Aku adalah anak pertama. Sejak kecil, aku tahu bahwa ada tanggung jawab besar yang menanti. Aku selalu menjadi contoh bagi adik-adikku, pilar keluarga yang harus kokoh berdiri. Aku belajar untuk mandiri, untuk tidak merepotkan orang lain, dan untuk selalu tersenyum, bahkan ketika hati sedang terluka.
Menjadi anak pertama berarti menjadi tempat pertama untuk segala sesuatu. Aku yang pertama kali merasakan jatuh cinta, patah hati, dan tekanan ujian. Aku yang pertama kali harus mengambil keputusan besar, tanpa panduan yang jelas. Aku yang pertama kali harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup tidak selalu adil.
Aku ingat, ketika ayah masih ada, beliau selalu berkata, "Kamu adalah kakak yang hebat, Nak. Jaga adik-adikmu, ya." Kata-kata itu terpatri dalam hatiku, menjadi pedoman hidupku. Namun, setelah ayah pergi, beban itu terasa semakin berat. Aku merasa harus menggantikan posisinya, menjadi pelindung dan penopang keluarga.
Aku belajar untuk menahan air mata, untuk menyembunyikan rasa takut, dan untuk selalu terlihat kuat. Aku menjadi tempat curhat adik-adikku, tempat mereka mencari solusi atas masalah mereka. Aku mendengarkan keluh kesah mereka, memberikan nasihat, dan berusaha menghibur mereka.
Namun, siapa yang mendengarkanku? Siapa yang memberiku nasihat ketika aku merasa bimbang? Aku merasa seperti pohon besar yang rindang, tempat berteduh bagi banyak orang, namun akarnya rapuh dan kesepian. Aku merindukan seseorang yang bisa aku ajak berbagi beban, seseorang yang bisa mengerti perasaanku tanpa perlu aku jelaskan.
Terkadang, aku merasa iri dengan adik-adikku. Mereka bebas mengekspresikan emosi mereka, menangis ketika sedih, marah ketika kesal. Sedangkan aku, aku harus menahan semuanya. Aku tidak boleh terlihat lemah, karena aku adalah panutan.
Namun, di balik semua suka duka ini, ada rasa bangga yang tumbuh di hatiku. Aku bangga bisa menjadi kakak yang baik untuk adik-adikku. Aku bangga bisa menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Aku tahu, meskipun aku merasa sendiri, aku tidak benar-benar sendirian. Aku memiliki keluarga yang mencintaiku, dan itu sudah cukup.
Aku belajar bahwa menjadi anak pertama bukan hanya tentang memikul beban, tetapi juga tentang tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Aku belajar bahwa kekuatan sejati bukan berarti tidak pernah merasa lemah, tetapi tentang bagaimana kita bangkit setelah terjatuh.
Dan aku akan terus berusaha menjadi yang terbaik untuk adik-adikku. Aku akan terus belajar, tumbuh, dan menjadi pilar keluarga yang kokoh, meskipun kadang aku merasa rapuh di dalam.