***
Saat, Kasih memasuki gerbong kedua ia melihat Bright berdiri di sana. Ia sangat terharu masih ada orang lain yang dia kenal. Ia berlari mendekatinya. Air mata menggenang di pelupuk mata. Ia mengelap dengan ujung jari.
"Kau tidak apa-apa, Kasih?"
"Iya." Kasih mengangguk masih terisak. Perasaannya campur aduk antara takut, bingung dan gundah.
Bright tersenyum dan berkata, "Tenang, semua akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu takut dan khawatir."
Kasih menguatkan diri meremas bawah gamisnya. Ia menengadahkan kepala dan menyemangati dirinya. "Iya, baik," ujarnya tenang.
Bright mempunyai tinggi badan yang lumayan. Jika berdiri sejajar Kasih hanya seukuran dada. Matanya agak sipit walau tidak terlalu kecil. Kulitnya putih tampak berasal dari keluarga yang berada. Tubuhnya agak kurus tapi terlihat cukup banyak makan mungkin sering olahraga.
Satya menghampiri mereka dan memperkenalkan diri pada Bright. Bright balas menyapanya.
"Apa yang harus kita lakukan? Sepertinya kita terjebak," ujar Satya.
"Kelihatannya begitu." Bright menyimpulkan.
"Lalu, bagaimana dengan ibu itu? Kenapa dia terus-terusan menangis?" geram Satya tangannya mengepal.
"Ah, Ibu itu yang menggangguku di kereta," celetuk Kasih melihat Ibu itu duduk meringkuk di lantai, mendekap wajahnya dengan kedua tangan sembari merintih deraian air mata membasahi bajunya.
"Entahlah, daritadi dia terus berteriak 'Dimana anakku? Dimana anakku?' seperti itu. Aku tadi sempat ngobrol sedikit namanya Ibu Madam, katanya ia punya anak satu laki-laki yang berumur lima tahun. Seharusnya anaknya ikut bersamanya naik kereta tapi sekarang hilang." Bright menjelaskan.
"Aku rasa aku tidak melihat anaknya tadi," heran Kasih.
"Dari awal dia memang tidak membawa anak. Dia jelas orang gila, kenapa orang gila bisa naik kereta?" kata Satya dengan suara yang keras dan lantang.
Tangisan Madam berhenti. Ia mengangkat kepala dan menatap tajam pada Satya.
"Siapa yang bilang saya gila? Saya tidak gila," bentak Madam. Telujuknya mengarah pada Satya seakan pistol yang tertodong.
"Ya, jelas kamu gila. Kamu bisa lihat gak kamu tidak punya anak?" Satya tidak mau kalah.
"Saya punya anak. Umurnya lima tahun, laki-laki, namanya Oman. Dia anak yang pintar dan baik," bela Madam.
"Kalau begitu kenapa aku tidak melihatnya tadi. Kamu duduk sendirian. Sendirian," ujar Satya dengan urat leher yang tegang dan mata yang melotot.
"Sudah, sudah, Ibu, Pak. Tidak usah bertengkar," kata Kasih berusaha menenangkan.
"Iya benar, sekarang bukan waktunya untuk bertengkar," tambah Bright.
Madam mengucurkan air mata. "Anakku dimana? Aku yakin bersamanya tadi."
Satya menghela napas kesal, matanya semakin merah. "Dasar Bodoh. Kamu bisa lihat, gak! Kamu tidak bawa anak. Matamu di mana! Gara-gara kegilaanmu aku disalahkan dikira penculik. Siapa yang mau menculik anakmu? Kau pikir aku sebodoh kau!"
Suasana semakin tegang, Bright dan Kasih semakin bingung. Madam menarik baju Satya dan berteriak, "Dasar penipu! Semua laki-laki itu sama saja. Tukang penipu! Tukang selingkuh! Jahat! Tidak punya hati!" Cercaan demi cercaan terus dilontarkan Madam pada Satya sedangkan Satya cuma diam saja memalingkan muka. Bright berusaha melepaskan cengkraman kuat Madam. Kasih mengingatkan Madam untuk bersabar dan menahan dirinya karena semuanya cuma salah paham. Ketegangan itu berhenti ketika bunyi pengumuman kereta muncul. Pintu menuju gerbong lain terbuka.
"Sudah sekarang ayo kita pindah ke gerbong lain!" kata Bright melepas napas lega.
"Ayo, Bu!" ajak Kasih menarik lengan Madam pelan. Menjaga jarak Satya dan Madam supaya tidak bermusuhan lagi. Satya merapikan baju dan jaketnya lantas melangkah pergi di belakang mereka.
***