***
Kasih mengerjapkan kedua mata. Samar-samar ia melihat deretan kursi yang berjajar di depannya. Jendela besar dan tidak terlihat apa-apa. Saat ia sadar ia langsung tersentak berdiri. Ia meraba seluruh tubuhnya yang masih dalam keadaan utuh. Gamis panjang coklat yang tidak tergores apapun juga jilbab kefiyah yang masih melekat di kepala. Kasih mengembuskan napas lega. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Dimana aku berada?"
Masih sama ia berada di kereta namun kereta yang tua dan terbuat dari kayu. Hanya ada dua bangku panjang yang menempel di sisi kanan dan kiri berhadap-hadapan. Dua pintu depan dan belakang yang berada di bagian kiri kereta. Jendela yang sangat besar dengan kaca bening mengelilingi tubuh kereta. Sayangnya tidak terlihat apapun hanya gelap seperti dalam terowongan yang tidak berakhir. Lampu kuning yang hangat memanjang di atas kereta. Selain itu, tidak terdengar apa-apa seakan kereta tengah melayang dalam kondisi lurus ke depan.
Kasih melihat bapak gendut bertato naga di lehernya masih tertidur. Bapak itu memakai jaket kulit berwarna coklat, celana jeans panjang dan lebar, juga kaos hitam. Rambutnya panjang sebahu dan diikat sebagian di belakang. Kasih melambaikan tangan di depan muka bapak itu berusaha membangunkannya. Seketika sebuah tangan melayang dan menarik tangan Kasih. Mencengkramnya. "Siapa namamu?" ujarnya berat.
Kasih terkejut dan menjawab tergugu, "Ka ... Sih ..."
Cengkraman itu terlepas. Mata bapak itu terbuka berwarna merah seperti cherry. Kasih agak takut dan mundur ke belakang. "Nama bapak Satya."
"Iya, Pak Satya. Itu...," mencoba menjelaskan situasi "Saya tidak tahu sekarang ada di mana."
"Apa kau tidak bisa lihat? Kita lagi berada di kereta,” ujarnya dengan mata yang masih tertutup.
“Saya tahu, Pak. Maksud saya keretanya berbeda dengan yang kita naiki sebelumnya.”
Satya menggeram membuka mata. Matanya yang besar tampak mengerikan. Kasih membungkuk menyadari dia berbuat kesalahan, “Maaf, Pak. Saya mengganggu.”
“Apa kau tidak lihat? Daritadi saya juga berpikir, kita lagi dimana,” kata Satya tangannya yang berotot menekan kedua lututnya.
Kasih menelan ludahnya. Ia berpikir kenapa harus ada bapak mengerikan dan galak ini bersamanya. Lalu, ia melihat Satya berdiri dan berkeliling kereta. Menengok ke jendela yang hanya gelap. Kasih terdiam kemudian terdengar dering pengumuman yang biasa dibunyikan di stasiun. Pintu yang menghubungkan gerbong pun terbuka. Kasih dan Satya melempar pandangan dan langsung menuju ke pintu. Pindah ke gerbong lain.
***