Malam harinya, Liera, Elara, Evan, dan Ryan berkumpul untuk mengerjakan tugas dari kelas speaking. Tugas mereka kali ini adalah membuat video bersama orang asing. Setelah mencari, mereka akhirnya bertemu dengan dua orang dari kursus lain yang bernama Leo dan Kai. Mereka pun berkenalan dan mulai membuat video bersama.
“Hai guys, kenalin aku Liera,” sapa Liera membuka percakapan.
"Aku Elara," timpal Elara.
"Aku Evan," kata Evan sambil tersenyum.
"Dan aku Ryan," lanjut Ryan.
"Hai juga, aku Leo," jawab salah satu orang asing.
"Aku Kai," timpal orang asing yang lain.
Setelah berkenalan, mereka mulai mengambil video sesuai dengan tema yang diberikan. Mereka terlihat sangat antusias dan bersemangat dalam membuat video tersebut. Sesekali mereka bercanda dan tertawa bersama.
“Oke guys, kita udah selesai nih bikin videonya,” kata Liera setelah selesai mengambil video.
“Iya, seru banget bisa kerja sama sama kalian,” timpal Elara.
"Semoga video kami bagus dan dapat nilai yang memuaskan," harap Evan.
"Amin," jawab Ryan, Leo, dan Kai serempak.
"Follow Instagram aku ya guys," kata Liera sambil menunjukkan akun Instagramnya.
“Aku juga,” timpal Elara, Evan, Ryan, Leo, dan Kai.
Mereka pun saling berfoto bersama sebelum akhirnya berpisah. Liera dan teman-temannya merasa senang karena mereka tidak hanya menyelesaikan tugas, tetapi juga mendapatkan teman baru.
Keesokan harinya, Liera dan teman-temannya sudah tidak sabar untuk melihat hasil video mereka. Mereka berharap video yang mereka buat mendapatkan nilai yang bagus dari guru mereka.
"Semoga aja video kita bagus ya guys," kata Liera.
"Iya, aku juga berharap begitu," timpal Elara.
“Yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin,” kata Evan.
"Benar sekali," kata Ryan.
Tak lama kemudian, guru mereka pun datang dan mulai memutar video dari masing-masing kelompok. Setelah selesai menonton semua video, guru mereka pun memberikan penilaian. Liera dan teman-temannya sangat senang karena video mereka mendapatkan nilai yang sangat bagus. Mereka pun berpelukan dan mengucapkan selamat satu sama lain.
"Selamat ya kawan, video kita dapat nilai bagus!" kata Liera dengan gembira.
"Iya, aku juga seneng banget!" timpal Elara.
“Ini semua berkat kerja sama kita yang baik,” kata Evan.
"Benar sekali!" kata Ryan.
Suatu malam disaat liera dan teman sekamarnya lagi sibuk dengan urusan masing-masing, seperti Chloe yang sibuk dengan bukunya, leara yang sedang melakukan ritual skincare wajah nya, indah yang menatap laptopnya, sedangkan liera sibuk mencoret coret sketsanya, tiba tiba bunyi nada dering dari hp liera.
"Halo, Ibu?" kata Liera.
"Lira, anakku! Apa kabarmu di sana? Ibu sangat rindumu," jawab ibunya dengan suara yang dibuat-buat sendu.
"Baik, Bu. Kampung Inggris ternyata seru, banyak teman baru dan pengalaman menarik," kata Liera, berusaha terdengar ceria.
"Syukurlah kalau begitu. Ibu dengar biaya hidup di sana mahal ya? Ayahmu itu memang tidak bertanggung jawab, menelantarkan kita," ujar ibunya, mulai memancing.
Liera menghela napas, "Bu, jangan mulai lagi, deh. Aku baik-baik saja kok di sini."
"Kamu jangan sok kuat begitu, Liera. Ibu tahu kamu pasti kesulitan. Ayahmu itu memang tidak pernah peduli," omel ibunya, tak henti-hentinya berusaha menjelek-jelekkan ayahnya.
"Sudah ya, Bu. Aku mau belajar dulu," Liera mengakhiri percakapan dengan nada jengkel.
Liera menceritakan pengalamannya pada Elara, Chloe dan Indah.
"Gimana nih guys? Nyokap masih aja bahas bokap dan bikin aku kesel," curhat Liera pada teman-temannya.
"Sabar, Lier. Nyokap lo emang gitu, suka drama," timpal Elara yang baru selesai dengan skincare nya.
"Iya, Lier. Mungkin dia khawatir aja sama lo," sahut Indah yang masih mengetik di laptopnya.
"Tapi kan nggak harus ngomongin bokap juga. Lagian, bokap Lo masih suka kirim uang kan," bela Chloe tanpa mengalihkan pandangan dari buku nya
"Nah, itu dia! Bokap tuh cuma mentingin materi, nggak pernah ada waktu buat aku," gerutu Liera.
Liera mendapat pesan dari ayahnya yang menawarkan bantuan finansial.
"Lier, kalau kamu butuh tambahan uang, bilang aja ya. Akan ayah tambahkan" bunyi pesan singkat dari ayahnya.
Liera membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia berterima kasih atas kesepakatan ayahnya. Namun di sisi lain, ia merasa kecewa karena ayahnya hanya menawarkan bantuan materi, bukan perhatian dan kasih sayang yang ia butuhkan.
"Kenapa sih, bokap selalu kayak gini? Apa dia pikir uang bisa menyelesaikan semuanya?" gumam Liera, merasa sedih dan kesal.
Keesokan harinya, Liera duduk di taman. Ia mengaduk-aduk minuman dinginnya, pikirannya melayang pada percakapannya dengan ibunya dan pesan singkat dari ayahnya. Rasa kesal, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu.
Dari kencan, Mr. William, guru grammar-nya, melihat Liera. Ia mendekatinya dengan langkah tenang.
"Liera, selamat siang. Kamu terlihat sedang tidak baik. Bolehkah aku duduk di sini?" sapa Mr. William dengan ramah.
Liera sedikit terkejut, "Ah, Pak William. Selamat siang. Silakan, Pak."
Tuan William duduk di kursi kosong di depan Liera. "Saya lihat kamu melamun. Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?" tanyanya dengan lembut.
Liera ragu sejenak. Biasanya ia tidak suka menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. Namun, ada sesuatu di dalam diri Mr. William yang membuatnya merasa nyaman.
Sebenarnya, Tuan.saya sedang bingung, Liera memulai ceritanya.
"Kemarin saya telepon ibu saya. Seperti biasa, dia selalu menjelek-jelekkan ayah saya. Padahal, ayah masih sering mengirimkan uang untuk saya."
Pak William mengangguk-angguk, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Lalu, ayah saya juga mengirim pesan. Dia akan menambah uang jajan lagi. Saya jadi kesal, Pak Kenapa dia selalu berpikir uang bisa menyelesaikan semuanya? Yang saya butuhkan bukan hanya uang, tapi perhatian dan kasih sayang," Liera mengakhiri ceritanya dengan suara bergetar.
Tuan William tersenyum lembut. "Liera, aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tidak ada yang salah dengan merasa kesal atau kecewa. Wajar jika kamu ingin lebih dari sekadar materi. Kasih sayang dan perhatian itu jauh lebih berharga."
"Tapi, Pak... Kenapa orang tua saya selalu seperti ini? Kenapa mereka tidak bisa akur?" Liera bertanya dengan nada putus asa.
Tuan William menghela napas. "Liera, masalah keluarga itu rumit. Kadang-kadang, kita tidak bisa memahami mengapa orang tua kita bertindak seperti itu. Mungkin mereka punya alasan sendiri yang tidak kita ketahui. Yang bisa kamu lakukan adalah mencoba berkomunikasi dengan mereka, menyampaikan apa yang kamu rasakan."
"Saya sudah mencoba, Pak Tapi, rasanya sulit sekali," jawab Liera lesu.
"Saya tahu ini tidak mudah, Liera. Tapi, jangan menyerah. Coba bicara dengan mereka secara terbuka dan jujur. Katakan apa yang kamu butuhkan. Siapa tahu, mereka akan mengerti," Pak William memberikan semangat.
Liera terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak William. Mungkin ada benarnya. Mungkin dia harus mencoba berbicara lagi dengan orang tuanya, meskipun dia tahu itu tidak akan mudah.
"Terima kasih Pak Saya jadi merasa lebih baik setelah berbicara dengan Pak." ucap Liera tulus.
"Sama-sama, Liera. Ingat, kamu tidak sendirian. Jika kamu butuh teman bicara, saya siap mendengarkan," kata Pak William sambil tersenyum.
Liera membalas senyum Tuan William. Ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang mau mendengarkannya dan memahaminya. Mungkin, dia akan mencoba berbicara lagi dengan orang tuanya nanti. Siapa tahu, ada harapan untuk memperbaiki hubungan mereka.
Keesokan harinya, setelah kelas tata bahasa selesai, Liera dan Elara sudah berjanji dengan Indah dan Chloe untuk makan siang bersama di warung ayam geprek favorit mereka. Sambil menikmati makanan pedas yang menggugah selera, mereka asyik dan bercanda, tiba-tiba Evan dan Ryan datang menghampiri mereka.
"Boleh gabung gak? Tempat lain penuh nih," kata Ryan sambil celingukan mencari tempat duduk.
"Oh, boleh aja. Kebetulan kita juga baru mulai makan kok," jawab Elara ramah.
Ryan dan Evan pun bergabung dengan mereka. Ryan yang baru pertama kali bertemu dengan Indah dan Chloe, berusaha mencairkan suasana. Ia mengajak mereka berdua secara mendalam dan memperkenalkan. Sementara itu, Evan terlihat lebih diam sambil memperhatikan Liera.
Ryan yang melihat Chloe cuek, merasa sedikit tertantang. Ia pun mencoba mencari perhatiannya dengan melontarkan beberapa candaan. Namun, Chloe tetap saja terlihat datar dan tidak terlalu tertarik untuk menanggapinya.
Di tengah percakapan yang seru, Elara tiba-tiba teringat akan sesuatu.
"Lier, kamu kan jago gambar ya? Coba dong gambarin muka aku," pinta Elara Sambil menjilati jari yang banyak sambal nya.
Liera yang baru saja selesai mencuci tangan, karena dia sudah selesai makan, sedikit terkejut. "Hah? Sekarang? Gak salah?" tanyanya ragu.
"Iya, sekarang aja. Mumpung lagi kumpul gini," jawab Elara dengan nada memaksa.
Liera akhirnya mengangguk pasrah. Ia pun mengambil buku sketsa yang ada di tasnya dan mulai menggambar wajah temannya
Evan yang melihat Liera menggambar, merasa sangat tertarik. Ia pun mendekat dan mencoba melihat apa yang sedang digambar oleh Liera.
"Wah, kamu jago gambar juga ternyata," kata Evan dengan nada kagum.
Liera yang mendengar pujian Evan, hanya tersenyum tipis. "Lumayan aja," jawabnya singkat.
"Kamu sering gambar ya?" tanya Evan lagi.
"Iya, lumayan sering. Buat ngisi waktu luang aja sih," jawab Liera dengan tangan yang mencoret coret Sketchbook nya.
"Keren. Aku juga suka gambar soalnya," kata Evan.
Liera yang mendengar jawaban Evan, sedikit terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Evan juga memiliki hobi yang sama dengannya.
"Oh ya? Kamu gambar juga?" tanya Liera dengan nada penasaran.
"Iya, kadang-kadang. Tapi gak enak kamu lah," jawab Evan sambil tersenyum.
“Ah, kamu bisa aja,” jawab Liera sambil tertawa kecil.
Annyeong 👋
Comment on chapter POV William