***
Seorang perempuan tergesa-gesa menerobos hujan yang deras menggunakan payung. Langkahnya cepat, air mata mengalir di pelupuk mata tanpa sempat diusap. Matanya memerah. Ia memakai setelan celana panjang dan kemeja jatuh selutut juga jilbab pendek yang disampirkan. Riasan tipis di wajahnya memudar terkena air mata dan cipratan air hujan.
Sesampainya di depan kantor polisi ia mengucapkan salam sembari membuka pintu perlahan. Di dalam sudah ramai banyak petugas berdiri dan mendiskusikan kecelakaan yang baru saja terjadi. Salah satu bapak polisi yang tinggi besar mendekatinya dan bersaliman.
"Mohon maaf dengan Ibu Lily?" tanya bapak itu sopan memastikan tidak salah orang.
"Iya saya sendiri, Pak."
Bapak itu mempersilahkan untuk duduk di kursi yang ada. Lily bergerak dengan gelisah dan tidak sabar.
"Kalau boleh tahu Ibu Lily ada hubungan apa dengan Ibu Bulan? Kami melihat kontak terakhir yang dihubungi adalah Ibu," tanya polisi menginterogasi.
"Saya sahabat dekatnya, Pak. Jadi, sebenarnya malam itu saya dengan Ibu Bulan ngobrol lewat chat yang bilang kalau dia mau liburan ke Jogja."
"Jadi, begitu," angguk pak polisi sambil melihat berkas catatan di tangan.
"Saya bukan orang jahat, Pak," kata Lily meyakinkan, "saya dan Ibu Bulan sahabat dekat selama sepuluh tahun. Kami kerja sebagai dosen di universitas yang sama."
"Iya, saya mengerti kok." Pak polisi menatap Lily menaruh catatan itu di meja. "Masalahnya dari keluarga korban ada satu orang yang selamat."
"Ada yang selamat dari kecelakaan itu? Siapa, Pak?" tanya Lily tidak sabar.
"Kasih."
Mendengar itu Lily tidak bisa menahan air matanya yang mengucur semakin deras. Napasnya sesak dan dia sesenggukan. Pak Polisi menenangkannya sembari memberikan tisu.
"Masalahnya keluarganya dimana, Bu? Tidak ada yang bisa dihubungi. Nenek, Kakek, Bibi atau paman," ujar Pak Polisi yang terheran.
Lily menarik napas dan menjelaskan perlahan, "Pak, Bulan anak dari panti asuhan. Ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia tidak tahu siapa bapak ibunya. Sedangkan, suaminya mualaf orang Sulawesi. Dia diusir dan dibuang dari keluarganya tidak boleh kembali lagi."
Bapak itu menghela napas berat, "Lalu, bagaimana dengan anak ini? Apa dimasukkan ke panti asuhan saja?"
"Tidak, Pak. Jangan!" teriak Lily lantang, "biar saya yang merawatnya."
"Anda yakin?" Pak Polisi menatap Lily tajam.
"Yakin, Pak. Saya janda Pak. Suami saya sudah meninggal karena dinas di luar negeri terkena bom di medan perang. Dan saya juga tidak memiliki anak bertahun-tahun." Lily menghapus air matanya dan menarik napas panjang. "Mungkin ini takdir saya untuk menolong anak itu."
"Baiklah, Bu. Semoga Allah mudahkan. Anak itu ada di dalam ruangan."
Polisi menunjuk ruang kecil di belakang kantor meja. Lily langsung berlari memasuki ruangan. Terlihat anak kecil yang terkulai lemas di atas bangku panjang. Selimut dilingkarkan di badannya. Ia menatap kosong di lantai dan tidak berbicara sepatah kata apapun.
"Hai, Sayang. Apa kau masih ingat dengan Bibi?" Lily berlutut pelan di depan Kasih. Menatap lamat-lamat kedua bola matanya yang hitam. Kehampaan tergurat jelas di sana.
"Ayo, kita pulang ya. Kita pulang ke rumah. Kamu tidak sendirian. Ada ibu di sini bersamamu." Lily mengusap rambut Kasih yang basah terkena air hujan. Ia menyentuh pipi Kasih lantas memeluknya erat. Mendekapnya hangat.
***