***
Di gerbong dari urutan ketiga yang terbuka terlihat dua orang bapak-bapak yang sedang berbincang. Kedua bapak itu terlihat sangat kontras penampilannya. Bapak yang menggunakan kemeja biru bergaris-garis yang sangat rapi dan dasi kecil di leher juga celana panjang tidak lupa sepatu yang mengkilat. Menggambarkan seorang pekerja kantoran yang sangat sibuk dengan pekerjaannya setiap hari. Sedangkan bapak satunya menggunakan baju koko panjang selutut berwarna hijau, celana kain hitam panjang dan memakai sendal jepit biasa. Menggambarkan orang yang religius sampai tidak terlalu peduli dengan dunia juga pekerjaan.
"Selamat datang!" Bapak kantoran itu menyapa dan menyalami mereka. "Kenalkan saya Julian dan ini dengan Bapak Saif," kata Julian sembari menunjuk ke bapak sampingnya yang dibalas dengan senyuman menunduk.
Mereka pun saling mengenalkan diri satu persatu. Lantas membahas kondisi mereka yang tiba-tiba berpindah ke kereta yang misterius.
"Berdasarkan kesimpulan bahwa gerbong di kereta ini terisi oleh dua orang dari masing-masing kita. Gerbong pertama oleh Pak Satya dan Mbak Kasih, Gerbong kedua diisi Mas Bright dan Ibu Madam, Gerbong ketiga ini diisi kami berdua, pertanyaannya masih ada berapa gerbong lagi? Dan masih berapa penumpang yang terjebak di kereta ini?" telaah Julian memilin ujung dagunya.
"Sepertinya masih bakal ada gerbong lain. Lihat!" Bright menunjuk ke arah pintu yang berada di belakang.
"Benar sekali," setuju Kasih.
"Kalau begitu sebentar lagi akan ada bunyi bel dan pintu akan terbuka." Julian mendekat ke arah pintu dan menghitung mundur dari lima sampai satu. Kemudian, sesuai perhitungannya dering pengumuman muncul dan pintu menuju gerbong keempat terbuka.
Julian melongok ke arah dalam gerbong keempat dan mengajak mereka untuk masuk. Sesuai kesimpulan mereka ada dua orang di dalam, dua orang perempuan yang masih muda. Persis seperti Julian dan Saif, mereka sangat bertolak belakang sekali. Satu perempuan yang tidak modis memakai kacamata sweater coklat yang kebesaran dan baju hello kitty, celana yang sebetis dan sepatu sport seperti habis berolahraga. Sedangkan satunya kelihatan sangat modis dan peduli soal penampilan. Ia memirang rambutnya agak kecoklatan, memakai kalung di leher, blouse pink yang mengembang, kacamata hitam di kepala, rok selutut yang senada juga hak tinggi. Ia tampak seperti selebritis yang sedang berwisata.
Gadis berkacamata itu menghampiri Kasih dan memegang kedua tangannya hendak hampir memeluknya, kedua bola matanya memerah dan basah. "Aku ketakutan dari tadi apakah kau masih ingat aku? Aku yang duduk di belakangmu."
Kasih mengangguk cepat. Ia memeluk gadis itu membuat hatinya tenang dan lega.
"Namaku Rose," ujar Rose dalam pelukan.
"Namaku Kasih," jawab Kasih lirih.
"Hentikan drama ini! Tidak boleh ada yang menangis," kata Satya galak. Tangannya terangkat tinggi menghalau kedua perempuan itu.
"Hei, memangnya kenapa? Kau tidak suka. Kalau tidak suka kau boleh pergi dari sini." Madam membela kedua perempuan itu.
"Memangnya siapa kau berani memerintah saya hah?!" bentak Satya di depan muka Madam. Madam yang kesal menjambak rambut panjang Satya dengan kuat. Satya yang emosinya memuncak melayangkan tangan tinggi-tinggi siap menampar Madam. Semua orang terkejut lalu ada satu tangan dengan berani menahan tangan Satya dan membentengi Madam dari murkanya.
"Minggir!" ancam Satya.
"Dengarkan! Tidak baik seorang laki-laki menyakiti seorang wanita. Dinginkan kepalamu! Sekarang bukan saatnya bertengkar atau tidak ada dari kita yang akan selamat." Saif berkata dengan lembut dan tegas.
Satya melepas tangan dari cengkeraman Saif yang kuat. Ia menatap tajam Saif lalu mundur ke belakang menghindar dari rombongan.
"Ibu mohon dijaga ya perkataannya. Jangan marah-marah!" Saif berkata dengan nada lembut dan pelan. Madam mengangguk dan mengucapkan terimakasih berkali-kali walau di tengah masih mencela Satya atas perilakunya yang tidak ia suka.
"Sudah, sekarang waktunya kita berkenalan satu sama lain." Mereka pun akhirnya berusaha akrab satu sama lain kecuali perempuan berkacama hitam yang enggan bergabung.
"Maaf, mbaknya belum mengenalkan diri?" tanya Julian sopan.
Perempuan itu mendengus, "Tidak perlu. Saya tidak perlu dekat dengan kalian karena itu semua tidak penting. Yang penting saya harus keluar dari kereta ini dan pulang menuju pemakaman bapak saya yang meninggal. Kalian mengerti?" ujar perempuan itu lugas.
Semua orang terdiam dan akhirnya membiarkan perempuan itu sendirian.
"Siapa namanya?" tanya Julian yang menahan jengkel.
"Bright tahu kan kamu duduk di sampingnya," kata Kasih memandang arah Bright.
Bright menolak, "Tidak aku tidak kenal dengannya."
"Oh, aku pikir dia temanmu?" tanya Kasih.
"Bukan," senyum Bright.
"Namanya Dori," jelas Rose, "aku tadi sempat ngobrol walau dia nolak."
"Baiklah, sekarang sudah delapan orang. Dan sepertinya masih ada satu gerbong lagi yang akan terbuka." Julian mengarahkan pandangan ke pintu penghubung. Semua orang serentak menyatukan pandangan ke sana. Kemudian, suara pengumuman berbunyi dan pintu gerbong kelima pun terbuka.
***