Aku William, sudah mengajar di sini selama kurang lebih dua tahun. Awalnya, alasanku menjadi guru di sini adalah untuk mengumpulkan uang untuk menikahi pacarku. Tapi ternyata, dia dan keluarganya tidak sabar, jadi dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan sahabat kecilnya.
Saat aku sedang galau, Liera, muridku, selalu datang menghiburku. Awalnya, di mataku dia seperti muridku yang lain. Hanya saja, dia terlihat lebih semangat belajar. Dia terlihat anak yang ceria dan cerdas. Hingga suatu hari, aku tidak sengaja melihatnya menangis sendirian di taman. Ketika dia bercerita, ternyata dia memiliki masalah keluarga. Aku, sebagai guru, hanya bisa memberikan saran. Tapi ternyata, dia menganggapku tidak hanya sebagai guru, tapi juga teman, sahabat, panutan, dan kakak.
Aku lama-kelamaan juga merasa seperti memiliki seorang adik/teman.
Seperti saat aku dan liera sedang berjalan-jalan di sekitar tempat kursus. Liera tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke sebuah pohon.
"Lihat, Mr. William!" seru Liera. "Pohon itu terlihat seperti sedang menari."
Aku pun menatap pohon itu. "Aku tidak melihatnya menari, Liera."
Liera mengerucutkan bibirnya. "Anda tidak punya imajinasi, Mr. William."
Aku hanya tersenyum. "Mungkin kamu benar." Dia sangat terlihat lucu.
Atau saat Liera dan aku sedang nongkrong di kafe, Liera bercerita tentang mimpinya menjadi seorang pelukis terkenal.
"Saya ingin lukisan saya dipajang di museum-museum besar di seluruh dunia," kata Liera.
Aku mengangguk. "Aku yakin kamu akan berhasil, Liera. Kamu punya bakat yang luar biasa."
Liera tersenyum. "Terima kasih, Mr. William. Anda selalu mendukung saya."
Aku menggodanya dengan mengedipkan mata. "Tentu saja. Aku kan guru favoritmu."
Liera tertawa. "Anda memang guru favorit saya, Mr. William."
Seiring berjalannya waktu, aku melihat banyak peningkatan dalam dirinya. Aku merasa, yang awalnya aku melihatnya sebagai adik/teman, sedikit demi sedikit berubah. Aku melihatnya sebagai seorang wanita, bukan lagi adik. Aku tidak tahu bagaimana menata perasaan ini, karena yang aku tahu, dia tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Saat kami liburan ke pantai, perasaan ini semakin berkembang hanya dengan melihat tawanya, tingkahnya. Aku ingin mengatakan perasaanku padanya, tapi aku takut. Jadi, aku hanya menahannya, aku hanya bisa mendukungnya dan selalu ada di sisinya.
Aku duduk di atas tikar, agak jauh dari yang lain, sambil membaca buku. Namun, perhatianku terus teralihkan oleh tawa Liera. Setiap kali mendengar suara itu, hatinya terasa hangat dan damai.
Liera berlari ke arahnya, wajahnya berseri-seri dan pipinya memerah karena tertawa.
"Mr. William, lihat! Saya menemukan kerang yang sangat indah!" serunya sambil menunjukkan kerang berwarna-warni di tangannya.
Aku mengalihkan pandangannya dari buku dan menatap Liera. Aku terpesona oleh kecantikan gadis itu, yang terpancar begitu alami di bawah cahaya senja. Tawanya yang riang, matanya yang berbinar, dan senyumnya yang menawan membuat jantungnya berdebar kencang.
"Kerang itu memang indah," kata Mr. William, suaranya sedikit bergetar. "Tapi tawamu jauh lebih indah, Liera."
Liera tersipu malu mendengar pujian itu. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan senyumnya. "Ah, Mr bisa aja," gumamnya.
Hingga tiba waktu perpisahan, aku sedih karena dia harus pergi, tapi aku senang dan bangga karena kemampuan bahasa Inggrisnya sangat meningkat. Aku ingin dia tahu perasaanku, jadi aku membuat surat dan memasukkannya ke dalam tasnya saat dia tidak sadar. Aku tidak terlalu berharap dia akan membalas perasaanku.
Setelah dia pergi, aku menghapus semua kontak yang dia tahu, tapi diam-diam aku selalu melihat perkembangan hidupnya. Aku tahu keluarganya sudah bersatu kembali, aku tahu bagaimana kerja kerasnya untuk diakui sebagai pelukis. Dan aku tahu akhirnya impiannya tercapai, dia akan mengadakan pameran seni pertamanya.
Hal yang tidak aku sangka, ternyata dia mencariku kembali ke Kampung Inggris. Dia ingin mengundangku datang ke pameran seninya. Padahal, tanpa diundang pun, aku akan mencari cara untuk datang ke pamerannya.
Aku semakin terpesona dengan penampilannya yang sekarang, dia semakin terlihat dewasa, dan keinginanku untuk menjadikannya pasangan semakin kuat. Hingga akhirnya, aku menguatkan tekadku. Aku hampir terlambat datang di acara pameran seninya, karena aku sedang menyiapkan cincin dan bunga. Setelah acara pameran selesai, saat makan malam, aku melamarnya di hadapan keluarga dan teman-temannya. Awalnya, aku ragu dia akan menerimaku, tapi ternyata dia menerima lamaranku, aku sangat bahagia. "I love you, Liera, murid tersayang dan calon pasangan hidupku."
----------------
“Cerita ini menggambarkan bahwa belajar di kampung Inggris tidak hanya tentang mempelajari tata bahasa dan kosakata, tetapi juga tentang membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Liera berhasil mendapatkan teman-teman baru di Kampung Inggris yang membuatnya semakin termotivasi dan dia
berhasil menemukan jati diri yang sebenarnya.”
So gimana ceritanya, jangan lupa di like yaπ.
See you in my next story ππ.
Annyeong π
Comment on chapter POV William