Pada akhirnya ziyad terpaksa harus memberanikan diri untuk cari makan di madinah dari pada kelaparan.
Ziyad mencari makanan sana sini Ziyad berjalan menyusuri jalanan Madinah, perutnya mulai keroncongan. Udara sore begitu hangat, angin gurun bertiup lembut, membawa aroma makanan dari berbagai sudut kota.
Ia menghela napas, merasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya ia harus mencari makan sendiri di kota yang asing baginya.
Di sepanjang jalan, ia melihat beberapa pedagang menjajakan makanan khas. Ada roti, kurma, daging panggang, dan berbagai hidangan yang menggugah selera.
Saat melangkah lebih jauh, ia melihat sebuah warung kecil dengan beberapa orang yang duduk menikmati makanan. Bau harum rempah-rempah langsung menggoda perutnya.
Ziyad menghampiri seorang penjual tua yang sedang membolak-balikkan potongan daging di atas panggangan.
"Assalamu’alaikum, Pak," sapa Ziyad.
"Wa’alaikumussalam, anak muda," jawab pria itu sambil tersenyum ramah. "Mau makan apa?"
Ziyad melihat menu sederhana yang terpampang di depan warung. Ia akhirnya memesan roti dengan daging panggang dan segelas susu kambing.
Saat menunggu pesanannya, matanya kembali melayang ke suasana sekitar. Ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Rasanya seperti deja vu—seakan ia pernah berada di tempat ini sebelumnya.
Ketika makanannya datang, ia duduk di salah satu bangku kayu dan mulai menyantapnya perlahan.
Namun, baru saja ia mengambil beberapa suap, suara azan Magrib berkumandang.
Ziyad tertegun. Suara itu...
Sekali lagi, terasa berbeda.
Sama seperti sebelumnya, suara itu menggema begitu dalam di hatinya. Seolah-olah suara azan dari masa lalu, suara yang pernah ia dengar dalam mimpi-mimpinya.
Ia menoleh ke arah masjid, merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Tanpa berpikir panjang, ia segera menghabiskan makanannya dan bergegas menuju Masjid Nabawi.
Ada sesuatu yang harus ia temukan di sana.
Kembali lagi
"Lah lu dari tadi kemana?!" -Tanya si temannya
"Keliling keliling doang kok" -Ucap Ziyad
"Oh gitu" -Kata temannya
Pada akhirnya ziyad hanya memutuskan untuk diam saja jangan berisik.
Ziyad duduk di dalam Masjid Nabawi setelah salat Magrib, membiarkan pikirannya tenggelam dalam ketenangan. Namun, dalam keheningan itu, perasaan aneh kembali menyergapnya.
Sejak ia tiba di Madinah, terlalu banyak kejadian yang membuatnya merasa seolah sedang menjalani sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan ibadah.
Temannya yang duduk di sampingnya meliriknya dengan heran.
"Lu kenapa sih? Dari tadi diem aja," tanyanya.
Ziyad menghela napas pelan, mencoba mencari jawaban. "Nggak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu."
"Seriusan? Lu kelihatan kayak orang yang habis ngelihat sesuatu," balas temannya dengan nada bercanda, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu.
Ziyad hanya tersenyum tipis. Bagaimana mungkin ia menjelaskan semuanya? Tentang mimpinya, tentang suara azan yang terasa seperti datang dari masa lalu, tentang perasaan seolah dirinya sedang dipanggil oleh sesuatu yang tak terlihat.
Saat itu, seorang imam naik ke mimbar untuk memberikan kajian singkat sebelum salat Isya. Ziyad memperhatikan dengan seksama, berusaha untuk fokus.
"Salah satu momen paling bersejarah di Madinah adalah ketika Bilal bin Rabah mengumandangkan azan pertamanya setelah hijrah," ujar sang imam.
Ziyad tersentak.
"Azan itu bukan sekadar panggilan salat, tapi juga simbol kemenangan dan keteguhan iman," lanjut imam itu. "Bilal, seorang mantan budak yang pernah disiksa karena mempertahankan keimanannya, kini menjadi orang pertama yang mengajak umat Islam untuk bersujud kepada Allah di kota ini."
Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Ziyad.
Tiba-tiba, suara azan yang ia dengar sebelumnya terasa semakin jelas di telinganya.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar..."
Ziyad menutup matanya.
Dan dalam sekejap, ia kembali ke dunia lain.
Ia tidak lagi berada di dalam masjid yang terang benderang, tetapi di sebuah Madinah yang jauh lebih sederhana. Ia melihat seorang lelaki berkulit hitam berdiri di tempat tinggi, menyerukan azan dengan suara penuh penghayatan.
Di sekelilingnya, para sahabat Rasulullah berkumpul, wajah-wajah mereka berseri-seri dalam kebahagiaan.
Ziyad ingin melangkah maju, ingin memastikan apa yang dilihatnya itu nyata.
Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, semuanya mulai memudar.
Ketika ia membuka mata, ia masih duduk di dalam Masjid Nabawi, dengan temannya menatapnya heran.
"Eh, lu kenapa? Dari tadi bengong."
Ziyad menelan ludah.
"Ada sesuatu yang harus gue cari tahu..." gumamnya pelan.