perlahan memudar seiring matahari tenggelam di ufuk barat. Namun bagi Askara, senja itu tak membawa ketenangan. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang terus bergelayut di benaknya.
Perjalanan pulang dari rumah sakit terasa jauh lebih berat daripada saat mereka datang. Di dalam mobil, Askara terdiam. Pikirannya dipenuhi teka-teki, merangkai kembali setiap kejadian aneh yang ia alami, sementara perasaannya terhadap Fitri kian tak menentu tanpa bisa dicegah. Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Fitri yang duduk di jok depan, namun segera memalingkan wajah saat tatapan mereka hampir bersirobok.
Semua detail berputar di kepalanya, seperti potongan puzzle yang belum menemukan tempatnya. Ia terus mencari benang merah, yang entah tersembunyi di mana.
Namun, setibanya di rumah, sesuatu yang lebih mengejutkan menantinya.
Di teras, ibunya berdiri dengan ekspresi aneh. Matanya menyipit, ragu-ragu sebelum akhirnya berbicara. “Ra, kamu nyimpen bunga mawar di kebun ya? Banyak banget.”
Askara mengerutkan dahi. “Hah? Nggak kok bu. Kenapa emangnya?”
Sang ibu menghela napas, lalu menunjuk ke belakang rumah. “Coba lihat sendiri.”
Dengan langkah ragu, Askara berjalan menuju kebun belakang. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat, entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Begitu sampai di sana, napasnya tercekat.
Lagi-lagi bunga mawar. Kali ini bukan satu tangkai seperti kemarin, melainkan puluhan. Tergeletak di tanah, layu, tepat di bawah jendela kamarnya.
Ia membeku di tempat. Dada terasa sesak, seolah udara mendadak menghilang.
“Ini, ini nggak mungkin.” bisiknya pelan.
Otaknya berusaha mencari alasan logis. Tidak ada hewan yang bisa membawa bunga sebanyak ini. Tidak ada angin yang bisa menjatuhkannya begitu rapi. Tapi di depan matanya, kenyataan berbicara lain.
Pikiran gilanya muncul lagi.
“Apa ini ulah Anita?”
Ia menggeleng cepat, tetapi bulu kuduknya sudah berdiri sejak tadi. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Dengan tangan gemetar, ia meraih bunga-bunga itu dan tanpa berpikir panjang, membakarnya. Api berkobar kecil, menghanguskan kelopak-kelopak putih yang sempat membuatnya menggigil.
Namun, meski bunga itu lenyap dalam bara, rasa gelisahnya tetap ada. Sudah dua kali dia dikirimi bunga. Dia harus melakukan sesuatu untuk mencari tahu siapa orang iseng yang sengaja melakukannya.
Setelah kejadian aneh itu, Askara kembali ke kamar dengan langkah berat. Ia menghempaskan diri ke kasur, menatap langit-langit. Tangannya meraih ponsel di samping bantal, lalu mulai mengetik di grup chat mereka.
“Aku baru ngalamin kejadian aneh lagi. Ada sekumpulan mawar putih di bawah jendela kamar aku.”
Pesannya terkirim.
Tak butuh waktu lama, Adit langsung membalas. “Itu pasti hantu Anita. Udah percaya aja. Jangan disangkal. Mungkin dia bangkit lagi karena marah sama kamu yang nolak cintanya, Ra!”
Askara menghela napas, mengusap wajahnya lelah. “Aduh si Adit ini. nyebelin banget.”
Askara tidak membalas pesan di grup, kini kepalanya sudah penuh dengan berbagai teori yang tak masuk akal dan Adit malah menambahinya dengan hal-hal yang lebih mengganggu.
Tak lama, Fitri ikut menanggapi. “Adit, kan udah aku bilang, berhenti ngomong kayak gitu! Anita itu sahabat kita. Jangan hubung-hubungkan dia sama hal mistis. Biarin dia tenang di alam sana!”
Tulisan Fitri terlihat penuh emosi, seolah ia benar-benar tersinggung dengan anggapan itu.
Askara sekali lagi hanya membaca tanpa membalas. Ia tidak ingin memperdebatkan sesuatu yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya. Jari-jarinya perlahan menutup layar ponsel. Kepalanya bersandar di bantal, matanya menerawang, mencoba merangkai setiap kejadian yang telah ia alami.
Lalu, setelah beberapa saat dalam diam, sebuah ide melintas di kepalanya.
“Siapapun pelakunya, aku harus buktiin sesuatu.” gumamnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke meja belajarnya, lalu meraih selembar kertas dan pensil. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai menulis sesuatu yang mungkin akan membawanya pada jawaban, atau justru membuka pintu menuju hal yang lebih mengerikan.
Buat orang iseng,
Disclaimer dulu, aku sebenarnya nggak percaya sama hantu, setan, atau hal-hal sejenisnya. Jadi, aku menulis surat ini hanya karena aku penasaran. Nggak lebih.
Pertanyaan:
Anita, apa kamu bangkit dari kubur kayak zombie?
Apa kamu yang menaruh puluhan bunga di belakang kamarku?
Apa kamu yang mengintai aku, Fitri dan Adit saat kami memeriksa rumah Ifal?
Kalau jawabannya ‘IYA’, tolong beri aku tanda. Taruh bunga mawar putih di bawah jendela sebanyak jumlah jawaban dari pertanyaanku. Kalau bukan ulah Anita. Jangan kasih tanda apapun.
Askara membaca ulang tulisannya, lalu melipat kertas itu asal, memastikan agar mudah dibuka. Ia berjalan menuju jendela, membuka celah kecil, lalu menyelipkan surat itu di sana untuk mencegahnya terbang tertiup angin.
Setelah memastikan semuanya aman, ia menghela napas panjang dan kembali ke tempat tidur. Matanya terasa berat, tapi pikirannya masih penuh dengan rasa penasaran dan ketakutan yang samar. Namun rasa kantuknya mengalahkan segalanya. Membuat ia tertidur pulas tanpa terganggu oleh apapun.
Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah, Askara buru-buru menuju jendela kamarnya. Pandangannya langsung tertuju pada surat yang semalam ia tinggalkan. Surat itu masih berada di tempatnya, tidak bergeser seinci pun. Tidak ada yang berubah.
Ia terkekeh getir, menggelengkan kepala. “Bodoh, bodoh, bodoh, haha, Masa aku percaya sama orang mati yang idup lagi sih.” gumamnya pelan. Ia merasa konyol kalau Anita, yang sudah mati, hidup kembali dan menjadi pelaku.
Namun, saat ia meraih surat itu dan membuka lipatan kertasnya, dadanya tiba-tiba menegang.
Di dalamnya, tersebar tiga kelopak bunga mawar putih.
Askara membeku. Matanya membulat, napasnya tertahan di tenggorokan. “Ada jawaban.”
Otaknya langsung berputar mencari penjelasan logis. Angin atau Hewan? Tapi, jika memang begitu, mengapa jumlahnya bisa tepat tiga? Dan kenapa surat itu tetap di tempatnya, tidak tersentuh sedikitpun?
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang 'lain' sedang bermain-main di sini.
Ia menggeleng pelan, mencoba menepis pikirannya sendiri. “Nggak. Ini cuman kebetulan. Nggak ada yang perlu dikhawatirin.” ucapnya pada diri sendiri. Berharap hal itu bisa membuatnya tenang.
Dengan gerakan cepat, ia melipat surat itu, menyimpannya ke dalam saku seragam. Namun, meskipun tangannya telah menyingkirkan bukti fisiknya, pikirannya tetap dihantui pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, tatapan Askara kosong menatap jalanan yang dilewatinya. Pikirannya tidak terfokus pada lalu lintas atau suara bising yang ia dengar. Yang terngiang di kepalanya hanyalah pertanyaan, Apa benar ini hanya kebetulan? Apa benar Anita hidup lagi? Dia bertekad untuk membuktikan semuanya.