***
Bulan bersinar terang dalam fase purnama. Langit tidak tenggelam dalam lautan bintang tapi senja yang temaram dengan balutan violet dan magenta. Matahari menyangga mahkota yang menerangi jagat raya. Lautan biru terang terhampar sejauh mata memandang. Sebuah kereta terparkir di tenpat pemberhentian . Hanya ada deretan kursi kosong beratap tanpa bangunan atau loket kecil. Ada tangga di tengah menuju jalan setapak rerumputan dipenuhi bunga Lily putih.
Di sisi kiri dan kanan jalan terdapat bola lampu besar yang melayang naik turun. Empat orang manusia berjalan dengan wajah cerah dan senyum bahagia dengan kilasan ketakutan dan kekhawatiran memudar. Tak sabar menanti keluarga dengan sambutan air mata. Tampak diujung jalan berdiri kokoh gerbang putih besar dengan pintu dari awan yang bertumpuk. Semua orang berlari ke arahnya dengan perasaan gembira.
Tetapi, tunggu masih ada seorang perempuan yang tertinggal di belakang. Duduk di salah satu kursi menghadap kereta. Ia tidak terlihat sedih justru sedang menikmati pemandangan langit syahdu bertabur kemerahan juga tarian burung di angkasa. Terbang dalam formasi menuju bulan yang bersinar sempurna.
Gadis itu tersenyum dan bangkit. Kakinya mengarah memasuki kereta yang masih terbuka. Lalu pintu tertutup dan suara kereta melengking pertanda keberangkatan. Uapnya mengepul dari cerobong asap membumbung angkasa. Rodanya bergerak cepat konstan seolah ada jalur rel tidak tampak membawanya naik ke atas. Seakan terbang tak bersayap seperti roller coaster yang terus menanjak menuju puncak.
Dari kaca jendela gadis itu tersenyum lebar menatap jauh ke ujung cakrawala. Bulan putih suci terselimutkan kilauan emas teduh seolah menyambutnya datang. Jalur kereta mengalun bersama kawanan burung seindah zamrud terbang dengan arah yang sama. Tujuan terakhir.
***
Pengumuman kereta keberangkatan dari Bandung menuju Semarang menggema di stasiun. Suara peluit petugas berteriak nyaring sebagai tanda. Seorang gadis menarik napas lega saat dirinya sudah mencapai pintu di gerbong satu. Ia hampir ketinggalan kereta karena kemacetan di jalan. Sambil mengatur napas ia berjalan menarik koper melihat nomor kursi dari belakang.
Kasih nama gadis yang tertera dari kertas kecil yang menempel di kopernya. Menghitung mundur nomor kursi sampai 6 tempat duduk di tiket. Saat di nomor 7 ia terhenti karena ada perempuan menghalangi jalan. Perempuan kurus berkacamata dengan rambut yang diikat dimasukkan ke dalam sweater coklatnya yang besar. Ia menunduk seakan meminta maaf karena masih sibuk mengurusi belanjaannya di atas bagasi lalu ia pun duduk. Di samping perempuan itu ada bapak dengan blazer hitam dan kemeja putih yang seperti tidak muat karena perutnya yang buncit memicingkan mata. Tidak lama ia kembali sibuk dengan ponselnya.
Kasih menaruh tas kecilnya di atas kursi dan mencoba mengangkat kopernya yang berat. Sayangnya ia tidak kuat. Ia memutar pandangan mencari porter belum sempat mencari bapak yang duduk di kursi depannya langsung membantu. Meletakkan koper itu dengan tenaganya yang besar. Ia memakai kemeja batik dan jaket hitam yang tersampir di kursi. Kasih langsung mengucapkan terima kasih. Bapak itu melambaikan tangan seolah bukan masalah. Di samping bapak itu ada pekerja kantoran seolah masih sibuk dengan kerjaannya di leptop.
Akhirnya, Kasih bisa meluruskan punggungnya yang berat di kursi. Ia sudah berlari-lari mengejar waktu sambil menarik koper yang ampun beratnya. Syukurnya ia duduk sendirian bisa menikmati kursi empuk lebih luas.
Kasih mengambil ponsel mengirimkan pesan pada ibunya kalau ia sudah berangkat dan sekitar shubuh ia akan sampai. Kasih menatap layar ponselnya foto dirinya dengan ibu saat wisuda ia jadikan wallpaper. Baginya momen itu yang paling penting dalam hidupnya dan ia ingin mengenangnya selalu. Ia mengulas senyum dan menutup saat balasan sudah diterima.
Ia menengok ke arah jendela menikmati suasana Kota Bandung untuk terakhir kali. Sekilas perjuangan dan perjalanan hidupnya di kota ini sudah usai. Saatnya ia kembali ke tempat asalnya dan memulai fase baru dalam hidupnya. Ia sungguh tidak sabar dan tersenyum lebar menanti itu. Kereta berjalan semakin kencang meninggalkan stasiun melewati perkotaan. Hujan gerimis turun perlahan, embunnya menguap di jendela, lampu-lampu jalan yang membayang di kaca menyesapkan aroma romantis dan rindu. Perasaan yang sulit digambarkan dan hanya bisa dirasakan saat berada di kota ini.
***